Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kebijakan Afirmatif Kehutanan

5 Oktober 2020   07:32 Diperbarui: 5 Oktober 2020   08:17 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa sesungguhnya di desa Kinipan tidak ada hutan adat secara legalitas. Karena hutan adat itu ditetapkan oleh negara, hingga saaat ini belum ada satupun permohonan dari kelompok masyarakat dan atau pemerintah kabupaten Lamandau. 

Sampai saat ini dari Dinas Kehutanan provinsi maupun Balai Pemantapan  Kawasan Hutan (BPKH) sebagai institusi pengaturan kawasan hutan belum pernah menerima permohonan dan hingga saat ini belum ada penetapan keputusan lokasi yang diklaim menjadi hutan adat.  

Sebagai negara hukum, proses-proses hak masyarakat yang berkenan  dengan pengajuan tentang hutan adat ini, diatur dalam Permendagri no. 52/2012 tentang pedoman pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat. 

Pernyataan pihak pemda Kalteng, seperti ini adalah bukan pernyataan dan kebijakan yang besifat afirmatif dan bersifat negasi (penyangkalan) dengan menggunakan logika yang terbalik. 

Jauh sebelum adanya PT. SML, masyarakat adat didesa Kinipan tersebut keberadaan telah ada secara turun temurun beberapa generasi bahkan mungkin sebelum Indonesia merdeka. 

Kebijakan yang bersifat negasi dikehutanan banyak ditemukan diseluruh Indonesia khususnya dluar pulau Jawa yang menyangkut masalah konflik hutan adat (tenurial), padahal Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan status hutan adat sebagai hutan negara melalui keputusan no. no. 35/PUU-X/2012. 

Sayangnya, keputusan MK ini tidak diikuti oleh perubahan pasal 67 ayat (2) undang-undang no. 41/1999, yang menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat  ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sehingga sampai saat ini pemerintah (pusat dan daerah) masih mendua melaksanakan keputusan MK tersebut. 

Apa harus menunggu RUU masyarakat adat menjadi undang-undang yang konon kabarnya juga setali tiga uang dengan peraturan regulasi sebelumnya yaitu penetapan masyarakat adat memakai cara yang sama dengan perizinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menyelesaikan wilayah adat di area izin, risiko konflik penggunaan ruang hidup akan tetap tinggi. Lalu, ya kita tunggu saja perkembangannya.

PRAMONO DWI SUSUETYO

Kompasiana, 4 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun