Sore ini, seperti banyak hari kemarin, lelaki itu duduk diatas batu dibawah pohon diujung jalan dekat rumahku. Menunggu...
Agaknya sudah cukup lama lelaki itu bertahan duduk diatas batu. Kemejanya yang putih bergaris biru necis mulai berbercak keringat di bagian ketiak. Rambutnya yang berminyak disisir klimis ke belakang semakin lunglai ditimpa peluh matahari senja.
Namun diatas batu itu dia ngotot menunggu.
Tak bergeming walau banyak yang menggoda keberadaannya. Seperti ibu pemilik warung yang nyinyir bergosip dengan penjual gorengan sambil melirik kearahnya dengan sinis. Atau abang penjual cendol yang bolak balik penasaran karena aroma dan dentingan gelasnya tak meruntuhkan iman si pemuda.
Tapi yang paling gila sebenarnya adalah aku, yang beberapa hari ini sengaja memarkir mobilku di seberang jalan, setiap sore. Hanya memandangi pemuda di atas batu, ikut menunggu...
Tahukah kau apa yang sebenarnya dia tunggu?
Setiap jam enam sore, ada pergantian shift jam kerja di mini market dekat kompleks rumahku. Mendekati jam itu si pemuda akan terlihat semakin gelisah. Terlihat dari bagian ketiak kemejanya yang semakin kuyup menguarkan asam yang dijamin membuat pejalan kaki yang lewat disekitarnya kliyengan. Lalu lima menit lewat jam enam dia akan berdiri, berbalik dan secepat kilat mengambil sisir di saku belakang celananya dan sibuk memperbaiki belah menyamping kiri berjambul rambutnya.
Lalu dia akan tetap berdiri, dengan lutut yang kurasa rasanya nyaris tak bersendi. Sampai gadis salah satu pekerja mini market itu datang melewati pohonnya dan tersenyum ke arahnya.
Ah... Gadis itu tak istimewa, berambut ikal, bermata bulat, dengan gusi depan sangat lebar dan maju ke depan. Sejujurnya, wajahnya lumayan manis ASAL dia tidak tersenyum.
Tapi itulah yang dinanti si pemuda, sampai rela duduk diatas batu tersiksa bau keringatnya sendiri, seulas senyum dari gadis pujaan hatinya.
Tapi cinta memang buta, ajaib dan tentu saja gila.
Menerima senyum seram penuh gusi itu wajah si pemuda sumringah tak kepalang. Walau sore ini, sama seperti berpuluh hari kemarin, lidahnya masih juga kelu, alamat besok dia harus duduk lagi diatas batu.
Tak sadar aku ikut tersenyum, mencuri sedikit kebahagiaan dari hatinya yang berbunga asmara.
Sebentar saja...
Biar aku ingat rasanya dijatuhi cinta, sebelum kembali ke penantianku sendiri. Kepada lelakiku yang walau tak harus duduk di atas batu, tak pernah menunggu senyumku...
Entah cinta memang gila atau hanya aku?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H