KONTROVERSI KEBUN SAWIT DALAM HUTAN
Masalah kebun sawit dalam kawasan hutan menjadi hangat dan menarik kembali setelah menteri LHK dan jajaran menteri lingkup kementerian perekonomian melakukan pernyataan pers tentang UU Cipta Kerja, khususnya bidang kehutanan. Dalam materi tertulisnya, menteri LHK secara khusus menyinggung tentang keterlanjuran kebun (sawit) dalam kawasan hutan dalam bab tersendiri yang terdiri dari 2 (dua) hal yakni :
Pertama, secara khusus UUCK menegaskan untuk mengatasi masalah yang selama ini selalu ada yaitu untuk tidak terjadi kriminalisasi dan dapat mengakomodir pelanggaran yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal didalam dan/atau disekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dikenakan sanksi administratif (bukan pidana) dengan pertimbangan bahwa masyarakat menetap dan bermukim disana.  Kedua, UUCK juga mengatasi masalah yang cukup lama sejak adanya UU pemerintahan daerah (1999 maupun 2014), dimana izin-izin kebun yang sudah terlanjur diberikan oleh pemda kabupaten, ternyata berada dalam kawasan hutan tanpa izin. Penyelesaian keterlanjuran kebun kelapa sawit  dalam kawasan hutan
a). Yang mempunyai izin. Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan  didalam kawasan hutan sebelum berlakunya UUCK ini  yang belum memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dibidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak UUCK ini berlaku. Jika setelah lewat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UUCK ini, tidak menyelesaikan persyaratan persyaratan, dikenakan sanksi administratif berupa : pembayaran denda administratif; dan atau pencabutan izin. Pengaturan kententuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda dan tata cara pengenaan sanksi administrative yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
b). Yang tidak mempunyai izin. Setiap orang yang melakukan pelanggaran dikawasan hutan tanpa memiliki perizinan berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya UUCK ini, dikenakan sanksi administratif berupa : penghentian sementara kegiatan usaha; denda; ; dan/atau paksaan pemerintah. Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal didalam dan /atau disekitar kawasan hutan, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan. Pengaturan kententuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda dan tata cara pengenaan sanksi administratif yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Membaca dan menyimak dari penjelasan menteri LHK tentang keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan secara sepintas nampaknya masalahnya dapat terselesaikan dengan UUCK. Namun itu, mungkin penyelesaian masalah dalam jangka pendek, dalam jangka panjang masih banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas, khususnya untuk kebun yang tidak mempunyai izin.
Sejarah Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan
Gonjang ganjing tentang kebun sawit yang berada dikawasan hutan sudah terjadi sejak lama, sejak diterbitkannya PP. no. 60 tahun 2012 dan PP. no. 104 tahun 2015 yang diterbitkan oleh presiden Joko Widodo tentang tata cara perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Ternyata proses pemutihan kebun sawit ini tidak berjalan mulus. Proses dan prosedur rumit dan berbelit belit. Mencari lahan pengganti juga tidak mudah, sehingga banyak perusahaan kebun yang kurang tertarik dengan mekanisme ini. Padahal PP. no. 104 tahun 2015, lebih akomodatif dari aturan sebelumnya. Pasalnya, perkebunan yang mendapat pemutihan tidak hanya yang beroperasi di kawasan hutan produksi (HP) atau hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), tapi juga di hutan konservasi dan hutan lindung (HL). Pembedanya, jika di HP atau HPK, perkebunan bisa mengajukan izin yang berlaku selamanya, maka di Hutan Konservasi dan hutan lindung perusahan kebun hanya diberi kesempatan beroperasi untuk satu daur saja.
Usulan agar tanaman sawit menjadi dilegalkan menjadi tanaman hutanpun santer digaungkan tidak saja dari pengamat kehutanan dan lingkungan tetapi juga dari pihak akademisi di perguruan tinggi. IPB misalnya mendorong tanaman sawit menjadi tanaman hutan dengan alasan tanaman sawit tidak ada bedanya dengan tanaman karet yang merupakan komoditas perkebunan yang telah lama diakui sebagai tanaman hutan. Artinya, sawit sah untuk ditanam di kawasan hutan dengan bandrol izin hutan tanaman rakyat (HTR) maupun hutan tanaman industri (HTI). Dari pihak UGM menyuarakan hal yang senada, dengan mengusulkan kebun sawit dalam kawasan hutan, mengusulkan terobosan yang dinamai dengan strategi jangka benah. Jangka benah merupakan upaya pembenahan kawasan hutan yang telah terlanjur dibuka masyarakat menjadi kebun sawit untuk dikembalikan menjadi hutan kembali. Startegi tersebut berbasis pada upaya perbaikan pendapatan keluarga petani kecil, aspek sosial, dan fungsi ekologi. Konsep ini masyarakat bisa mengelola kebun sawit di dalam hutan namun dengan pendekatan pengelolaan yang berbeda. Misalnya dengan model agroforestri yakni dengan menanam tanaman lain dalam kebun sawit untuk meningkatkan produktivitas lahan dan biodiversitas. Dalam periode awal perlu dilakukan perbaikan struktur dari hutan monokultur menjadi heterokultur dengan agroforsetri. Selanjutnya diikuti dengan upaya perbaikan fungsi hidrologis hutan.
November 2019 tahun lalu, pemerintah sedang mempertimbangkan mengizinkan kebun sawit yang terlanjur di dalam kawasan hutan tetap dikelola dengan sistem agroforestri. Untuk itu, jangka waktu pemberian dispensasi akan diperpanjang, tidak lagi 12 tahun. Perkebunan sawit yang mencaplok kawasan hutan ternyata mencapai 3,1 juta hektare (ha) dan sampai kini belum memiliki izin pelepasan. Dari jumlah itu, sekitar 576.983 ha sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Nah, sisanya yang tidak memproses pelepasan --- sekitar 1,2-1,7 juta ha --- terindikasi sebagai sawit rakyat.
Memidanakan rakyat juga bukan jalan keluar. Apalagi, banyak kebun yang dibangun karena regulasi saat itu memungkinkan. Kondisi "buntu" ini yang terus dibahas jalan keluarnya, salah satunya dengan memungkinkan sawit bisa dikelola dalam kawasan hutan dengan pola agroforestri. Selama ini, berdasarkan Permen LHK No. P.83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, sawit yang terlanjur di dalam hutan masih bisa dikelola selama 12 tahun sejak tanam. Hanya saja, rakyat menolak karena di usia 12 tahun tanaman sawit sedang sangat produktif. Itu sebabnya, Permen LHK P.83/2016 akan direvisi, termasuk memperpanjang waktu dispensasi keberadaan sawit hingga satu daur atau sekitar 35 tahun.