Mohon tunggu...
yudhi
yudhi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pendidikan itu mengobarkan api dan bukan mengisi bejana. (Socrates)

Suka tertawa sendiri, tetapi tidak gila. Hu hu hu ha ha ha ....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menghidupkan Kembali GBHN dan Repelita di Masa Reformasi

21 Agustus 2018   11:32 Diperbarui: 21 Agustus 2018   15:54 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis ingin menjelaskan mengenai pembangunan negara di Masa Reformasi melalui analogi cerita berikut :

o - - - - - -

Ada seorang kaya bernama Revo yang ingin membangun sebuah rumah yang megah. Rumah megah ini ia targetkan akan selesai dalam jangka waktu 4 tahun ke depan.

Lalu Revo mulai menyewa seorang kontraktor untuk membangun rumahnya. Kontraktor ini pun segera merancang desain rumah dan mulai melaksanakan pembangunan fisik rumah sesuai dgn desainnya sendiri. Setelah 1 tahun berlalu dan pembangunan fisik dari rumah telah rampung 25%, kemudian kontraktor ini mengundurkan diri dari pekerjaannya dan digantikan dengan kontraktor lain (kontraktor ke-2).

Kontraktor ke-2 tidak setuju dengan desain rumah yg telah dirancang oleh kontraktor sebelumnya. Jadi ia pun mengabaikan pembangunan fisik dari rumah yang telah dibuat oleh kontraktor sebelumnya dan mulai merancang desain rumah baru (rumah ke-2) yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Kemudian ia pun mulai melaksanakan pembangunan fisik rumah ke-2 yg sesuai dengan impiannya. Setelah 1 tahun berlalu dan pembangunan fisik dari rumah ke-2 telah rampung 25%, kontraktor ke-2 mengundurkan diri dari pekerjaannya dan digantikan oleh kontraktor lain (kontraktor ke-3).

Sebagaimana kontraktor ke-2, kontraktor ke-3 juga tidak setuju dengan desain rumah-rumah yg telah dirancang oleh kontraktor sebelumnya. Jadi ia mengabaikan pembangunan fisik rumah-rumah sebelumnya dan mulai merancang dan membangun rumah baru (rumah ke-3) yang sesuai dengan impiannya. Setelah 1 tahun berlalu dan pembangunan fisik dari rumah ke-3 telah rampung 25%, kontraktor ke-3 mengundurkan diri dari pekerjaannya dan digantikan oleh kontaktor lain (kontraktor ke-4).

Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, kontraktor ke-4 juga tidak setuju dengan desain rumah-rumah kontraktor sebelumnya dan mulai merancang dan membangun sendiri rumah baru (rumah ke-4) yg sesuai impiannya. Setelah 1 tahun berlalu dan pembangunan fisik dari rumah ke-4 telah rampung 25%, kontraktor ke-4 mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Setelah 4 tahun berlalu semenjak Revo mulai menyewa kontraktor ke-1 hingga kontraktor ke-4, pada akhirnya rumah megah yang diimpikan Revo tidak ada satupun yang berhasil dibangun secara tuntas.

- - - - - - o

Melalui analogi cerita di atas, kita dapat menyimak bahwa kegagalan Revo dalam membangun rumahnya identik dengan kegagalan pembangunan negara di Masa Reformasi.

Semenjak dimulainya Masa Reformasi di tahun 1998 hingga tahun 2018 sekarang, arah pembangunan negara semakin lama semakin kabur (tidak memiliki kejelasan arah). Kebijakan di bidang pendidikan yang selalu berubah-ubah, bidang pertanian yang diperhatikan pada pemerintahan yang satu tetapi terabaikan pada pemerintahan yang lain, visi pengelolaan ekonomi yang saling berbeda antara pemerintahan yang satu dengan pemerintahan yang lain, minimnya perhatian pada usaha pengendalian pertumbuhan jumlah penduduk, gagalnya pembentukan generasi muda yang berbudi pekerti dan memiliki rasa nasionalisme, merupakan gambaran dari keadaan negara dan masyarakat sekarang ini. Belum ada kepastian mengenai masa depan dari negara & bangsa Indonesia di Masa Reformasi sekarang ini.

Dapat kita amati bahwa pembangunan di Masa Orde Baru jauh lebih baik dibanding pembangunan di Masa Reformasi. Hal ini terjadi karena pemerintahan di Masa Orde Baru memiliki desain (blueprint) pembangunan negara jangka panjang yang tersusun dengan rapi pada ketetapan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) & program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahunan) I – VI, sedangkan pemerintahan-pemerintahan di Masa Reformasi tidak memiliki blueprint pembangunan negara jangka panjang sehingga setiap pemerintahan di Masa Reformasi berjalan sendiri-sendiri dan proses pembangunan tidak dapat saling berkelanjutan antara pemerintahan yang satu dengan pemerintahan berikutnya.

Pemerintah-pemerintah di Masa Reformasi tidak boleh lagi memandang proses pembangunan di periode pemerintahannya secara individual (contohnya pembangunan versi Habibie, atau pembangunan versi Gus Dur, atau pembangunan versi Megawati), akan tetapi pemerintah-pemerintah di Masa Reformasi wajib memandang proses pembangunan di periode pemerintahannya sebagai salah satu bagian dari sebuah perjalanan pembangunan yang utuh, di mana perjalanan pembangunan yg utuh ini sudah memiliki kejelasan alur dari awal hingga akhir perjalanan pembangunannya. Untuk itu, dibutuhkan sebuah blueprint pembangunan negara jangka panjang yang dapat menjadi acuan bagi setiap pemerintahan yg berjalan di Masa Reformasi sebagaimana adanya ketetapan GBHN & program Repelita I - VI di Masa Orde Baru.

Jadi, setiap pemerintahan yang berjalan di Masa Reformasi tidak boleh lagi berjalan menurut visi-misinya dan program kerjanya sendiri-sendiri, akan tetapi wajib menjalankan pemerintahannya sesuai dengan visi-misi dan program kerja yang telah tersusun secara rapi dalam blueprint pembangunan negara jangka panjang. Dengan demikian, pembangunan negara dapat dilakukan secara terarah dan berkelanjutan dari suatu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya di Masa Reformasi.

Adanya blueprint pembangunan negara jangka panjang tentu saja akan membuat demokrasi yang berjalan menjadi tidak menarik karena nantinya di dalam pilpres atau pilgub, baik calon presiden ataupun calon gubernur sudah tidak dapat lagi menjual visi-misi & program kerja yang baru karena wajib mengikuti semua visi-misi dan program kerja yang sudah tercantum di dalam blueprint pembangunan negara jangka panjang. Akan tetapi demi kepentingan negara dan hayat hidup orang banyak, maka baiklah para pemangku kekuasaan mau mengorbankan gengsi berdemokrasi. Jadi sesungguhnya dalam hal ini, demokrasi (pilpres & pilgub) bukan lagi ditujukan untuk ajang beradu visi-misi & program kerja antar calon pemimpin, akan tetapi demokrasi (pilpres & pilgub) hanya akan menjadi sarana untuk membatasi jumlah periode kepemimpinan seseorang dalam menjalankan pemerintahan (maksimal 2 periode) agar kekuasaan absolut sebagaimana yang terjadi di Masa Orde Baru tidak terulang kembali di Masa Reformasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun