[caption id="attachment_306653" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Bowo Bagus)"][/caption]
Mendengkur dengan henti nafas saat tidur (sleep apnea) telah lama kita ketahui mengakibatkan hipertensi, diabetes, penyakit jantung, stroke, impotensi dan berbagai penyakit berbahaya lain. Tetapi sering kali kita mengabaikan gejala lain dari sleep apnea, yaitu hipersomnia atau kantuk yang berlebihan. Padahal konsekuensi kantuk amat menurunkan kualitas hidup. Bahkan jadi sangat berbahaya ketika seseorang mengendara atau mengoperasikan alat berat.
Untuk itu, demi keselamatan penerbangan, kini Federal Aviation Administration (FAA) akan memeriksa semua pilot yang mendengkur.
Sleep Apnea
Ngorok sudah tak bisa dianggap sebagai tidur yang nyenyak lagi. Kebiasaan mendengkur sudah harus dianggap sebagai episode tak normal yang membahayakan. Sebab diantara dengkuran, sering kali terjadi henti nafas yang sayangnya tak disadari oleh penderita.
Pada saat tidur, saluran nafas melemas dan menyempit hingga mengganggu aliran udara nafas. Akibat sesak, tubuh dengan sendirinya membangunkan otak sejenak (micro arousal). Dengan berulangnya episode henti nafas sepanjang tidur, otak pun terbangun-bangun tanpa terjaga. Penderita sleep apnea tak tahu dirinya terbangun-bangun. Ia hanya bangun tak segar, dan terus mengantuk sepanjang hari.
Kondisi kantuk berlebihan walau durasi tidur sudah cukup ini disebut sebagai hipersomnia. Perlu diingatkan bahwa mengendara dalam kondisi mengantuk sama bahayanya dengan mengendara dalam kondisi mabuk. Tak heran bila di Inggris Raya ada peraturan yang melarang pendengkur untuk berkendara sampai sleep apnea-nya dirawat.
Keselamatan
Tercatat pada The Japan Times sebuah kejadian mengejutkan di Jepang di tahun 2003 dimana seorang pengemudi kereta super cepat tertidur selama 8 menit. Dalam kecepatan 300 km/jam, sistem otomatis menghentikan kereta tersebut. Walau tak menyebabkan kerugian nyawa, insiden ini menyadarkan masyarakat Jepang tentang bahaya mendengkur, karena dalam penyelidikan selanjutnya masinis tersebut ternyata mendengkur dan akhirnya terdiagnosa menderita sleep apnea.
Menanggapi ancaman sleep apnea, FAA berencana untuk memeriksakan semua pilotnya, terutama yang memiliki indeks massa tubuh lebih dari 30. Tetapi bukan hanya pada yang gemuk saja. Para ahli juga mengingatkan bahwa 30% orang dengan BMI dibawah 30 juga menderita sleep apnea.
Beberapa media di AS mengungkapkan bahwa kebijakan ini didengungkan lagi setelah terjadinya insiden dimana kedua pilot tertidur hingga melewatkan bandara tempat seharusnya mendarat. Sang kapten diketahui obese dan menderita sleep apnea.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H