Mohon tunggu...
Pramuja Yudha Pratama
Pramuja Yudha Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Cogito Ego Sum

Education Develops Abilities, but doesn't Create them | Didik Keras Diri Sendiri atau Keras Dunia Menampar Nasib Diri | Find me at Instagram @pramujayudhaa_

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pandemi Tidak Hanya Merenggut Kepastian Hidup, Bahkan Kepastian Kebijakan Pemerintah!

18 April 2021   13:31 Diperbarui: 18 April 2021   14:29 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak satu tahun silam berjalannya pandemi Covid-19 tepat saat presiden secara resmi mengumumkan pada 2 Maret 2020, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik sebagai upaya penanganan atas dampak pandemi Covid-19, meminimalisir penyebaran atau bahkan kebijakan dalam aktivitas kenegaraan lain yang dikeluarkan dalam rentang waktu satu tahun silam. Banyak kebijakan yang menunjukan inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkannya. Padahal kebijakan adalah menifestasi dari wajah pemerintah selaku stake holder yang seharusnya mampu memberikan kepastian dan menghadirkan alternatif solusi bagi masyarakat dalam menghadapi situasi krisis sekalipun. Hal tersebut menjadi keresahan yang melatarbelakangi penulis, karena kebijakan ditetapkan berdasarkan kemampuan pemerintah dalam membaca keadaan, mempertimbangkan berbagai kemungkinan, mengkomunikasikan antar kepentingan, serta mengamankan jajaran internal untuk tetap selaras dalam mengambil peran. Maka penulis akan mencoba untuk menganalisa dan memaparkan ketermungkinan yang paling mungkin melatarbelakangi inkonsistensi kebijakan pemerintah dan beberapa kebijakan terkini yang menjadi keresahan kolektif masyarakat.

Kebijakan Sebagai Manifestasi Pemerintah

Pemerintah selaku mandataris rakyat memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan berdasarkan kepentingan rakyat, kebijakan sejatinya memberikan kepastian atas berbagai persoalan diluar kapasitas masyarakat untuk memastikan. Dengan seperangkat wewenang, pemerintah seharusnya mampu memberikan kepastian dan konsistensi dalam menentukan serta mengimplementasikan kebijakan yang ditetapkannya. Karena menurut Carl Frederick kebijakan diukur sejauh pelaksanaan yang diusulkan berdasarkan pertimbangan hambatan dan kesempatan, bukan terbatas pada wacana yang diusulkan semata. Maka ketika inovasi kebijakan sebatas disuarakan, namun kontradiktif dalam pelaksanaan, dapat dipastikan pemerintah hanya sedang menyebar wacana, tanpa keseriusan untuk menegakkan dan mengentaskan persoalan.

Implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan berbagai faktor yang akan mempengaruhi efektivitas kebijakan yang ditetapkan, seperti dalam kualitas komunikasi yang akan menentukan tersampainya maksud dari substansi kebijakan yang diagendakan, serta selarasnya pola kerja dan tindakan yang akan dilakukan oleh para pemegang kebijakan. Begitupun dalam struktur birokrasi yang akan mempengaruhi stabilitas kebijakan, karena friksi yang terjadi dalam tubuh birokrasi akan membentuk tindakan, dan peran yang berbeda bahkan berlawanan, sehingga stabilitas kebijakan tidak dapat dilakukan dan  perubahan terjadi sejauh tarik ulur kepentingan antar pihak yang menjadikan bias kebijakan bagi masyarakat.

Inkonsistensi kebijakan pemerintah menunjukan proses dalam menentukan kebijakan yang tidak paripurna. Baik dalam proses mengakomodasi seluruh aspirasi rakyat, mengkondisikan keseimbangan peran dalam komposisi kabinet atau bahkan membuka ruang check and balances bagi berbagai pihak yang memiliki kapasitas untuk memberikan evaluasi dan kritik dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Buruknya Komunikasi dalam Komposisi Kabinet

Komunikasi kerap menjadi persoalan yang mengiringi kabinet Indonesia Maju sejak resmi mengemban jabatan pada 23 Oktober 2019. Ketidakselarasan pendapat dan pernyataan senantiasa dipertunjukkan kepada publik yang melibatkan banyak menteri bahkan presiden dan wakil presiden. Seperti perbedaan pernyataan antara Menko Perekonomian Airlangga Hartanto yang menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan upaya pembatasan ekspor masker ke luar negeri, sementara Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan hal yang justru sebaliknya, bahwa pemerintah akan melakukan ekspor masker ke luar negeri. 

Tidak hanya itu, kasus serupa pun terjadi pada pernyataan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang menyatakan bahwa diperlukan adanya sertifikasi bebas korona untuk dapat meminimalisir distribusi kasus Covid-19 melalui masyarakat yang telah melakukan perjalanan dari luar negeri, sementara pernyataan tersebut justru dibantah dengan pernyataan dari Achmad Yurianto selaku Juru Bicara Pemerintah dalam penanganan Covid-19 yang menyatakan bahwa sertifikasi bebas korona tidak ada manfaatnya. Terjadi pula perbedaan pernyataan antara presiden dengan menteri agama dalam menangapi kasus penolakan renovasi Gereja Katolik Joseph di Tanjung Balai, presiden menyatakan bahwa kasus tersebut merupakan persoalan intoleransi yang perlu ditindak tegas secara konstitusi, sementara disisi lain menteri agama menyatakan bahwa kasus yang terjadi murni hanya persoalan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) bukan persoalan intoleransi seperti yang dikatakan presiden.

Semua itu mengindikasikan bahwa adanya koordinasi yang kurang efektif di dalam tubuh kabinet serta kurangnya sinergisitas ekskutif dalam merespon persoalan yang terjadi di masyarakat. Pemerintah seakan tidak memiliki prosedural yang jelas dalam mengkomunikasikan dan memberikan pernyataan di hadapan publik, bahkan seakan tidak mempertimbangkan urgensi dari pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah atas kepastian informasi bagi masyarakat. Antar menteri justru saling memberikan pernyataan yang berlawanan. Presiden dan wakil presiden pun bahkan terlibat dalam ketidakselarasan komunikasi yang dipertontonkan.

Buruknya komunikasi dan koordinasi yang terjadi pun diafirmasi oleh presiden dengan tiga kali mengingatkan kepada para menterinya untuk melakukan perbaikan kualitas komunikasi dan koordinasi satu dengan yang lain. Presiden pun mengatakan untuk berhati-hati dalam memberikan pernyataan kepada publik, dan pastikan bahwa tidak ada pernyataan yang saling berlawanan diantara para menterinya.

Pernyataan yang saling kontradiktif dari pemerintah memberikan ketidakpastian bagi masyarakat di tengah situasi krisis multidimensi, masyarakat dihadapkan pada berbagai pernyataan yang dikeluarkan oleh pihak yang memiliki kapasitas yang sama, namun keduanya saling memberikan pernyataan yang berbeda. Terdapat bias informasi yang sampai kepada masyarakat, bahkan untuk sekedar memastikan informasi yang diberikan kepada masyarakat pun pemerintah tidak mampu memenuhi itu, sehingga menjadi wajar ketika gelombang kritik atas banyaknya kebijakan pemerintah yang inkonsisten terus mengalami peningkatan. Karena jangankan untuk dapat memastikan kebijakan dan mengawal pelaksanaan, sekedar memastikan pernyataan saja pemerintah tidak dapat menuntaskan itu.

Abstainnya nasehat ahli dan hancurnya koalisi

Dalam menetapkan kebijakan seharusnya pemerintah akan selalu mempertimbangkan aspirasi masyarakat, serta pandangan ahli atau pihak yang memiliki kapasitas keilmuan yang serupa dengan kebijakan yang akan dibentuk, agar kebijakan yang ditetapkan secara presisi mampu memberikan solusi yang tepat dalam menangani persoalan yang ada, serta memberikan kepastian dan bukan sekedar angan.

Namun yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah tidak ada ahli yang mampu memberikan pandangan dan menyuguhkan puluhan data empiris kepada presiden untuk dapat dipertimbangkan dalam merumuskan setiap kebijakan yang diterapkan? Atau justru banyak ahli di lingkar istana, namun prinsip yang dipegang "asal bapak senang", menghadirkan pandangan untuk sekedar menyepakati asumsi presiden, menyajikan data untuk sekedar membahagiakan pandangan presiden dan menjelaskan fakta untuk sekedar memperjelas kebenaran bacaan presiden. Tanpa pernah memberikan pandangan yang berlainan, memberikan masukan yang berlawanan atau mengkritik atas ketidaksesuaian tindakan yang diambil istana dengan kebutuhan di lapangan.

Kabinet Indonesia maju dengan koalisi yang cukup gemuk, akan menjadi tantangan kemudian untuk mampu tetap mensinergikan koalisi sampai periodesasi tuntas. Sinergisitas koalisi yang dominan akan melanggengkan kepentingan dan kehendak pemerintah dalam merumuskan kebijakan, namun dengan koalisi dominan pula stabilisasi akan menjadi persoalan rumit kabinet diujung periodesasi. Mengingat periode kedua menjadi batas akhir bagi Presiden Jokowi untuk dapat mengemban jabatan sebagai presiden. Tidak ada kursi jabatan yang dapat ditawarkan dan tidak ada kepentingan kedepan yang dapat ditaruhkan, karena Presiden Jokowi secara individu hanya kader partai bukan pimpinan atau pendiri partai yang memiliki kapasitas untuk menggerakkan arah partai selayaknya pimpinan partai. Maka tidak ada lagi alasan bagi banyak partai koalisi untuk tetap bertahan pada posisi yang sama.

