Kajian pengelolaan hutan lindung tahun 2005 di provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Barat salah satu kesimpulannya adalah fungsi  hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut  belum dipahami dan diapresiasi secara luas oleh pemerintah daerah kabupaten/provinsi.Â
Meskipun dalam kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan untuk memungut hasil kayunya dan hanya diizinkan dalam pemanfaatan jasa lingkungannya, dalam prakteknya pemanfaatan hutan lindung banyak disalah gunakan untuk pemanfaatan lain oleh pemerintah daerah setempat. Â Salah satunya adalah melalui mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) yang begitu mudah diobral untuk kepentingan lain diluar kehutanan dengan mementingkan keuntungan ekonomis dibandingkan kepentingan ekologisnya.
Belum lagi ditambah dengan perambahan , illegal logging, dan  illiegal mining yang tidak terkendali dalamn kawasan hutan lindung. Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan oleh aparat kehutanan setempat  sangat lemah, karena keterbatasan personil dan anggaran. Singkat cerita, hutan lindung yang mestinya dilindungi, ternyata mudah dijarah oleh tangan tangan yang tidak bertanggung jawab.Â
Kondisi ini terjadi sejak diserahkannya pengelolaan hutan lindung kepada pemerintah daerah kabupaten/kota sejak tahun 1998 sampai sekarang. Nampaknya penyerahan urusan pengelolaan hutan lindung setelah berjalan 21 tahun kepada pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota tidak lebih baik dari otoritas pemerintah pusat. Pembentukan beberapa model Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) didaerah provinsi, masih belum membuahkan  hasil sebagaimana yang diharapkan.
Keempat, kegiatan  perhutanan sosial perlu dipercepat guna menekan laju deforestasi dan menurunkan emisi karbon. Pelaksanaan kegiatan perhutanan sosial yang selama ini dinilai berjalan lamban, perlu dipercepat pelaksanaannya,Â
Data terakhir dari KLHK, dari target 12,7 juta ha pada periode pertama pemerintahan presiden Joko Widodo (2014-2019) hanya mampu diserap seluas adalah  4.04 juta  ha, 818.457 kepala keluarga (KK), dan 6.411 unit Surat Keputusan (SK). Penyebarannya meliputi  Hutan Desa (HD) 1.551.601 ha, Hutan Kemasyarakatan (HKm) 743.406,82 ha, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 352.351,68 ha, Hutan Adat (HA) 950,129,47 ha dan Kerjasama Kemitraan (KK) 424.940,10 ha.Â
Prosentase pencapaian realisasi dari target masih rendah dan kurang dari 50 % (32 persen). Padahal menurut Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK apabila target kegiatan perhutanan sosial  ini tercapai 12,7 hektar, maka akan mampu melibatkan tiga juta Kepala Keluarga (KK) atau 12 juta orang yang artinya membantu mengurangi angka kemiskinan.Â
Dengan melibatkan sebanyak 12 juta orang dalam kegiatan perhutanan sosial, dapat dipastikan akan mengurangi tekanan manusia terhadap kawasan hutan yang pada gilirannya juga akan mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Hampir lebih dari 80 % kerusakan hutan diakibatkan oleh perambahan hutan oleh masyarakat didalam dan disekitar hutan. Keberhasilan kegiatan hutan juga dapat memicu penurunan emisi karbon. Hibah sebesar US$ 103,8 juta atau Rp 1,5 triliun oleh Green Climate Fund (GCF) sebuah badan pendanaan mitigasi perubahan iklim yang dibentuk PBB pada 2010 -- karena pengurangan emisi 2014-2016 -, harus dimaknai sebagai hasil awal dari penguatan perhutanan sosial.
Kelima, kegiatan rehabilitasi hutan harus dilakukan dengan pendekatan keberhasilan luas tanaman pada wilayah hulu DAS. Â Selama ini, keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan hanya diukur dari berapa luas kawasan hutan yang telah ditanam, dengan mengkonversi jumlah bibit tanaman hutan yang ditanam atau dibagikan kepada masyarakat. Praktek membagi-bagikan bibit gratis oleh KLHK dari persemaian permanen kepada masyarakat langsung, bukan berarti dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pemulihan kerusakan hutan dari suatu kawasan DAS.
Keberhasilan rehabilitasi hutan, sesungguhnya dapat diukur dari berapa luas kawasan hutan dan seberapa banyak bibit tanaman hutan yang ditanam menjadi pohon setelah mencapai usia minimal 15 tahun setelah bibit menjadi pohon dewasa. Bibit menjadi pohon dewasa mengalami 4 (empat) proses tahapan yakni mulai bibit/anakan/semai  (seedling), sapihan (sapling), tiang/pohon muda (pole) dan pohon yang sesungguhnya (trees).Â
John Wyatt-Smith seorang ahli ekologi hutan dari Inggris (1963), mengklasifikasikan proses terjadinya pohon menjadi 4 (empat) tahapan yaitu a) seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m  b) sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm  c) pole (tiang) yaitu pohon pohon muda yang berdiameter 10 -- 35 cm. d) trees (pohon dewasa), yang berdiameter diatas 35 cm.Â