Masalah yang muncul dilapangan adalah bagaimana menghitung jumlah tanaman dalam satuan luas (ha) pada lahan dengan topografi datar dengan topografi miring, sementara kita mendasarkan pada peta kerja yang bidang permukaannya dengan luas 9000 ha bersifat datar ?  Pertanyaan pelaksana penanaman dilapangan masuk akal dan mendasar. Luas satu ha  lahan hutan berbentuk datar dengan satu ha lahan hutan yang mempunyai kemiringan 100 % (kemiringan 45 ) akan jauh berbeda apabila disajikan dalam peta kerja. Jangan-jangan bibit yang jumlahnya sudah dihitung dengan baik dan cukup sesuai dengan luas dilapangan tidak mencukupi untuk ditanam sesuai dengan peta kerja yang ada.
Benar juga, setelah dilakukan pengkajian lebih jauh dan seksama, ternyata jarak tanam dilapangan apabila diangkat dan disajikan kedalam peta kerja menjadi semu dan menyesatkan karena jumlah bibit yang telah disiapkan pasti akan menyusut luasnya apabila diplot diatas peta kerja yang telah diikat titik-titik batas luarnya dengan GPS. Penjelasannya adalah mari kita komparasi antara lahan datar dan lahan dengan kemiringan 100 % dengan luas yang sama yakni satu ha. Dengan jarak tanam 3 x 2 m, lahan datar luas satu ha (100 x 100 m) berisi 1650 bibit tanaman. Sedangkan pada lahan kemiringan 100 %, berisi dengan jumlah yang sama 1650 bibit tanaman, namun bila disajikan dalam peta kerja hanya menempati luas 4900 m2 (70 x 70 m) saja. Dengan hukum phytagoras segitiga  siku-siku sama kaki, dapat diketahui bahwa lahan yang ditanami adalah sisi miring dengan panjang dan lebar 100 x 100 m, sedangkan sisi siku sikunya bila dihitung dengan rumus phytagoras hanya sekitar 70 x 70 m, itulah yang nampak tersaji dalam peta kerja dan membuat luasnya menjadi menyusut diatas peta. Begitu pula yang terjadi dengan lahan-lahan lainnya yang kemiringannya dibawah 100 %, tentu dapat pula dihitung dengan rumus yang sama dengan penyusutan yang tidak seekstrem kemiringan 100 %. Ini yang saya sebut dengan jarak tanam semu dan menyesatkan.
Dalam dokumen perencanaan, dijelaskan bahwa dengan luas 9000 ha, dengan jarak tanam 3 x 2 m, satu ha membutuhkan bibit sebanyak 1650 batang. Dengan demikian, jumlah bibit yang harus tersedia sebanyak 17.820.000 batang bibit (14.850.000 bibit untuk ditanam dan 2.970.000 bibit untuk penyulaman sebanyak 20 %), namun dalam teknis penanamannya dijelaskan bahwa penanaman dilakukan dengan jarak tanam 2 x 3 m dan atau dalam satu ha dilapangan bermuatan bibit penamanam sebanyak 1650 batang bibit. Penjelasan muatan bibit penanaman dilapangan sebanyak 1650 batang bibit/ha adalah untuk mengantisipasi penyusutan luas diatas peta kerja yang dipersoalkan diatas.
Sewaktu saya diperiksa dan diaudit tentang kegiatan dan keuangan dari proyek rehabilitasi hutan tersebut oleh Inspektorat Jenderal  Departemen Kehutanan dan aparat BPKP pusat, mereka dapat menerima penjelasan tentang jarak tanam ini dan dinyatakan clean and clear. Memang tidak mudah untuk menjelaskannya, namun semua dapat diurai dengan baik dengan menggunakan akal pikiran dan logika yang sehat. Pengalaman yang sangat berharga dalam bekerja dilapangan dan tidak pernah dipelajari teori apalagi praktek dalam bangku kuliah di perguruan tinggi.
Kesimpulannya adalah melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan tidak semudah yang dibayangkan apalagi menyangkut luasan kegiatan rehabilitasi hutan yang cukup besar dengan topografi yang beragam dan musim yang berbeda-beda tiap daerah. Itupun hanya sebatas dalam proses/tahapan pertama saja, belum menyentuh pada keberhasilan tanaman menjadi pohon dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H