Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kebijakan Afirmatif Kehutanan

5 Oktober 2020   07:32 Diperbarui: 5 Oktober 2020   08:17 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

KEBIJAKAN   AFIRMATIF  KEHUTANAN

Kawan yang seorang pengamat kehutanan, bertanya memancing kepada saya, mana yang lebih dahulu, masyarakat yang bermukim disekitar Kaliurang atau penetapan Gunung Merapi sebagai taman nasional (TN).

Sebagai seorang rimbawan, tentu  saya harus menjawab dengan hati-hati dan proporsional. Masyarakat yang tinggal dan bermukim di Kaliurang telah ada sejak saya kecil. 

Tahun 1966, orangtua pernah mengajak berwisata disana, karena tidak jauh dari tempat tinggal saya dikota Magelang, Jawa Tengah. Jadi perkiraan saya sebelum Indonesia merdeka tahun 1945, Kaliurang dan penduduknya telah ada sebelumnya. 

Lalu kapan TN Gunung Merapi? Ternyata TN Gunung Merapi ditetapkan sejak 4 Mei 2004, Gunung Merapi ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 134/2004. 

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana zonasi zonasi yang ditetapkan selanjutnya. Dimana batas zona inti, zona rimba, zona penyangga dan seterusnya. 

Secara leterlek (tersurat) undang-undang no.5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, zona inti adalah zona yang steril dari pemukiman dan aktifitas manusia. 

Bagaimana kalau Kaliurang dan wisata geologi sungai Gendol masuk dalam zona inti TN, apakah pemukiman harus dikeluarkan dan wisata alam harus dihentikan ? Yang dapat menjawab itu semua adalah Balai TN Gunung Merapi sendiri.

Faktanya hingga 2020, pemukiman dan wisata alam sungai Gendol jalan terus dan tidak terganggu dengan keberadaan TN. Inilah kebijakan afirmatif  kehutanan. Kebijakan yang saling menguatkan satu dengan lainnya.

Namun dibelahan pulau lain di Sumatera dan Kalimantan, kebijakan afirmatif kehutanan nampaknya tidak berlaku. Kasus Efendi Buhing, penggiat  hutan adat desa Kinipan kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. 

Pemerintah daerah Kalteng, melalui Sekretaris Daerahnya (Fahrizal Fitri) tanggal 1 September 2020, memberikan pernyataan tentang Kinipan dan PT. Sawit Mandiri Lestari (SML). 

Bahwa sesungguhnya di desa Kinipan tidak ada hutan adat secara legalitas. Karena hutan adat itu ditetapkan oleh negara, hingga saaat ini belum ada satupun permohonan dari kelompok masyarakat dan atau pemerintah kabupaten Lamandau. 

Sampai saat ini dari Dinas Kehutanan provinsi maupun Balai Pemantapan  Kawasan Hutan (BPKH) sebagai institusi pengaturan kawasan hutan belum pernah menerima permohonan dan hingga saat ini belum ada penetapan keputusan lokasi yang diklaim menjadi hutan adat.  

Sebagai negara hukum, proses-proses hak masyarakat yang berkenan  dengan pengajuan tentang hutan adat ini, diatur dalam Permendagri no. 52/2012 tentang pedoman pengakuan perlindungan masyarakat hukum adat. 

Pernyataan pihak pemda Kalteng, seperti ini adalah bukan pernyataan dan kebijakan yang besifat afirmatif dan bersifat negasi (penyangkalan) dengan menggunakan logika yang terbalik. 

Jauh sebelum adanya PT. SML, masyarakat adat didesa Kinipan tersebut keberadaan telah ada secara turun temurun beberapa generasi bahkan mungkin sebelum Indonesia merdeka. 

Kebijakan yang bersifat negasi dikehutanan banyak ditemukan diseluruh Indonesia khususnya dluar pulau Jawa yang menyangkut masalah konflik hutan adat (tenurial), padahal Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan status hutan adat sebagai hutan negara melalui keputusan no. no. 35/PUU-X/2012. 

Sayangnya, keputusan MK ini tidak diikuti oleh perubahan pasal 67 ayat (2) undang-undang no. 41/1999, yang menyatakan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat  ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sehingga sampai saat ini pemerintah (pusat dan daerah) masih mendua melaksanakan keputusan MK tersebut. 

Apa harus menunggu RUU masyarakat adat menjadi undang-undang yang konon kabarnya juga setali tiga uang dengan peraturan regulasi sebelumnya yaitu penetapan masyarakat adat memakai cara yang sama dengan perizinan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak menyelesaikan wilayah adat di area izin, risiko konflik penggunaan ruang hidup akan tetap tinggi. Lalu, ya kita tunggu saja perkembangannya.

PRAMONO DWI SUSUETYO

Kompasiana, 4 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun