Sedangkan untuk hutan produksi dalam pasal 28 UU 41/1999 yang telah diubah dalam UU 11/2020 Cipta Kerja menyatakan dalam ayat (1) : pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Ayat (2) berbunyi : pemanfaatan hutan produksi dilakukan dengan pemberian perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Konsistensi Pemanfaatan Hutan dalam RPP
Dalam RPP tentang Cipta Kerja bidang kehutanan pada bab III, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan: a) proyek strategis nasional (PSN); b) pemulihan ekonomi nasional (PEN); c) pengadaan ketahanan pangan (food estate) dan energi, dan d) pengadaan tanah obyek reforma agrarian (TORA). selain dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi juga dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi tetap.Â
Dari klausul atau pasal ini saja peraturan menteri LHK P. 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate tidak konsisten dengan regulasi yang diatasnya (RPP/PP), karena pengadaan food estate hanya dapat menggunakan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dan hutan produksi tetap (HPT) tanpa menyebut adanya penggunaan kawasan hutan lindung (HL).Â
Dalam kenyataannya hutan produksi (hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi tetap), luasannya masih memadai dibanding dengan hutan lindung.
Jika menilik luas kawasan hutan Indonesia 125,2 juta hektare, luas kawasan hutan produksi bisa dibilang lebih dari cukup. Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,6 juta hektare atau 54,79%.Â
Seluas 29,1 juta hektare berupa hutan produksi tetap, 26,7 juta hektare hutan produksi terbatas ,dan 12,8 juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi untuk kebutuhan pembangunan. Sementara luas hutan lindung yang hanya 29,5 juta hektare atau 23,56% saja.
Dalam bab.V, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, paragraf 2, pasal 24 dinyatakan bahwa kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung meliputi antara lain adalah wana tani (agroforestry), wana mina (silvofishery) dan wana ternak (silvopasture).Â
Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan hutan pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan : a) tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya, b) pengolahan tanah terbatas, c) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi, d) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan e) tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.Â
Menurut Kepala Biro Humas KLHK (Tanggapan KLHK 1, harian Kompas 31 Desember 2020), dalam pembangunan food estate pada kawasan hutan lindung (HL), syaratnya adalah sudah tidak sepenuhnya berfungsi berfungsi lindung, yaitu kawasan hutan lindung yang terbuka, terdegradasi, atau sudah tidak ada tegakan hutan.Â
Kawasan HL yang tidak sepenuhnya berfungsi lindung harapannya bisa dipulihkan dengan food estate. Caranya dengan pola kombinasi tanaman hutan  (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak ( sylvopasture) atau kombinasi tanaman hutan dengan perikanan (sylvofishery).