Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Komitmen Pemerintah tentang Pembagian Fungsi Kawasan Perlu Dipertanyakan?

16 Januari 2021   15:10 Diperbarui: 16 Januari 2021   15:14 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

KOMITMEN PEMERINTAH TENTANG PEMBAGIAN 

FUNGSI KAWASAN HUTAN, PERLU DIPERTANYAKAN ?

Artikel opini tulisan saya diharian Kompas, 15 Desember 2020 tentang Kontroversi Food Estate di Hutan Lindung mendapat tanggapan yang sangat serius dari KLHK melalui suratnya Kepala Biro Humas KLHK, 31 Desember 2020. Sebenarnya, saya cukup senang karena KLHK sangat responsif membalasnya, namun setelah dibaca dan dicermati tulisan tersebut ternyata sifatnya normatif (hanya meringkas dari Peraturan Menteri LHK no. 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate) tanpa menjawab ensensi yang dipersoalan secara tuntas. 

Polemik tentang hal ini, bisa saja berkepanjangan,- namun saya mencoba memdudukkan persoalan ini dalam porsi yang sebenarnya supaya lebih jernih (clean and clear), apa yang sebenarnya terjadi.

Pembagian Fungsi Kawasan Hutan

Undang undang (UU) tentang kehutanan no.41/1999, pasal 6 menjelaskan bahwa hutan mempunyai 3 (tiga) fungsi yakni fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Pemerintah menetapkan fungsi pokok hutan sebagai hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. 

Dalam penjelasannya ayat (2): yang dimaksud dengan fungsi pokok hutan adalah fungsi utama yang diembani oleh suatu hutan. Jadi jelas bahwa meskipun pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional, namun tetap berpedoman pada azas tidak mengurangi fungsi pokok kawasan hutan yang diembaninya.

Sebut saja hutan lindung, pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.Ketiga bentuk atau jenis pemanfaatan hutan lindung tersebut haruslah tetap berpegang pada fungsi pokok kawasan hutan yang diembaninya. 

Buktinya dalam penjelasannya pasal 26 ayat (1) ditegaskan bahwa pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan. 

Pesan yang ditulis dalam penjelasan UU 41/1999 jelas dan tidak perlu ditafsirkan kembali yaitu tidak mengurangi fungsi utama kawasan, tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi fungsi utamanya, tidak merusak fungsi utamanya.

Untuk pemanfaatan kawasan hutan konservasi yaitu kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali pada cagar alam, zona inti dan zona rimba taman nasional tidak diperbolehkan/diizinkan. 

Sedangkan untuk hutan produksi dalam pasal 28 UU 41/1999 yang telah diubah dalam UU 11/2020 Cipta Kerja menyatakan dalam ayat (1) : pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Ayat (2) berbunyi : pemanfaatan hutan produksi dilakukan dengan pemberian perizinan berusaha dari pemerintah pusat.

Konsistensi Pemanfaatan Hutan dalam RPP

Dalam RPP tentang Cipta Kerja bidang kehutanan pada bab III, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan: a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA). selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap. 

Dari klausul atau pasal ini saja peraturan menteri LHK P. 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate tidak konsisten dengan regulasi yang diatasnya (RPP/PP), karena pengadaan food estate hanya dapat menggunakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HPT) tanpa menyebut adanya penggunaan kawasan hutan lindung (HL). 

Dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung.

Jika menilik luas kawasan hutan Indonesia 125,2 juta hektare, luas kawasan hutan produksi bisa dibilang lebih dari cukup. Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79%. 

Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas ,dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Sementara luas hutan lindung yang hanya 29,5 juta hektare atau 23,56% saja.

Dalam bab.V, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, paragraf 2, pasal 24 dinyatakan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung meliputi antara lain adalah wana tani (agroforestry), wana mina (silvofishery) dan wana ternak (silvopasture). 

Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, b) pengolahan tanah terbatas, c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. 

Menurut Kepala Biro Humas KLHK (Tanggapan KLHK 1, harian Kompas 31 Desember 2020), dalam pembangunan food estate pada kawasan hutan lindung (HL), syaratnya adalah sudah tidak sepenuhnya berfungsi berfungsi lindung, yaitu kawasan hutan lindung yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan. 

Kawasan HL yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung harapannya bisa dipulihkan dengan food estate. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan  (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak ( sylvopasture) atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan (sylvofishery).

Tanaman hutan dengan ketiga pola kombinasi di atas akan berperan memperbaiki dan meningkatkan fungsi hutan lindung. Pembangunan food estate terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Ini disertai intervensi teknologi (benih, pemumpukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain) dengan pola kerja hutan sosial.

Pernyataan Kepala Biro Humas KLHK ini tidak selaras dan sinkron serta tidak konsisten dengan pasal 24, bab V tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, kegiatan pemanfaatan kawasan hutan lindung pada RPP kehutanan diatas. Intervensi teknologi dengan menggunakan peralatan mekanis dan alat berat tidak diperbolehkan/diizinkan. Pengolahan tanah hanya dapat dilakukan secara terbatas.

Kesimpulan

Peraturan menteri LHK no. P. 24/2020, tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate, terbit terlalu premature (dini) dan tergesa –gesa, tanpa menunggu proses disahkannya UU no. 11/2020 tentang Cipta Kerja berserta turunannya (PP dan Perpres), sehingga terdapat pasal penting (penggunaan HL untuk food estate) yang tidak konsisten dan sinkron dengan aturan regulasi diatasnya. Apabila RPP tentang kehutanan disetujui dan disahkan maka Permen LHK P.24/2020 sudah seharusnya direvisi, khususnya pasal –pasal yang menyangkut hutan lindung agar tidak terjadi kontradiksi dengan regulasi yang diatasnya.

Sebenarnya masih banyak regulasi yang dikeluarkan oleh menteri kehutanan maupun menteri LHK yang tidak mengacu dan mempedomani regulasi diatasnya (UU no. 41/1999 tentang kehutanan) dan nyelonong menjadi pedoman/acuan yang kurang ada dasarnya. 

Sebut saja, peraturan Menteri Kehutanan no. 159/2004 tentang restorasi ekosistem dikawasan hutan produksi dan peraturan Menteri LHK no. P. 83/2016 tentang perhutanan sosial. 

Dalam UU 41/1999 sebelum diubah beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja, tak satupun pasal atau kalimat yang menyebut restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi dan perhutanan sosial, termasuk food estate dalam UU 41/1999 sebelum dan sesudah diubah dalam UU Cipta Kerja.

Ada benarnya  juga apa kata kolega saya, Prof. Hariadi Kartodihardjo dalan tulisannya di Forest Digest ini, 11 Mei 2020 lalu, :Mengapa Kita Membuat   Peraturan Lalu Melanggarnya. Banyak aturan banyak juga pelanggaran. Mengapa kita tak kapok membuat aturan untuk dilanggar?. Entahlah.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 16 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun