Mohon tunggu...
Prastowo AGung Widodo
Prastowo AGung Widodo Mohon Tunggu... Programmer -

Muslim, Programmer, GolPut (No Politic)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku dan NU

19 Maret 2018   00:00 Diperbarui: 19 Maret 2018   16:35 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Waktu saya masih belia, saya berada di lingkungan muslim yang berwarna-warni. Ibu dan Ayah saya seorang warga NU, paman saya LDII atau Ahmadiyah (saya kurang paham) namun yang saya tahu beliau tetap menghargai perbedaan pandangan tentang agama. 

Sedangkan kakek dan nenek saya adalah warga Muhammadiyah. Seringkali kakek dan nenek saya harus melaksanakan ibadah puasa ramadhan lebih dulu dari saya dan ibu bapak saya, pun demikian ketika hari raya. Jadi pada hari raya versi nenek saya, kami sekeluarga tetap sungkem kepada beliau, meskipun saya dan ibu bapak saya masih melaksanakan ibadah puasa. 

Pembelajaran agama saya pun berwarna-warni. Ayah saya memang selalu memerintahkan saya untuk mengaji kepada siapa aja, tidak memandang ustaz nya dari NU atau Muhammadiyah atau yang lainnya. Awal saya mulai mengaji, saya belajar membaca AlQuran kepada ustaz Narsan, beliau adalah seorang guru dan warga Muhammadiyah. 

Ketika jam ngaji di ustaz Narsan selesai, saya mengaji lagi kepada Pak Ayat, beliau juga seorang guru dan seorang nahdliyin. Berbeda dengan ustaz Narsan, Pak Ayat lebih mengajarkan tentang doa-doa, shalawat dan Juz Amma, beliau akan mengajarkan baca AlQuran setelah anak-anak lulus baca Iqra dan Juz Amma. Saya tidak belajar Iqra pada Pak Ayat, karena saya sudah belajar kepada ustaz Narsan. 

Suatu ketika, karena mungkin terlalu sibuk, ustaz Narsan berhenti mengajar ngaji setelah sebelumnya mengadakan lomba baca AlQuran, dan saya menjadi juara pada saat itu. Bukan karena saya jago baca AlQuran, sebenarnya lebih karena saya menghafal dan menirukan cara baca ustaz Narsan. 

Seandainya ayat yang dibaca tidak diajarkan terlebih dahulu, sudah pasti saya tidak akan bisa membacanya dengan baik, karena memang kemampuan membaca AlQuran saya kurang dibandingkan anak-anak yang lain. 

Ada pelajaran yang sangat berharga yang saya dapatkan dari ustaz Narsan, suatu hari beliau berkata: "Jika kalian kelak menjadi imam shalat subuh, dan kalian termasuk dalam orang-orang yang tidak membaca doa Qunut subuh, maka berilah kesempatan untuk membaca Qunut subuh kepada makmum untuk membacanya". Begitulah ustaz Narsan, beliau jika menjadi imam pada shalat subuh selalu memberikan kesempatan kepada makmumnya untuk membaca Qunut, meskipun beliau tidak melaksanakannya.

Saya dan teman-teman akhirnya berpindah belajar ngaji ke Mushola terdekat. Ada ustaz yang sekarang saya lupa namanya, beliau sangat jago dalam baca AlQuran, namun karena cara mengajarnya yang kurang disukai anak-anak, akhirnya beberapa dari kami pun berpindah tempat ngaji lagi. Saya dan beberapa teman memilih ngaji di masjid gede (sebutan orang-orang kampung kami). 

Disana kami diajarkan tentang tata cara shalat, shalawat, surat-surat pendek, dan tentang fiqih untuk kehidupan sehari-hari. Menginjak SMP saya berhenti mengaji, entahlah, mungkin pada saat itulah saya mulai bandel. 

Lulus SMK saya langsung bekerja di salah satu perusahaan manufactur terbesar di Jakarta. Orang tua saya memang sudah tidak sanggup lagi untuk membiayai pendidikan saya. Di Jakarta saya menemukan perbedaan lagi dalam masalah agama. Saya waktu itu tertarik dengan konsep pemurnian agama, kembali pada AlQuran dan Sunnah. Mulailah saya mengaji di salah satu masjid dekat perusahaan saya bekerja. 

Saya sangat tercengang karena apa yang diajarkan disini tidak seperti yang diajarkan ustaz-ustaz di kampung. Banyak larangan-larangan banyak juga anjuran-anjuran yang pada penyampaiannya sedikit memaksa. Saya mulai suka menyalahkan amaliyah-amaliyah NU, hingga menganggapnya sebagai amaliyah yang sesat. Karena pemahaman saya pada waktu itu amaliyah yang dibuat-buat adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat. 

Namun lama-lama saya merasa ada kejanggalan dengan pemahaman saya, karena saya tahu ustaz-ustaz kampung yang saya kenal adalah orang-orang yang sangat paham tentang AlQuran dan Haditz, bagaimana mungkin mereka tidak tahu tentang amaliyah yang mereka amalkan.

Masa kontrak kerja saya selesai, saya pun pulang ke kampung halaman, saya tinggalkan pengajian-pengajian yang ada di Jakarta. Saya bersama beberapa teman membuka usaha Warnet yang pada awal berdirinya terpaksa menjadi rental komputer karena ternyata internet tidak dapat menjangkau daerah saya. Dengan penghasilan pas-pasan, saya tidak dapat lagi membantu finansial orang tua saya. 

Saya pun berusaha mencari penghasilan tambahan, saya mulai belajar tentang jaringan dan pemrograman. Akhirnya saya sering mendapatkan pekerjaan untuk setup Warnet, maintenance warnet, installasi komputer, pemasangan jaringan, dll. 

Saya terima hampir semua pekerjaan yang ditawarkan kepada saya. Meskipun saya belum pernah mengerjakannya, pikir saya kalau masih ada internet, pasti ada tutorialnya. Pernah suatu ketika saya diminta untuk membuatkan sebuah program semacam POS (Point of Sales) untuk perusahaan air isi ulang.

Saya pun menyanggupinya meskipun sebenarnya saya tidak tahu bagaimana cara membuat program. Dengan mengandalkan internet, saya akhirnya berhasil membuat program tersebut. Ya, itu adalah pertama kali saya membuat program dan digunakan oleh orang lain. Saya terus belajar koding setelah berhasil membuat program tersebut karena ternyata pemrograman itu mengasyikan, seperti kata Linus Torvalds: "Most good programmers do programming not because they expect to get paid or get adulation by the public, but because it is fun to program."

2011 saya menikah. Setelah menikah saya mendapatkan tawaran kerja di perusahaan IT yang berlokasi di Depok. Saya terima tawaran tersebut meskipun saya harus berpisah dengan istri saya, karena istri saya masih melanjutkan kuliahnya. 

Di perusahaan ini saya bertemu orang-orang yang luar biasa. Menghadapi masalah dengan santai. Tidak ada jarak antara karyawan dan Boss. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang NU. Dari merekalah saya kembali mengenal Islam yang damai dan sadar bahwa ustaz atau kyai-kyai kampung yang pernah mengajar saya ngaji, mereka adalah orang-orang terbaik dalam agama. Meskipun tidak populer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun