KHKP
Penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) ditujukan untuk kegiatan penyediaan kawasan hutan guna pembangunan ketahanan pangan (food estate). Ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal dalam PP 23/2021 terkait dengan penggunaan kawasan hutan untuk KHKP, ada yang tidak sinkron dan terasa berseberangan antara satu dengan yang lain. Pasal pasal yang perlu dicermati tersebut antara lain adalah :
Pertama, penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.Â
Penggunaan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di dalam a) kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung (pasal 69 dan 90).  Sementara dalam bab III perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan pasal 58 ayat (4) berbunyi: pelepasan kawasan hutan  untuk kegiatan antara lain pengadaan tanah untuk ketahanan pangan (food estate) dan energi dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan/latau kawasan hutan produksi tetap.
Pasal 58 dengan pasal 69 dan 90 saling bertentangan satu dengan yang lain. Disatu sisi, dalam hutan produksi (dapat dikonversi maupun tetap), untuk kegiatan food estate dapat dilakukan kegiatan pelepasan kawasan hutan  yang muaranya nanti dapat merubah status dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan (missal Hak Guna Usaha (HGU) seperti perkebunan), sementara disisi lain dalam KHDTT sebagai bagian dari penggunaan hutan tidak diperkenankan/diizinkan untuk mengubah fungsi pokok kawasan hutan.Â
Dalam Peraturan menteri LHK P.24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate yang diterbitkan 26 Oktober 2020 malah lebih membingungkan lagi karena hutan produksi yang boleh dilepaskan kawasan hutannya hanya hutan produksi yang dapat dikonversi.Â
Mestinya anomali tentang food estate ini sudah tidak perlu terjadi dengan terbitnya PP 23/2021 ini, namun masih terdapat Peraturan Menteri yang akan mengatur tentang penggunaan kawasan hutan yang belum terbit sebagai pendukung PP 23/2021 yang barangkali akan mengatur lebih jelas tentang food estate ini.
Kedua, kegiatan food estate dalam hutan lindung yang dianggap kontroversial. Dalam bab.V, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, paragraf 2, pasal 129 Â dinyatakan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung meliputi antara lain adalah wana tani (agroforestry), wana mina (silvofishery) dan wana ternak (silvopasture).Â
Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, b) pengolahan tanah terbatas, c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.Â
Menurut Kepala Biro Humas KLHK, dalam pembangunan food estate pada kawasan hutan lindung (HL), syaratnya adalah sudah tidak sepenuhnya berfungsi berfungsi lindung, yaitu kawasan hutan lindung yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan.Â
Kawasan HL yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung harapannya bisa dipulihkan dengan food estate. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan  (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak ( sylvopasture) atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan (sylvofishery).Â