Sementara itu, upaya untuk mereduksi adanya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pihak berwenang, yakni kepolisian dan kejaksaan nyatanya tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi (Awang, 2005).
Apabila ditelaah lebih lanjut, terjadinya kondisi tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor yang melatarbelakangi. Pertama, jangkauan pemberantasan yang masih minim. Kedua, kajian pembahasan yang masih minim. Ketiga, etika moral oleh para birokrat yang masih cenderung korupsi. Keempat, lembaga pemberantas korupsi yang kurang independent.Â
Kelima, tidak dilibatkannya secara aktif lingkungan guna mendorong pemberantasan korupsi hingga pada tingkat grassroot. Melalui sejumlah faktor tersebut dapat diidentifikasi lebih lanjut bahwa tindakan pemberantasan korupsi sejatinya dapat dilawan melalui penanganan secara serius. Oleh karena itu, reformasi birokrasi membahas pada tingkatan ini dalam menanggulangi upaya terjadinya korupsi secara berkelanjutan. Dengan demikian, segala daya dan upaya yang dilakukan tentu dapat mereduksi bahkan mampu untuk memberantas korupsi (Awang, 2005).
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan street-level bureaucracy corruption, maka perlu strategi guna memberantas korupsi secara efektif. Hal yang menjadi dasar guna ditinjau kembali untuk kemudian dapat diimplementaikan adalah adanya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi sejatinya telah diinisiasi sejak tahun 2008.Â
Meskipun demikian, penggunaan reformasi birokrasi yang ada di Indonesia ini hanyalah terbatas pada renumerisasi saja. Merujuk pada penjelasan mengenai street-level bureaucracy corruption, maka perubahan sistem melalui internal birokrasi sebagai hal yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik dinilai dapat menjadi solusi pencegahan dan pemberantasan korupsi.Â
Adanya perubahan sistem ini tentu dapat dijadikan sarana pencegahan dalam upaya untuk mereduksi adanya korupsi birokrasi. Semakin cepat adanya upaya untuk perbaikan sistem ini, maka semakin baik pula birokrasi yang ada dalam merespon upaya pemberantasan korupsi.
Adapun telaah yang dapat dipahami melalui adanya perbaikan sistem ini adalah dampak negatif dari korupsi yang sporadis di kalangan street-level bureaucracy. Setidaknya terdapat enam dampak yang disebabkan dari adanya korupsi birokrasi ini dengan imbasnya dapat dirasakan dalam masyarakat, yakni sebagai objek daripada pelayanan publik yang dilakukan oleh pihak pemerintah.Â
Pertama, hadirnya kesenjangan sosial seperti halnya ketidakadilan di tengah masyarakat. Kedua, memunculkan inefisiensi alur birokrasi dan kinerja dalam pelayanan publik. Ketiga, melanggengkan berbagai upaya tindak kejahatan lain dalam lingkup yang sama. Keempat, melemahnya birokrat yang kemudian juga menjadikan mereka sebagai korban dari korupsi tersebut. Kelima, kemampuan pelayanan publik yang buruk oleh negara kepada masyarakat. Keenam, meingkatnya biaya adminisratif yang menyangkut segala hal mengenai akses publik (Alatas, 1987).
Secara teoritis, terdapat banyak upaya-upaya yang dapat dilakukan sebagai model untuk upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pembahasan pertama penulis terlebih dahulu menyoroti pada analisis model korupsi dari Robert Klitgard (C=M+D-A). Lebih lanjut, dapat diuraikan dalam model tersebut bahwa tindakan korupsi (C) mempunyai sebuah persamaan yang mana sebuah peristiwa tersebut terjadi akibat adanya monopoli kekuasaan (M) yang disaat bersamaan disokong diskresi (D) yang terjadi pada birokrasi dengan mengenyampingkan adanya akuntabilitas (A).Â
Merujuk pada model yang disampaikan oleh Robert Klitgard tersebut, maka pemberantasan korupsi menekankan adanya upaya untuk adanya akuntabilitas dalam sistem birokrasi yang dapat dicapai melalui metode bottom-up secara inklusif. Melalui penekanan pada akuntabilitas dalam sistem birokrasi ini dinilai menjadi sarana yang tepat untuk kemudian dapat menciptakan sistem birokrasi yang bebas korupsi (Klitgaard, 2005).
Sementara itu, George Ritzer (2001) meletakan dua poin penting dalam upaya pemberantasan korupsi pada streel-level bureaucracy. Adapun dua poin penting ini meliputi pendekatan agen dan pendekatan struktur. Pada pendekatan agen, maka yang menjadi fokus adalah individu pelaku korupsi, budaya, motivasi, dan kebutuhan.Â