Mohon tunggu...
Kebijakan Pilihan

Analisis Korupsi dalam Street Level Bureaucracy serta Strategi Pemberantasannya

2 Mei 2019   21:53 Diperbarui: 2 Mei 2019   21:56 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun yang menjadi permasalahan di tingkat birokrasi ini adalah adanya kepentingan pribadi maupun golongan yang kemudian diliibatkan dalam aktivitas pelayanan tersebut. Merujuk pada kondisi tersebut, adanya implementasi dengan menghalalkan segala cara guna memenuhi kepentingan pribadi maupun golongan inilah yang berakibat pada terjadinya korupsi. 

Maka dari itu, street-level bureaucracy corruption dapat dimengerti sebagai tindakan yang melawan hukum dengan pelaksananya adalah pihak aparat dalam aktivitas pelayanan publik guna meloloskan sejumlah kepentingan-kepentingan personal maupun komunal.

Sementara itu, Caiden (1988) menyatakan bahwa tipe korupsi dalam tingkat birokrasi ini merujuk pada aktivitas yang bersentuhan mengenai korupsi administrasi. Lebih lanjut, Quah (1982) berpendapat bahwa tipe korupsi ini termasuk dalam kategori korupsi birokratik. Adapun korupsi birokratik yang dimaksud adalah penyimpangan dengan pelakunya adalah aparat publik demi tercapainya kepentingan bagi pihak yang bersangkutan. Ada beberapa hal yang membuat aparatur publik memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi. 

Pertama, sejatinya dalam akivitas pelayanan publik, para pengguna layanan tersebut memiliki kemampuan guna memenuhi kewajiban di luar dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam membayar biaya yang telah ditentukan. Kedua, alur birokrasi yang begitu lamban menyebabkan pelayanan yang diberikan inefisien dikarenakan minimnya sumber daya manusia, prosedur yang begitu panjang dan berlebihan. Ketiga, interkasi antara pengguna dan birokrat dapat menimbulkan transaksi kesepakatan-kesepakatan yang melanggar hukum (Hunt, 2006). 

Apabila dikaitkan dengan kondisi Indonesia, maka persoalan yang dihadapi adalah redahnya gaji pegawai. Bahkan unuk Indonesia sendiri tingkat upah yang diberikan kepada pegawai belum dapat mencukupi kebutuhan primer. Hal ini dipahami bahwa minimnya upah dapat menyebabkan street-level bureaucracy corruption. 

Namun, pemberian upah maksimum pun belum dapat menjamin perilaku korupsi dapat dihentikan. Kondisi ini berawal dari perilaku korupsi di tingkat atas. Adanya perilaku-perilaku korupsi inilah sebagai penghambat birokrasi itu sendiri. Maka dari itu, adanya restrukturisasi dari pajak dan urusan administratif juga belum tentu dapat menjamin terwujdunya penyelesaian yang baik dalam merespon perilaku korupsi yang dilakukan apabila pihak-pihak yang terlibat dalam birokrasi tersebut selama belum dapat melepaskan diri dari perilaku korupsi itu sendiri. Khusus pada pemberian upah yang rendah ini hanya dapat menguraikan fenomena korupsi dalam street-level bureaucracy (Alatas, 1996).  

Korupsi dalam street-level bureaucracy juga dapat diasosiasikan berdasarkan tipe korupsi yang mana terbagi menjadi tiga antara lain petty, routine dan aggravated. Pertama, petty corruption merupakan korupsi pada lingkup kecil yang mana nominal transaksi yang digunakan pun tidak begitu besar dengan keterlibatan dilakukan melalui hubungan secara pribdai. 

Adapun kasus dari petty corruption dapat ditelaah, seperti halnya mengubah kwitansi, suap terhadap polisi, hingga berbagai perlakuan istimewa dari aparat birokrasi. Kedua, routine corruption merupakan tipe korupsi yang transaksinya dilakukan melalui adanya kontrak yang kemudian dapat diperjelas melalui nepotisme, kronisme, dan kelas baru. 

Ketiga, aggravated corruption merupakan korupsi pada lingkup transaksi yang digunakan begitu besar, seperti halnya pembyaranmelalui suapan kepada pihak pemerintah. Melalui tiga tipe tersebut korupsi dalam street-level bureaucracy tergolong dalam jenis petty dan routine corruption yang mana dapat berkutat pada kedudukan atau jabatan yang rendah pula (Heidenheimer, 2002).

Di lain pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara kelembagaan memiliki keterbatasan dalam menangani kasus-kasus berdasarkan tipe korupsi tersebut. Adapun keterbatasan yang dimaksud ini adalah KPK hanya dapat bersinggungan dengan sejumlah perkara yang melibatkan tindakan korupsi dalam skala besar untuk jumlah nominal yang besar pula. 

Sementara itu pada street-level bureaucracy, nominal transaksi yang terjadi begitu kecil alhasil KPK tidak pada urusan dengan tingkatan pelaksana tersebut. Namun pada kenyataannya yang terjadi adalah tingkat korupsi di lingkup ini begitu beresiko dikarenakan interaksi yang dilakukan bersinggungan secara langsung atas kesepakatan-kesepakatan transaksinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun