Hingga  akhir tahun 2019, jumlah perusahaan yang mendapat izin RE sebanyak sekitar 16 buah, dengan luas total sekitar 600.000 ha. Selain hutan konservasi, hutan restorasi merupakan sistem penyangga kehidupan. Dan yang penting hutan konservasi dan hutan restorasi merupakan masa depan hutan Indonesia. Oleh karena itu, wajib hukumnya hutan restorasi (RE) jumlahnya dan luasnya ditambah dan ditingkatkan, guna menjaga aset nasional yang sangat berharga ini.
HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) mempunyai potensi hasil yang sangat besar dalam kawasan hutan, nilai ekonomisnya sekarang lebih tinggi dibanding dengan hasil hutan kayu dalam satu tahun.Â
Hasil hutan bukan kayu seperti jasa lingkungan, Â getah, madu, kopi dan sebagainya disukai dan dimanfaatkan masyarakat didalam dan disekitar hutan karena tidak merusak fungsi ekosistem hutan. Dalam HHBK dapat dikatagorikan menjadi kelompok getah, buah, biji bijian dan daun merupakan komoditas dengan produksi terbesar dari HHBK . Oleh karena itu, apabila dikembangkan, HHBK ini mempunyai potensi ekonomi luar biasa yang dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat disekitarnya.
Ketiga, pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung untuk kedepan harus lebih baik dan profesional. Pengelolaan hutan konservasi dan hutan lindung sebagai penjaga kawasan hutan yang paling akhir, khususnya dalam hal perlindungan, penjagaan dan pengamanan, selama ini dilakukan oleh pemerintah dengan ala kadarnya.Â
Jumlah antara SDM (Jagawana) dan luas hutan konservasi dan hutan lindung yang dijaga dan diawasi tidak seimbang. Menurut data terakhir jumlah jagawana yang terdapat diseluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, 2.162 orang diantaranya adalah jagawana dibawah komando Ditjen Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAE) KLHK dan sisanya adalah jagawana yang bertugas di Dinas Kehutanan provinsi seluruh Indonesia.Â
Sementara luas hutan yang dijaga adalah hutan konservasi dengan luas 27,3 juta ha, dan hutan lindung 29,5 juta ha. Rasio antara jagawana dengan hutan konservasi 1 : 12.600, sedangkan rasio jagawana yang menjaga hutan lindung yang menjadi otoritas Dinas Kehutanan provinsi adalah 1 : 6100. Rasio jagawana baik di Ditjen KSDAE maupun Dinas Kehutanan provinsi dengan luas kawasan hutan yang dijaga dan diawasi, sangat tidak ideal. Idealnya satu orang petugas jagawana secara efektif menjaga dan mengawasi 200 -- 250 ha.
Sebagai benteng terakhir kawasan hutan alam yang harus dilindungi dari pengaruh deforestasi maupun degradasi adalah kawasan hutan konservasi. Namun karena laju pertambahan penduduk yang pesat dan kebutuhan akan lahan untuk kepentingan ekonomi yang makin meningkat, menyebabkan kawasan hutan konservasi tidak steril dari kegiatan deforestasi dan degradasi .Â
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK dalam seminar di BKSDA Palembang menyatakan bahwa  sekitar 30 persen hutan dalam kawasan konservasi atau seluas 10,5 juta hektare rusak karena beragam faktor, seperti perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran hutan. Upaya restorasi terus dilakukan, tetapi belum mampu mengatasi laju kerusakan. Setiap tahun rata-rata dilakukan restorasi 100.000 hektar.Â
Namun, masih jauh tertinggal dari luasan yang rusak. Belum lagi, disinyalir oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat satu juta ha kebun sawit illegal yang masuk dalam kawasan hutan konservasi. Perhatian serius juga dialamatkan kepada perlindungan kawasan konservasi yang mempunyai prioritas perlindungan yang tinggi (high protected priority) untuk cagar alam dan zona inti taman nasional. Banyak kawasan seperti ini yang rusak akibat dirambah oleh manusia. Contoh aktual adalah perambahan cagar alam Cycloops di kabupaten Jayapura, Papua yang mengakibatkan banjir bandang.
Sementara itu, kondisi hutan lindung di Indonsia, tak kalah memprihatinkan dibandingkan dengan hutan konservasi. Pengelolaan hutan lindung yang diserahkan kepada pemerintah daerah peraturan pemerintah (PP) no. Â 62 tahun 1998, tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah, pasal 5 menyatakan Kepala Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang antara lain tentang pengelolaan hutan lindung.Â
Diperbaharui dengan undang-undang (UU) no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah urusan pengelolaan hutan lindung ditarik oleh pemerintah pusat dan diserahkan kepada pemerintah provinsi sebagaimana hal dengan pengelolaan taman hutan raya (Tahura).Â