Friksi yang terjadi ditubuh kabinet bahkan tidak harus menunggu akhir periodesasi, pasca pandemi Covid-19 saja sudah terdapat 2 menteri kabinet Indonesia maju yang terjerat korupsi yaitu terjadi pada Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo yang telah ditangkap pada 25 November 2020 atas penerimaan aliran dana suap sebesar 3,4 milliar yang merupakan kader partai koalisi yaitu gerindra serta terjadi pula pada Menteri Sosial Julian Batubara yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada 6 Desember 2020 atas korupsi dana Bansos senilai 14,5 miliar yang merupakan kader partai yang sama dengan presiden yaitu PDI-P. Atas kasus korupsi yang menimpa menteri dalam kabinetnya, secara tidak langsung akan menciderai nama baik presiden dan fenomena ini secara implisit menjelaskan adanya komunikasi, controlling dan koordinasi yang tidak cukup baik dari presiden kepada para menterinya, bahkan dalam kurun waktu seminggu terdapat 2 menteri yang terkena kasus korupsi. keretakkan kabinet bahkan telah dipertontonkan sebelum akhir periodesasi. Tentu hal ini akan berdampak pada penentuan dan penetapan kebijakan yang cenderung inkonsisten akibat pertimbangan dari seluruh pihak dalam kabinet tidak dapat ditempuh terkhusus pada kementrian terkait akibat dari instabilitas internal kabinet.

Rakyat diminta Mengkritik, Namun Virtual Police dibiarkan Mencekik

Bentuk ketidakjelasan dan ketidakpastian maksud pemerintah di representasikan dalam sikap pemerintah membiarkan virtual police memberantas siapa saja yang berlainan pihak dengan pemerintah, padahal disisi lain tepat pada 8 Februari 2020 presiden berpidato dalam peluncuran laporan tahunan ombudsman meminta masyarakat untuk lebih aktif sampaikan kritik kepada pemerintah. Kedua hal ini menunjukan inkonsistensi pemerintah, disatu sisi meminta masyarakat aktif sampaikan kritik, namun disisi lain implementasi virtual police justru memberangus pihak yang tidak sepaham dengan pemerintah. Seperti dalam kasus yang menimpa warga Slawi, yang ditangkap oleh Tim Virtual Police Polres Surakarta karena menyinggung jabatan wali kota Solo yaitu Gibran Rakabuming. Pelaku diminta meminta maaf atas komentar yang dianggap menyinggung jabatan wali kota Solo. Penegak hukum pun tidak merepresentasikan tindakan restorative justice dan tidak bisa membedakan mana kritikan dan mana penghinaan. Berdalih dengan Pasal 27 ayat 3 (UU ITE) yang seharusnya fokus pada pemberantasan penipuan online dan kejahatan cyber justru penegak hukum malah berfokus pada pemberangusan komentar yang bahkan diragukan itu penghinaan atau sebatas kritikan.

Ambiguitas Larangan Mudik Sebagai Representasi Ketidakpastian Kebijakan

Kebijakan pelarangan mudik yang ditetapkan pada 6-17 Mei 2021 disampaikan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang mengatakan bahwa berdasarkan arahan presiden, pemerintah akan tegas untuk melarang mudik dan meminta masyarakat untuk tetap berdiam diri dirumah, dengan alasan untuk menekan laju penyebaran positif Covid-19 di tanah air. Namun disisi lain Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno justru akan mempersiapkan objek wisata ditengah pelarangan mudik lebaran yang justru berpotensi menimbulkan kerumunan dan cluster baru penyebaran Covid-19. Pemerintah menunjukan kebijakan yang kontraproduktif, disaat realitas pandemi Covid-19 jauh diluar kendali. Kebijakan pelarangan mudik yang tidak disertai dengan sistematika penegakkan yang jelas, justru akan menimbulkan ketidakpatuhan masyarakat, disaat sebagian mempertaruhkan rencana mudik lebaran, namun disisi lain wisata yang berpotensi menimbulkan penyebaran yang sama justru dibiarkan.

Bahkan dalam pelarangan mudik saja pemerintah tidak cukup tegas menegakkan kebijakan, disaat Kakorlantas Polri Irjen Pol Istiono mengatakan bahwa akan mengizinkan dan memperlancar masyarakat yang akan mudik sebelum tanggal 6. Pernyataan serupa disampaikan oleh Gubernur Jawa tengah Ganjar Pranowo yang bahkan menyarankan masyarakat untuk melakukan mudik lebaran dalam waktu dekat.

Hal ini menepis alasan pemerintah dalam melakukan pelarangan mudik lebaran dalam upaya menekan laju penyebaran Covid-19, karena pemerintah tidak hanya memperbolehkan mobilisasi serupa yaitu mudik lebaran sebelum tanggal 6, pemerintah pun memfasilitasi potensi kerumunan atas dibuka nya berbagai objek wisata.

Kebijakan pelarangan yang tidak memiliki kepastian penegakkan, menimbulkan beragam protes yang tidak hanya disampaikan oleh masyarakat sipil, namun disambut penolakan serupa oleh Gubernur Banten Wahidin Salim yang mempertanyakan bagaimana cara mengawasi dan memastikan penegakkan protokol kesehatan pada semua objek wisata yang dibuka. Karena tidak mungkin mengandalkan pada Satgas Covid-19 di setiap daerah untuk melakukan pemantauan dan penegakkan pada seluruh destinasi wisata yang ada, pemerintah seharusnya cukup fokus pada penanganan dan upaya menekan penyebaran Covid-19, bukan justru mencari celah untuk memaksa ekonomi bangkit. Bahkan hal serupa pun dinyatakan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani yang meminta pemerintah konsisten dalam penerapan kebijakan di lapangan bukan justru menghadirkan kebijakan yang membingungkan.

Motif dibalik pelarangan mudik lebaran dan membuka berbagai destinasi wisata untuk menekan laju penyebaran Covid-19 telah terbantahkan, karena justru potensi kerumunan serupa dan cluster baru sangat mungkin dihasilkan. Jika motif utamanya adalah kebangkitan ekonomi, justru pemerintah sedang membunuh sektor ekonomi lainnya diluar pariwisata. Seperti industri fashion yang telah melakukan persiapan dengan stok berbagai bahan dan design baju untuk lebaran, jasa transportasi umum yang berharap dengan tidak adanya pelarangan mudik mampu memberikan perbaikan pemasukan, justru harus mengalami stagnasi dan kerugian yang sama.

Dengan semua persoalan ketidakpastian kebijakan yang selalu dihadirkan, seharusnya pemerintah mampu mengentaskan berbagai faktor yang hadir dari tubuh internal pemerintah, dan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan harus mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dengan beragam pertimbangan, sehingga mampu memberikan kepastian bagi masyarakat.

Daftar Pustaka 

Farisa, F. C. (2021, April 16). Merespons Pernyataan Ganjar, Satgas Tegaskan Larangan Mudik Berlaku 6-17 Mei . Retrieved from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2021/04/16/06275021/merespons-pernyataan-ganjar-satgas-tegaskan-larangan-mudik-berlaku-6-17-mei

Mohammad Bernie, I. S. (2021, April 10). Mudik Dilarang tapi Wisata Dibuka: Bikin Bingung, Bikin Runyam. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/mudik-dilarang-tapi-wisata-dibuka-bikin-bingung-bikin-runyam-gbZs

Perdana, R. (2021, Maret 16). Warga Ditangkap Virtual Police Karena Komentar Singgung Gibran, ICJR: Kemunduran Demokrasi. Retrieved from Prfmnews.id: https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-131621152/warga-ditangkap-virtual-police-karena-komentar-singgung-gibran-icjr-kemunduran-demokrasi

Prabowo, D. (2020, 10 22). Tiga Kali Jokowi Ingatkan Menterinya Karena Komunikasi Publik yang Buruk. Retrieved from kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/22/08181331/tiga-kali-jokowi-ingatkan-menterinya-karena-komunikasi-publik-yang-buruk?page=all

Purnomo, K. (2020, Desember 7). Daftar 4 Menteri Era Jokowi yang Tersandung Kasus Korupsi, Juliari Batubara Sempat Raih Penghargaan. Retrieved from Tribunnewsmaker.com: https://newsmaker.tribunnews.com/2020/12/07/daftar-4-menteri-era-jokowi-yang-tersandung-kasus-korupsi-juliari-batubara-sempat-raih-penghargaan?page=4

Taufiq Hidayatullah, L. R. (2020, Maret 14). Komunikasi buruk Kabinet Jokowi yang tak pernah usai. Retrieved from Lokadata.id: https://lokadata.id/artikel/komunikasi-buruk-kabinet-jokowi-yang-tak-pernah-usai

 Agustino,Leo.2008.Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Bandung:Alfabeta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun