REGULASI PERMISIF KEHUTANAN
Suatu saat diruang kuliah Fahutan IPB dikampus Darmaga tahun 1978, Ir. Hasan Basyarudin Nasution, pengajar mata kuliah Politik Perundang-Undangan Kehutanan mengatakan bahwa tidak satupun orang luar yang tidak berkepntingan, diizinkan masuk dalam kawasan hutan cagar alam. Jangankan mengambil kayunya, mengambil ranting-ranting kayunyapun tidak dibolehkan/diizinkan.Â
Apabila aturan ini dilanggar maka orang tersebut dapat dikenakan sangsi berdasarkan Bos Ordonantie (Undang undang (UU) Kehutanan versi Belanda) nomor sekian dan seterusnya yang dapat dipidana dengan hukuman badan maupun denda sejumlah uang. Sebagai mahasiswa kehutanan semester III yang juga baru masuk kampus Fahutan Darmaga, saya membayangkan betapa sakralnya kawasan hutan cagar alam sampai-sampai mengambil ranting kayupun dianggap melanggar hukum. Begitu pentingkah kawasan hutan cagar alam sehingga perlu dilindungi super ketat.Â
Hebat sekali pemerintahan Belanda membuat regulasi (Ordonantie) yang begitu rigid dan lengkap, padahal waktu itu Indonesia sudah merdeka selama 33 tahun. (UU tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya baru terbit 45 tahun kemudian yaitu UU no.5/1990 yang tidak jauh berbeda dengan Bos Ordonantie warisan Belanda tersebut).Â
Namun bagaimana implementasi dilapangan tentang perlindungan kawasan hutan cagar alam di Indonesia paska terbitnya UU no.5/1990 tersebut. Nampaknya regulasi kehutanan produk era kemerdekaan hanya kuat diatas kertasn kertas saja, namun lemah ditataran implementasi. Contoh nyata dan konkret tentang pengelolaan cagar alam dilapangan adalah kasus cagar alam (CA) Cycloop di Jayapura, provinsi Papua.Â
Dalam berita harian Kompas tahun 2020 lalu, disebutkan bahwa  Jayapura terancam kelangkaan air bersih akibat turun drastisnya debit air dari sumber mata air di CA Cycloop. Kerusakan kawasan hutan CA Cycloop yang menimbulkan banjir bandang dan menelan korban jiwa tahun 2019 lalu nampak memberikan dampak negatif susulan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Pegunungan Cycloop yang dtetapkan pemerintah sebagai cagar alam pada tahun 1978, dengan luas 22.500 hektare mencakup dua wilayah Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Di Kabupaten Jayapura seluas 15.000 ha. Kerusakan di sekitar pegunungan Cagar Alam Cyclop, Sentani, Kabupaten Jayapura, hingga ke Kota Jayapura makin masif setiap tahun. Lahan kritis di sekitar kawasan itu terus bertambah.Â
Data terakhir tahun 2018, lahan kritis dan rusak yang terdapat dalam cagar alam ini mencapai kurang lebih 1000 ha atau sekitar 7,7 persen dari luas total kawasan. Â
CA Cycloop nampaknya mempunyai fungsi ganda, disamping mempertahankan  menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya, pegunungan Cycloop mempunyai fungsi hydroologis menjaga ketersediaan air bagi masyarakat kota Jayapura dan sekitarnya.
Sebagai kawasan konservasi yang masuk dalam high protected priority (prioritas paling dilindungi) nampaknya perlindungan, penjagaan, pengamanan cagar alam tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Praktek perambahan kawasan cagar alam harus segera dihentikan secepatnya apapun alasannya.Â
Oleh karena itu, kawasan cagar alam wajib dijaga dan dipertahankan tutupan hutannya. Tidak boleh ada aktivitas manusia berkebun atau berladang disitu. Jika melanggar, penegakan hukum konsekuensinya. Kegiatan pencegahan harus menjadi prioritas bagi pemangku kepentingan khususnya pemegang otoritas CA Cycloop yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) provinsi Papua. Daerah penyangga menjadi amat mendesak untuk ditetapkan apabila dimungkinkan.Â