Dalam UU 41/1999 Â tentang kehutanan, pasal 23 pun diamanatkan hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang kelompok, atau golongan tertentu.Â
Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peninggalan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Â Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari. Â
Faktanya lebiha dari 3 (tiga) dekade pada zaman orde baru, hampir 64 juta ha hutan alam Indonesia dikuasai oleh hampir 600 korporasi dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH), meskipun saat ini hingga akhir tahun 2019, hutan alam yang dikuasai korporasi dalam bentuk izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) tinggal sebanyak 255 unit dengan luas 18.7 juta hektar dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman (IUPHHK-HT) menjadi 293 unit dengan luas 11,3 juta ha.Â
Untuk mengimbangi penguasaan aset hak pengelolaan hutan tersebut oleh perusahaan/korporasi, pemerintah Jokowi selama 2 (dua) periode (2014-2014) membuat akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mengelola kawasan hutan Indonesia sebesar 10 % dari total luas hutan yang ada (125,2 juta ha) atau seluas 12,7 juta ha. Sampai dengan awal tahun 2021 ini, Â realisasi kegiatan perhutanan sosial baru mencapai 7.885.437,75 ha atau 62,09 % dari target yang ditetapkan.
Kedua, memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat. Dalam pidato yang disampaikan di Istana Negara, Jakarta (7/1/2021), Presiden Joko Widodo menegaskan kembali bahwa pemerintah pemerintah memberi perhatian khusus kepada redistribusi aset untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan dan kawasan hutan. Ini terkait dengan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, khususnya yang terjadi di pedesaan dan lingkungan sekitar hutan.Â
Oleh karena itu, lahan yang diberikan untuk kegiatan perhutanan sosial  diharapkan tidak boleh terlantar, apalagi dipindahtangankan kepada pihak lain. Lahan yang diterima masyarakat semestinya dimanfaatkan serta dikelola untuk kegiatan ekonomi produktif yang ramah lingkungan.Â
Tak hanya memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman produktif bernilai ekonomi, masyarakat juga bisa mengembangkan lahan untuk usaha agrowisata, bioenergi dan lainnya.
Pemerintah juga memberikan kemudahan akses permodalan dar perbankan misalanya KUR (kredit usaha rakyat) karena menyangkut luas lahan yang sangat besar. Khusus untuk lahan perhutanan sosial yang berada di pedesaan, bantuan permodalaan dapat diberikan dari dana desa.
Ketiga, kegiatan perhutanan sosial merupakan salah satu solusi menyelesaikan konfik agraria (tenurial). Terkait konflik agraria, KPA (Konsorsium Pemaruab Agraria) mencatat, sepanjang tahun 2020, terjadi permasalahan agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur dan lainnya.Â
Total jumlahnya mencapai 241 kasus yang berdampak pada 135.332 KK di 359 des/kota. Konflik agraria paling banyak berada di sektor perkebunan, yakni 69%, dengan 101 konflik berada di perkebunan sawit. Posisi kedua ditempati sektor kehutanan dengan jumlah konflik terbanyak berada di konsesi hutan tanaman industri, 34 kasus.Â
Redistribusi aset ini merupakan jawaban bagi banyaknya sengketa agrarian dan sekaligus juga untuk mencegah sengketa lahan baik antar nmasyarakat, antara masyarakat dan korporasi dan antara masyarakat dengan pemerintah.