Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Revisi UU No 5 /1990 tentang KSDAE yang Siap Dirombak

28 Januari 2021   13:05 Diperbarui: 28 Januari 2021   15:22 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, terminologi tentang hutan konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (KSA) , kawasan pelestarian alam (KPA) dan taman buru yang masih berlaku dalam UU no. 41/1999, harusnya tetap menjadi acuan dalam RUU ini. KSA terdiri dari cagar alam an suaka alam, sementara KPA terdiri dari taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata. Dalam RUU ini, taman buru nyelonong dan masuk dalam bagian KPA, padahal taman buru dalam UU no. 41/1999 diluar dari bagian KPA dan KSA.

Ketiga, RUU ini belum mengacu pada pasal 41 ayat (2) dan penjelasannya yang menyatakan bahwa kegiatan rehabilitasi di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Dalam penjelasannya lebih lanjut disebutkan bahwa pada cagar alam dan zona inti taman nasional tidak boleh dilakukan kegiatan rehabilitasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.

Dalam RUU ini pada pasal 132 ayat (4) disebutkan bahwa rehabilitasi dapat dilakukan dengan penanaman pohon endemik yang memiliki potensi lingkungan dan untuk kesejahteraan masyarakat tanpa menjelaskan kawasan mana saja yang tidak dan dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi sebagaimana yang tercantum dalam UU no. 41/1999 diatas.

Keempat, dalam RUU ini tidak disebut adanya pembagian zonasi/blok dalam pengelolaan KSA maupun KPA. Seharusnya pembagian zonasi/blok disebut secara jelas dan tegas dalam RUU ini, sebagaimana UU. No. 5/1990. Dalam UU no. 41/1999 yang telah diperbaharui dengan UU Cipta Kerja no. 11/2020 yang masih berlakupun zona inti taman nasional disebut (pasal 41 ayat (2)). Sependapat dengan anggota Komisi IV DPR RI dari partai Gerindra, Darori Wonodipuro yang juga mantan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan (2010-2013), yang mengatakan bahwa batas-batas zonasi/blok dalam pengelolaan KSA dan KPA yang selama ini hanya dibuat diatas peta dan disinyalir hanya batas-batas virtual/maya dilapangan, maka dalam RUU ini harus disebut dan diperjelas dalam proses pengukuhan kawasan konservasi dengan pembuatan patok-patok batas antar zona/blok yang satu dengan yang lain, sebelum dilakukan penetapan (RUU pasal 64,65,66).

Kelima, pembagian kewenangan dan otoritas pengelolaan terhadap kawasan konservasi harus diperjelas dan dipertegas antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam RUU ini. Misalnya KLHK berwenang atas kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam yang berada dan dominan wilayah daratannya, sementara KKP berwenang terhadap kawasan konservasi yang berada dan dominan wilayah perairannya.

Keenam, ketentuan pidana dalam pasal 150 dalam RUU ini harus diselaraskan dan disinkronkan dengan UU no. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan yang telah diperbaharui dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020. Demikian halnya sengketa lahan dalam kawasan konservasi (konflik tenurial) yang tercantum dalam RUU ini pasal 153, harus juga mempedomani mekanisme penyelesaian konflik tenurial dalam kawasan konservasi yang telah diatur dalam UU no. 18/2013 yang disebut diatas. Mekanisme penyelesaian konflik tenurial tersebut antara lain  adalah :

1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di kawasan hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini dikenaisanksi administratif, berupa: penghentian sementara kegiatan usaha; denda; dan/ataucpaksaan pemerintah; 2) Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, dikecualikan dari sanksi administratif dan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan.

3) Pengaturan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaai sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasannya besaran denda ditentukan berdasarkan: luasan kawasan hutan yang dikuasai; jangka waktunya dihitung sejak mulai panen; dan prosentase dari keuntungan yang diperoleh setiap tahun.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 28 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun