Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH. Sistem silvikultur TPTI, THPB, THPA Â tidak dipatuhi dilapanagan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah.Â
Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik. Â Timbul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan.Â
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahunnya memasuki musim kemarau seperti sekarang. Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut untuk mengatasi karhutla ini.Â
Belum lagi banjir bandang yang terjadi didaerah hilir sungai yang hulunya bekas kawasan wilayah HPH. Konflik tenurial antar warga yang menimbulkan korban jiwa dikabupaten Mesuji akibat rebutan lahan bekas kawasan HPH dan banyak lagi contoh ekses yang ditimbulkan dari bonanza kayu ini.
Bekas areal konsesi yang ditinggalkan oleh 345 unit HPH seluas  lebih dari 45,3 juta ha merupakan daerah bebas dan terbuka (open akses) yang mudah dimasuki oleh perambah hutan. Memang, sebagian bekas HPH ini digunakan juga untuk izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta ha.
Kita berasumsi bahwa sisa lahan hutan yang open akses digunakan untuk pencadangan program perhutanan sosial seluas 12,7 juta ha dan alih fungsi kawasan hutan, tepatnya pelepasan kawasan hutan untuk  dan atas nama pembangunan sejak tahun 1985 sampai tahun 2017 seluas 6,7 juta ha ha.Â
Menurut KLHK rincian pelepasan kawasan tersebut pada era Soeharto, 3,4 juta ha, era Habibie, 678.373 ha, era Gus Dur, 163.566 ha, era Megawati  0 ha, era SBY  2,2 juta ha dan era Jokowi 305.984 ha.Â
Ditambah lagi dengan kebakaran hutan, perambahan hutan dan perladangan berpindah sekitar lebih dari 1,5 juta ha. Maka deforestasi akibat dari adanya open akses HPH setelah dikurangi luas HTI, luas pencadangan perhutanan sosial, luas pelepasan kawasan hutan dan luas kebakaran hutan, perambahan hutan dan perladangan berpindah  jumlahnya mencapai 13,1 juta ha yang benar benar open akses dan merupakan potensi angka deforestasi disamping luas 1,5 juta ha akibat kebakaran hutan, perambahan hutan serta  perladangan berpindah.Â
Maka areal konsesi yang ditinggalkan oleh HPH/IUPHHK-HA dan open akses , potensial menjadi dan menambah angka deforestasi sebesar 14,6 juta ha.Â
Sementara itu, pemerintah (KLHK) menahan laju penambahan angka deforestasi yang baru saja masih kewalahan, apalagi menangani pemulihan angka deforestasi 14,6 juta ha, akibat kesalahan masa lalu karena salah urus dalam pengusahaan hutan.Â
Dengan adanya kegiatan perhutanan sosial yang memanfaatkan sebagian atau seluruhnya lahan hutan bekas konsesi yang ditinggalkan dan opek akses itu, minimal pemerintah mampu menekan dan menurunkan angka deforestasi dan degradasi hutan yang selama ini menjadi masalah akut dan belum terpecahkan dengan program rehabilitasi hutan dalan lahan (RHL) yang telah dilaksanakan pemerintah selama bertahun tahun.