Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Regulasi Permisif Kehutanan

11 Februari 2021   08:28 Diperbarui: 11 Februari 2021   08:41 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

REGULASI PERMISIF KEHUTANAN

Suatu saat diruang kuliah Fahutan IPB dikampus Darmaga tahun 1978, Ir. Hasan Basyarudin Nasution, pengajar mata kuliah Politik Perundang-Undangan Kehutanan mengatakan bahwa tidak satupun orang luar yang tidak berkepntingan, diizinkan masuk dalam kawasan hutan cagar alam. Jangankan mengambil kayunya, mengambil ranting-ranting kayunyapun tidak dibolehkan/diizinkan. 

Apabila aturan ini dilanggar maka orang tersebut dapat dikenakan sangsi berdasarkan Bos Ordonantie (Undang undang (UU) Kehutanan versi Belanda) nomor sekian dan seterusnya yang dapat dipidana dengan hukuman badan maupun denda sejumlah uang. Sebagai mahasiswa kehutanan semester III yang juga baru masuk kampus Fahutan Darmaga, saya membayangkan betapa sakralnya kawasan hutan cagar alam sampai-sampai mengambil ranting kayupun dianggap melanggar hukum. Begitu pentingkah kawasan hutan cagar alam sehingga perlu dilindungi super ketat. 

Hebat sekali pemerintahan Belanda membuat regulasi (Ordonantie) yang begitu rigid dan lengkap, padahal waktu itu Indonesia sudah merdeka selama 33 tahun. (UU tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya baru terbit 45 tahun kemudian yaitu UU no.5/1990 yang tidak jauh berbeda dengan Bos Ordonantie warisan Belanda tersebut). 

Namun bagaimana implementasi dilapangan tentang perlindungan kawasan hutan cagar alam di Indonesia paska terbitnya UU no.5/1990 tersebut. Nampaknya regulasi kehutanan produk era kemerdekaan hanya kuat diatas kertasn kertas saja, namun lemah ditataran implementasi. Contoh nyata dan konkret tentang pengelolaan cagar alam dilapangan adalah kasus cagar alam (CA) Cycloop di Jayapura, provinsi Papua. 

Dalam berita harian Kompas tahun 2020 lalu, disebutkan bahwa  Jayapura terancam kelangkaan air bersih akibat turun drastisnya debit air dari sumber mata air di CA Cycloop. Kerusakan kawasan hutan CA Cycloop yang menimbulkan banjir bandang dan menelan korban jiwa tahun 2019 lalu nampak memberikan dampak negatif susulan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

Pegunungan Cycloop yang dtetapkan pemerintah sebagai cagar alam pada tahun 1978, dengan luas 22.500 hektare mencakup dua wilayah Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Di Kabupaten Jayapura seluas 15.000 ha. Kerusakan di sekitar pegunungan Cagar Alam Cyclop, Sentani, Kabupaten Jayapura, hingga ke Kota Jayapura makin masif setiap tahun. Lahan kritis di sekitar kawasan itu terus bertambah. 

Data terakhir tahun 2018, lahan kritis dan rusak yang terdapat dalam cagar alam ini mencapai kurang lebih 1000 ha atau sekitar 7,7 persen dari luas total kawasan.  

CA Cycloop nampaknya mempunyai fungsi ganda, disamping mempertahankan  menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya, pegunungan Cycloop mempunyai fungsi hydroologis menjaga ketersediaan air bagi masyarakat kota Jayapura dan sekitarnya.

Sebagai kawasan konservasi yang masuk dalam high protected priority (prioritas paling dilindungi) nampaknya perlindungan, penjagaan, pengamanan cagar alam tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Praktek perambahan kawasan cagar alam harus segera dihentikan secepatnya apapun alasannya. 

Oleh karena itu, kawasan cagar alam wajib dijaga dan dipertahankan tutupan hutannya. Tidak boleh ada aktivitas manusia berkebun atau berladang disitu. Jika melanggar, penegakan hukum konsekuensinya. Kegiatan pencegahan harus menjadi prioritas bagi pemangku kepentingan khususnya pemegang otoritas CA Cycloop yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) provinsi Papua. Daerah penyangga menjadi amat mendesak untuk ditetapkan apabila dimungkinkan. 

Dengan daerah penyangga, pemerintah (BBKSDA) dan pemerintah daerah kabupaten Jayapura dapat melakukan pembinaan fungsi dengan kegiatan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; dan peningkatan produktivitas lahan.

Ini adalah salah satu  contoh kasus begitu mudahnya kawasan konservasi dilanggar secara hukum oleh masyarakat dan terkesan adanya pembiaran dari pihak-pihak yang berwenang. Masih banyak contoh lain tentang permisifisme regulasi kehutanan pada tataran implementasi dilapangan. 

Praktek permisifisme regulasi kehutanan tidak hanya terjadi dalam tataran implementasi lapangan, tetapi yang lebih parah lagi terjadi pula pada tataran regulasi yang dibuat pada hirarkhi dibawahnya (dalam peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan menteri (Permen)), bahkan regulasi setingkat UU kehutananpun dapat dirubah sewaktu waktu dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) hanya semata-mata untuk kepentingan ekonomis dan politis. Berikut ini contoh-contoh permisifisme regulasi dalam regulasi atau dibawah regulasi kehutanan yang ada.

Pertama, UU no. 41/1999 tentang kehutanan salah satu pasal ditambah dengan mekanisme Perpu. UU no.41/1999 yang dianggap cukup lengkap sebagai pengganti undang-undang no. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, di zaman presiden Megawati Sukarnoputri telah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)  izin tambang dihutan lindung. 

Perpu no. 1/2004 tanggal 11 Maret 2004 untuk menyelesaikan kasus tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodir izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya. Keputusan mengeluarkan Perpu dalam rangka memberi kepastian kepada investor.

Ini berkaitan dengan penetapan tahun 2004 sebagai tahun investasi. Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Kedua,  PP tentang pemanfaatan dan jenis hutan produksi. PP tentang perencanaan hutan no. 44/2004, jenis hutan produksi terdiri dari hutan produksi biasa (HPB), hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Khusus untuk HPK dicadangkan dan disiapkan untuk kepentingan pembangunan diluar kehutanan (non kehutanan) seperti perkebunan, transmigrasi, pertanian dan sebagainya. 

Dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang peraturan pelaksanaan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan  bab II perencanaan kehutanan pasal 24 ayat (1c), hutan produksi diubah menjadi 2 (dua) yaitu hutan produksi tetap (HPT) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), sedangkan hutan produksi terbatas dihapus. 

Penghapusan hutan produksi terbatas membawa implikasi pada proses perubahan fungsi hutan pada antar fungsi hutan produksi sebagaimana yang diatur dalam PP no. 104/2015. 

Demikian juga dalam pemanfaatan fungsi hutan produksi untuk kegiatan pembangunan diluar kehutanan (non kehutanan), dalam RPP bab III tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan pasal 19, khusus untuk kegiatan a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d. pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA) selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada Kawasan hutan produksi tetap.

Ketiga, peraturan menteri Kehutanan tentang restorasi hutan. Istilah hutan restorasi atau lebih dikenal dengan restorasi ekosistem tidak dikenal dalam UU no. 41/1999 dan baru dikenal setelah  Menteri Kehutanan (waktu itu) M. Prakosa pada tahun 2004, menginisiasi terbitnya peraturan tentang restorasi ekosistem no. 159 , tanggal 19 Oktober tahun 2004. 

Sebuah terobosan dan inovasi baru yang belum pernah muncul dalam peraturan perundangan kehutanan yang dibuat sebelumnya, meskipun tidak ada cantolan atau dasar hukum regulasi diatasnya. 

Dalam PP no.6/2007 tentang tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan yang terbit belakangan dibanding dengan Permenhut P. 159/2004, pada pasal 34 ayat (1b) dalam penjelasannya hanya disebutkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam ditujukan untuk mengembalikan unsur hayati serta unsur non hayati pada suatu kawasan dengan jenis asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Namun dalam RPP yang baru pasal 34 tidak menyebut lagi adanya pemanfaatan kayu restorasi ekosistem.

Keempat, peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang IPPKH di hutan lindung. Meskipun dalam UU no. 41/1999, pasal 38 ayat (1), penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, namun dalam penjelesannya disebut bahwa kepentingan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. 

Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Faktanya, dalam implementasinya dilapangan, banyak izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) khususnya dikawasan hutan lindung untuk kegiatan pertambangan, jumlah izinnya tidak terkendali sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak luas. 

Contoh kasus banjir yang terjadi di Kalsel baru-baru ini, diduga kuat salah satu penyebabnya adalah banyak izin IPPKH untuk pertambangan, khususnya pada kawasan hutan yang berfungsi lindung.

Kelima, peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang IPPKH dikawasan hutan restorasi. Peraturan menteri LHK no. P.27/2018 pasal 12 ayat (1a), IPPKH untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara tidak diberikan pada kawasan hutan produksi yang  dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPPKH-RE) dalam hutan alam dan/atau pencadangan hutan tanaman rakyat (HTR) dan/atau hutan kemasyarakatan (HKm)  dan/atau hutan desa (HD); namun direvisi dengan peraturan menteri LHK no. P. 7/2019 pada pasal 12 ayat (1a) dengan pengecualian a) permohonan yang telah mendapat IPPKH untuk kegiatan eksplorasi sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan; b) permohonan perpanjangan IPPKH sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; c) permohonan untuk kegiatan jalan angkut produksi pertambangan; atau d) kegiatan pertambangan yang telah melakukan aktivitas kegiatan operasi produksi pada areal penggunaan lain yang kemudian areal penggunaan lain tersebut diubah menjadi kawasan hutan yang diperkenankan untuk penggunaan kawasan hutan sepanjang izin dibidang usahanya masih berlaku.

Keenam, peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang perhutanan sosial khususnya kegiatan kemitraan kehutanan (KK) dikawasan konservasi. 

Dalam peraturan menteri LHK no. P. 83/2016 tentang perhutanan sosial pasal 43 ayat (2) dalam hal areal kemitaraan kemitraan kehutanan yang terdegradasi berada dizona inti atau zona rimba taman nasional atau blok perlindungan pada taman hutan raya atau taman wisata alam, sebelum diberikan kegiatan kemitraan pada kawasan konservasi dilakukan revisi zonasi dan blok sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Padahal disisi lain menurut UU no. 41/1999 maupun UU no. 5/1990, dalam zona inti kawasan nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apa pun oleh aktivitas manusia.

Ketujuh, peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang food estate di hutan lindung. Adalah KLHK yang menerbitkan peraturan menteri P. 24/2020 yang membolehkan food estate dalam hutan lindung. 

Dalam penjelasan UU no. 41/1999 pasal 26  ayat (1), tentang pemanfaatan hutan lindung, food estate tidak termasuk dalam  3 (tiga) skema pemanfaatan hutan lindung yaitu pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan, dalam RPP tentang peraturan pelaksanaan UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan, dalam RPP tentang Cipta Kerja bidang kehutanan pada bab III, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan: a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA). selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap. 

Dari klausul atau pasal ini saja peraturan menteri LHK P. 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate tidak konsisten dengan regulasi yang diatasnya (RPP/PP), karena pengadaan food estate hanya dapat menggunakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HPT) tanpa menyebut adanya penggunaan kawasan hutan lindung (HL). 

Dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung. 

Sementara itu, menurut KLHK Dalam RPP tentang Cipta Kerja bidang kehutanan pada bab III, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan: a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA). selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap. 

Dari klausul atau pasal ini saja peraturan menteri LHK P. 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate tidak konsisten dengan regulasi yang diatasnya (RPP/PP), karena pengadaan food estate hanya dapat menggunakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HPT) tanpa menyebut adanya penggunaan kawasan hutan lindung (HL). 

Dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung. Kondisi ini tidak selaras dan sinkron serta tidak konsisten dengan pasal 24, bab V tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, kegiatan pemanfaatan kawasan hutan lindung pada RPP kehutanan diatas. Intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Mungkinkah permisifisme regulasi kehutanan baik dalam tataran peraturan perundangan dan implementasi dilapangan terus berlanjut ? Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun