Paviliun itu terletak di sebuah gang di jalan Titiran Dalam di kota Bandung. Itulah tempat tinggalku sewaktu kuliah dulu. Sore itu aku terhenyak di kursi robek yang ada di depan dengan perasaan campur aduk. Aku baru saja kembali dari tempat tinggal teteh (Teteh = kakak wanita), sewaktu di sana pintu dalam keadaan terkunci, kabar dari tetangganya mengatakan bahwa setelah pulang kerja teteh mengeluh perutnya sakit yang sangat dan segera dibawa ke rumah sakit. Tadinya aku mau segera ke rumah sakit, namun aku harus kembali ke tempat kos untuk membawa sesuatu yang bisa membantu teteh.
Aku berpikir, baiknya membawa apa ya untuk menjenguk teteh. Apa buah-buahan atau pakaian, bingung juga. Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu. Segera kubuka kunci pintu depan dan masuk ke ruang yang berupa koridor, namun juga berfungsi sebagai ruang tamu, kulewati ruang itu dan masuk ke dalam kamarku dan menuju ke sudut kanan di mana terletak lemari itu.
Dalam temaram cahaya sore, terlihat bayangan coklat kehitaman dari sebuah lemari kecil dan sederhana, namun cukup antik juga. Bentuknya kotak persegi panjang dengan model klasik. Tidak terlalu tinggi hanya setengah badan dan tidak terkunci, karena sudah rusak. Lemari ini adalah pemberian tante kawan kuliahku dan aku manfaatkan untuk menyimpan pakaian dan barang berharga lainnya.
Tadi setelah dari tempat teteh kuhubungi dulu ayah dan ibuku, ternyata beliau dan saudara-saudariku sudah di rumah sakit dan mengabarkan bahwa teteh sudah dioperasi perutnya karena seruas ususnya berlubang, katanya. Beliau sedang bingung karena biaya operasi ini membutuhkan dana besar padahal kondisi keuangan keluarga kami saat itu dalam kondisi kurang dan jauh dari cukup.
Saat duduk tadi aku teringat akan harta yang tersimpan di lemari antik itu yakni sebungkus uang, ya sebungkus uang karena memang uang itu benar-benar dibungkus oleh kertas koran dan disimpan untuk keperluan penyusunan skripsi nanti.
Perlahan kubuka lemari antik itu, lalu kuraba bagian belakang dari tumpukan pakaianku. Akhirnya kutarik sebuah bungkusan koran keluar dari lemari itu dan disimpan di atas kasur.
Tampak bungkusan koran itu sudah kusut dan menguning, maklum itu adalah bungkusan yang sudah bertahun-tahun disimpan. Kubuka lipatannya dan tampak setumpuk uang pecahan seribu, limaribu dan sepuluh ribuan di dalamnya. Kuhitung dengan saksama dan ternyata berjumlah lima ratus tujuh puluh satu ribu rupiah. Jumlah yang cukup besar saat di awal tahun sembilan puluhan.
Kubungkus kembali dan dimasukkan ke dalam tas. Lalu berkemas untuk pergi ke rumah sakit Rajawali Bandung.
Langit di ufuk barat membara dengan warna jingga, lembayung yang membuat badanku terhuyung saat menapak trotoar menuju rumah sakit. Setelah bertanya ke resepsionis nomor kamar rawat teteh, maka dengan langkah cepat aku menuju ke sana...
Langkahku jadi seret setelah kulihat teteh terbaring dengan pucat, semantara ayah dan ibuku duduk termenung di sisi pembaringan. Mereka sontak berdiri ketika melihat aku memasuki ambang kamar. Kakiku selemas kapas, ketika berjalan ke arah mereka. Mereka menahan tangis namun air mataku meleleh tak tertahankan...
Aku menyalami kedua orang tuaku dan memegang tangan teteh.
"Sabar ya, Teh..." Aku tak bisa berkata banyak.
Kurogoh bungkusan itu, lalu kuserahkan kepada ibu.
"Apa ini, Pras?" Tanya ibu dengan heran
"Sekadar membantu, Bu. Tidak banyak" Lirihku
Ribuan bulir air mata ibu, akhirnya tidak bisa ditahan lagi...
-ooOoo-Â
Aku percaya hanya tangan Tuhan-lah yang telah menolongku sehingga skripsiku selesai walau dana yang kusiapkan tidak ada.
-ooOoo-
Diceritakan kembali setelah hampir 25 tahun berlalu.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H