Mohon tunggu...
Prasetya Bhagasnara
Prasetya Bhagasnara Mohon Tunggu... Konsultan - Auditor | Konsultan

Profesional muda yang kebetulan senang beruneg-uneg dan berkelakar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide yang (Terlalu) Buruk

1 Juni 2020   09:14 Diperbarui: 1 Juni 2020   09:45 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, saya mencoba mengupas sedikit beberapa alasan yang cukup masuk akal untuk menganggap bahwa ide penerapan new normal policy di tengah pandemi Covid-19 oleh pemerintah ini sebetulnya bukanlah ide yang patut dicemooh dan ditolak mentah-mentah. Karena tidak ada salahnya untuk mencoba melihat suatu gagasan dari sisi yang lebih netral. Karena siapa tau, ide ini sesungguhnya brilian.

1. Penerapan PSBB Tidak Efektif

Source: kompas.com/covid-19
Source: kompas.com/covid-19

Di atas adalah grafik dan data perkembangan Covid-19 di Indonesia, sampai dengan tanggal artikel ini di tulis. Mencemaskan bukan? Berikutnya kita perlu melihat grafik ini. Ini diunduh dari community mobility report yang diolah oleh Google untuk regional Indonesia:

Source: gstatic.com/covid19/mobility/2020-05-25_ID_Mobility_Report_en.pdf
Source: gstatic.com/covid19/mobility/2020-05-25_ID_Mobility_Report_en.pdf

Dari grafik di atas kita dapat melihat bahwa intensi orang untuk pergi bekerja dan pergi ke tempat grosir (sebut saja pasar, grosiran, farmasi, dsb) tidak dapat dibendung sepenuhnya oleh penerapan PSBB. 

Kita ambil contoh grafik pertama, terlihat bahwa memang betul tren secara umum mobilitas masyarakat Indonesia untuk pergi ke tempat grosir turun sebesar 17%. Tapi yang mencengangkan adalah, grafik tersebut tidak sepenuhnya stabil dan masih fluktuatif. Terlebih ketika memasuki masa-masa payday di sekitar tanggal 20-an April dan mendekati masa-masa hari raya lebaran di 20-an Mei.

Selepas dari masa-masa itu, ternyata tidak sepenuhnya juga masyarakat bisa lebih banyak berdiam diri di rumah. Kita bisa melihat dari grafik kedua, bahwa sebelum mereka dapat memiliki waktu luang untuk berkunjung ke tempat grosir, kecenderungannya mereka akan tetap keluar untuk bekerja ke kantor. Walaupun tentu saja dengan tingkat mobilitas yang lebih rendah dari kondisi normal.

Penyebab mereka tetap harus pergi ke kantor tentu saja karena kewajiban dari kantor masing-masing. Alasannya tentu karena adanya urusan niaga/bisnis yang tidak dapat dikesampingkan. 

Memang kita paham bahwa ada 11 sektor yang diatur pemerintah untuk dikecualikan "berhenti beroperasi", atau setidaknya wajib menyesuaikan cara kerjanya selama PSBB berlangsung. Tetapi bukannya pemerintah yang sama juga (baca: Kemenperin) yang menerbitkan surat edaran yang mengizinkan banyak pabrik dan industri tetap beroperasi? Ada kealpaan konsistensi yang membingungkan di sini.

Kondisi di atas sesungguhnya kurang lebih sama seperti dalam kondisi normal. Kita bekerja, lalu kalau sudah hari libur atau mendekati hari raya maka kita pergi berbelanja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun