Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan kata kunci dalam menekan dan mengurangi laju deforestasi dan kehilangan tutupan hutan (forest coverage) di Indonesia. Kata RHL mudah diucapkan tetapi sulit dilaksanakan. Disamping biayanya yang tidak murah, praktek pelaksanaannya dilapangan amat sulit dan  tidak semudah yang dibayangkan.Â
Buktinya, Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektare, hutan lindung 2.379.371 hektare, hutan produksi 5.109.936 hektare, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektare, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare. Kemampuan pemerintah merehabilitasi hutan rusak hanya 200.000 hektare per tahun. Sementara laju deforestasi 450.000 hektare per tahun.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah mempunyai tanggung jawab penuh dalam hal rehabilitasi hutan baik dari segi penyediaan bibit, penanaman sampai dengan pemeliharaannya. Untuk kegiatan rehabilitasi lahan, pemerintah bertanggungjawab untuk membantu menyediakan bibit, melakukan bimbingan (supervisi) serta melakukan pengendalian dan pengawasan. Sayangnya, apa yang dilakukan oleh pemerintah (KLHK) untuk program RHL selama ini masih sebatas dalam penyajian angka-angka/ data tentang jumlah bibit yang disediakan dan  disetarakan (diequivalentkan) dengan luasan (hektare) yang dapat ditanam dilapangan. Lihat saja, dalam suatu kesempatan Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), sesungguhnya telah ditingkatkan besaran luasnya.
Sebelum tahun 2019 biasanya luas kegiatan RHL hanya sekitar 23 -- 25 ribu ha, maka pada tahun 2019, kegiatan RHL sudah mencapai 207 ribu ha. Untuk tahun 2020 ini, kegiatan RHL diprediksi bisa lebih dari 403 ribu ha yang bisa ditanami setiap tahun.Â
Angka-angka yang disebut ribuan hektar hutan dan lahan yang direhabilitasi bukan menjadi jaminan (garansi) bahwa pohon yang ditanam tadi pasti berhasil, karena sesungguhnya pohon yang baru ditanam baru melalui proses/ tahap pertama dari empat proses/tahapan keseluruhan keberhasilan tanaman.Â
Sebagaimana diketahui, untuk menjadi pohon yang dewasa menurut ilmu ekologi hutan melalui 4 (empat) tahapan/proses yakni anakan, sapihan/pancang, tiang sampai pohon dewasa. Proses untuk menjadi pohon dewasa dari bibit mulai ditanam membutuhkan waktu 15 -- 20 tahun. Dalam kegiatan rehabilitasi hutan selama ini , KLHK hanya mampu melakukan pada proses/tahapan pertama saja, selebihnya proses-proses lainnya diserahkan kepada proses alam
Pengalaman Rehabilitasi Hutan
Pada waktu masih bertugas di Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Wilayah IX di Ujung Pandang ( sekarang Makassar) tahun 1994 di Provinsi Sulawesi Selatan, saya diberi tanggungjawab sebagai pimpinan proyek (pimpro) rehabilitasi hutan bantuan OECF-JICA (pemerintah Jepang) di Kabupaten Bone seluas 9000 hektar.
Kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan adalah mulai dari mendesign lapangan (dalam perencanaan dan perpetaan), menetapkan jenis tanaman yang sesuai, menyiapkan persemaian/pembibitan, melaksanakan penanaman (menyiapkan lubang tanaman, ajir, piringan tanaman dan seterusnya), memobilisasi tenaga kerja, menyiapkan pencairan dana yang harus dilakukan dalam waktu 12 bulan  ( satu tahun).
Mengingat bahwa dana yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan ini dibiayai oleh anggaran pemerintah (meskipun bantuan luar negeri) , maka realisasi kegiatan dan keuangan harus dipertanggungjawabkan melalui mekanisme audit yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Departemen Kehutanan (waktu itu) maupun Badan Pengawasan  Keuangan dan Pembangunan (BPKP)  pada akhir kegiatan penanaman. Oleh karena itu,  perlu memperkuat secara administrasi dan  teknis, dalam dokumen perencanaan yang dilengkapi dengan peta kerja yang dibuat secara detil (rigid), agar tidak ada celah lagi untuk ditafsirkan yang lain.
Masalah yang dihadapi adalah kegiatan rehabilitasi yang akan dilaksanakan dibatasi oleh waktu (12 bulan), musim tanam yang tidak bisa digeser dan batas luar luas tanaman dan jumlah tanaman yang ditanam serta jarak tanam yang ideal yang semuanya dituangkan dalam satu dokumen perencanaan yang jelas dan detil. Salah satu contoh nyata adalah jarak tanam saja sudah menjadi masalah. Seringkali jarak tanam, tanaman kehutanan sifatnya semu bila dikaitkan dengan luas lahannya. Kenapa ? lahan atau kawasan hutan yang ditanami kebanyakan topografinya miring sampai curam, kalau topografinya relatif datar biasanya luas tidak seberapa dibanding yang miring dan curam dengan kelerengan antara 40 -100 persen. Luas kawasan hutan yang ditanam dapat mencapai ratusan bahkan sampai ribuan ha. Meskipun telah dibantu oleh teknologi Global Positioning System (GPS) dan peta topografi yang paling mutakhir  sekalipun (pada waktu itu), serta pemetaan dng alat plotter (bukan manual)  ternyata deviasi yang diperoleh dari pengechekan dilapangan cukup signifikan. Batas luar lokasi dilapangan banyak ditemukan diatas air pada lembah-lembah yang mengalir sungainya. Pada akhirnya, saya memutuskan bahwa hasil pemetaan GPS dan analisis peta topografi dan dituangkan dalam peta kerja dari hasil plotter sifatnya hanya pedoman atau panduan umum. Sedang peta yang dianggap sah dan final adalah peta gabungan antara panduan umum dengan hasil groundchek lapangan.
Masalah yang muncul dilapangan adalah bagaimana menghitung jumlah tanaman dalam satuan luas (ha) pada lahan dengan topografi datar dengan topografi miring, sementara kita mendasarkan pada peta kerja yang bidang permukaannya dengan luas 9000 ha bersifat datar ?  Pertanyaan pelaksana penanaman dilapangan masuk akal dan mendasar. Luas satu ha  lahan hutan berbentuk datar dengan satu ha lahan hutan yang mempunyai kemiringan 100 % (kemiringan 45 ) akan jauh berbeda apabila disajikan dalam peta kerja. Jangan-jangan bibit yang jumlahnya sudah dihitung dengan baik dan cukup sesuai dengan luas dilapangan tidak mencukupi untuk ditanam sesuai dengan peta kerja yang ada.
Benar juga, setelah dilakukan pengkajian lebih jauh dan seksama, ternyata jarak tanam dilapangan apabila diangkat dan disajikan kedalam peta kerja menjadi semu dan menyesatkan karena jumlah bibit yang telah disiapkan pasti akan menyusut luasnya apabila diplot diatas peta kerja yang telah diikat titik-titik batas luarnya dengan GPS. Penjelasannya adalah mari kita komparasi antara lahan datar dan lahan dengan kemiringan 100 % dengan luas yang sama yakni satu ha. Dengan jarak tanam 3 x 2 m, lahan datar luas satu ha (100 x 100 m) berisi 1650 bibit tanaman. Sedangkan pada lahan kemiringan 100 %, berisi dengan jumlah yang sama 1650 bibit tanaman, namun bila disajikan dalam peta kerja hanya menempati luas 4900 m2 (70 x 70 m) saja. Dengan hukum phytagoras segitiga  siku-siku sama kaki, dapat diketahui bahwa lahan yang ditanami adalah sisi miring dengan panjang dan lebar 100 x 100 m, sedangkan sisi siku sikunya bila dihitung dengan rumus phytagoras hanya sekitar 70 x 70 m, itulah yang nampak tersaji dalam peta kerja dan membuat luasnya menjadi menyusut diatas peta. Begitu pula yang terjadi dengan lahan-lahan lainnya yang kemiringannya dibawah 100 %, tentu dapat pula dihitung dengan rumus yang sama dengan penyusutan yang tidak seekstrem kemiringan 100 %. Ini yang saya sebut dengan jarak tanam semu dan menyesatkan.
Dalam dokumen perencanaan, dijelaskan bahwa dengan luas 9000 ha, dengan jarak tanam 3 x 2 m, satu ha membutuhkan bibit sebanyak 1650 batang. Dengan demikian, jumlah bibit yang harus tersedia sebanyak 17.820.000 batang bibit (14.850.000 bibit untuk ditanam dan 2.970.000 bibit untuk penyulaman sebanyak 20 %), namun dalam teknis penanamannya dijelaskan bahwa penanaman dilakukan dengan jarak tanam 2 x 3 m dan atau dalam satu ha dilapangan bermuatan bibit penamanam sebanyak 1650 batang bibit. Penjelasan muatan bibit penanaman dilapangan sebanyak 1650 batang bibit/ha adalah untuk mengantisipasi penyusutan luas diatas peta kerja yang dipersoalkan diatas.
Sewaktu saya diperiksa dan diaudit tentang kegiatan dan keuangan dari proyek rehabilitasi hutan tersebut oleh Inspektorat Jenderal  Departemen Kehutanan dan aparat BPKP pusat, mereka dapat menerima penjelasan tentang jarak tanam ini dan dinyatakan clean and clear. Memang tidak mudah untuk menjelaskannya, namun semua dapat diurai dengan baik dengan menggunakan akal pikiran dan logika yang sehat. Pengalaman yang sangat berharga dalam bekerja dilapangan dan tidak pernah dipelajari teori apalagi praktek dalam bangku kuliah di perguruan tinggi.
Kesimpulannya adalah melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan tidak semudah yang dibayangkan apalagi menyangkut luasan kegiatan rehabilitasi hutan yang cukup besar dengan topografi yang beragam dan musim yang berbeda-beda tiap daerah. Itupun hanya sebatas dalam proses/tahapan pertama saja, belum menyentuh pada keberhasilan tanaman menjadi pohon dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H