Mohon tunggu...
Achmad Pramudito
Achmad Pramudito Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Pemerhati seni budaya, dunia pendidikan, dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Belajar Mandiri Itu dari Cergam 'Tarzan' hingga 'Gundala Putra Petir'

11 Januari 2023   04:56 Diperbarui: 30 Juli 2023   19:35 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya', ini bukan semata pepatah usang.

Jika ibu 'meracuniku' di lorong literasi seperti sekarang ini lewat catatan panjangnya di buku harian, bapak memberi pengaruhnya dengan caranya sendiri.

Tidak dengan kata-kata. Karena --jujur---di masa kecil kami, bapak bisa dibilang minim berkomunikasi dengan anak-anaknya.

Beliau memberi contoh --setidaknya itu yang akhirnya menular padaku---lewat semua yang dilakukan setiap harinya. Mulai berangkat kerja sampai kembali ke rumah, dan masuk ke kamar: duduk dan larut dalam tumpukan berkas kerja dari kantor.

Atau di saat berikutnya beringsut menghadap mesin ketik, dan mulai asyik menyusun kata demi kata sehingga jadi berlembar-lembar naskah pidato yang esoknya akan dibacakan wali kota di berbagai acara kedinasan.

Di masa itu, bahan pidato wali kota berasal dari tulisan-tulisan beliau. Mulai Soekotjo, Soeparno, Moehadji Widjaja, hingga Poernomo Kasidi.

Tulisan-tulisan itu dirangkum dari banyak bahan, mulai buku yang bertumpuk di lemari kerja, hingga lembaran koran yang setiap hari beliau bawa pulang dari kantor.

Tak heran bila di meja tamu setiap hari selalu ada tumpukan beragam media cetak, seperti Kompas, Suara Karya, Harian Terbit, Suara Pembaharuan, dan masih banyak lagi. Di antaranya lalu dipilih, digunting, dan jadi kliping untuk bahan pelengkap tulisan beliau.

Tumpukan koran inilah yang kemudian memancing perhatianku. Bukan membaca beritanya. Tetapi komik-komik yang mengisi halaman koran itu.

Ya..di masa itu aku suka mengikuti cerita-cerita bergambar seperti 'Tarzan', 'Gundala Putra Petir', 'Godam', serta 'Si Buta dari Gua Hantu'. Begitu membuka koran, bagian cergam ini yang aku cari lebih dulu.

Bisa jadi lantaran keseharian 'bergumul' dengan beragam koran dan juga majalah ini, maka aku sempat coba jadi loper koran/majalah. Entah bagaimana mulanya --aku sendiri sudah lupa. Yang pasti, ketika itu --saat masih duduk di bangku SMP---aku dapat pelanggan untuk beberapa koran dan majalah.

Tujuan utamanya bukan untuk mendapatkan uang dari hasil mengantar koran/majalah ke alamat pelanggan. Tetapi bisa membaca isi majalah itu lebih dulu sebelum kemudian aku antar ke pelanggan.  

Mencari uang di usia masih SMP bukan hal tabu di keluargaku. Karena ibu memang mengajarkan semua anaknya bisa mandiri, agar tidak cengeng.

Apalagi keempat anaknya adalah laki-laki yang nantinya bertanggungjawab kepada keluarga. Dan di sisi lain, tentu bisa menghargai jerih payah mencari uang sendiri.

Maka yang sempat aku jalani tak cuma jadi loper koran/majalah. Aku bahkan pernah pula jadi kernet angkutan kota (angkot) yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan bemo.

Yang punya bemo memang bukan orang jauh. Tetanggaku yang juga pegawai di Kotamadya Surabaya. Sepulang dari kantor, pak Bachtiar --tetanggaku itu---menjalankan bemonya dengan rute Terminal Wonokromo-Pasar Turi.

Sekali lagi bukan dapat uang dari hasil ngernet yang aku cari. Tetapi, rasanya seru bisa bergelantungan di bemo sambil meneriakkan arah dari bemo itu untuk menarik perhatian calon penumpang.

"Pasar Kembang....Arjuno...Semarang...yuk masih kosong!" seruku di sepanjang jalan.

Untuk semua yang aku lakukan itu, bapak maupun ibu sama sekali tak pernah bilang: 'Jangan!'. Pesan beliau sederhana saja: "Carilah rejeki yang halal. Apa pun bisa kamu lakukan, asal tidak mencuri!"

Kembali ke soal budaya literasi. Sekali lagi bapak tak pernah secara langsung mengajariku menulis. Meski tentu --dengan semua yang beliau sudah hasilkan selama ini---beliau adalah penulis ulung.

Anak-anaknya seakan 'dituntut' mencari jalannya sendiri.  

Dan jalanku --bila bisa disebutkan seperti itu---diantaranya dimulai ketika aku dipercaya sebagai 'pemimpin redaksi' Paramita. Majalah bulanan di sekolahku dulu, SMA Negeri 1 Surabaya.

Ohya....aku baru ingat. Saat masih kuliah, bapak sempat minta aku membantu menulis di Majalah Gapura, media bulanan internal Kotamadya Surabaya. Aku diminta mewawancari sejumlah camat, dan kemudian bikin tulisan profil tentang camat itu di Majalah Gapura.

Ketika itulah aku jadi tahu begitu detilnya bapak mengkoreksi kata demi kata hasil tulisanku. Bapak sangat peduli pada susunan kata serta kalimat yang ditulis sesuai ejaan yang benar dan betul.

Tetapi kenapa bapak sangat tidak setuju ketika dalam perjalanan karierku, aku memilih jadi jurnalis ketimbang sebagai guru sesuai ijazah yang sudah aku pegang setelah lulus dari IKIP Negeri Surabaya? (simak selengkapnya di tulisan berikutnya) *

*catatan untuk 100 hari perjalanan ibu menghadapNYA: 30-09-2022*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun