Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Quo Vadis Hutan Lindung

26 September 2020   11:00 Diperbarui: 26 September 2020   11:10 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seringkali kita dikacaukan istilah kawasan lindung indentik dengan hutan lindung padahal tidak demikian. Dalam undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, secara tersurat tidak diketemukan adanya kawasan lindung, yang ada adalah hutan lindung (pasal 6 ayat (1)). Demikian halnya dalam undang-undang no.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, hanya ditenukan istilah perlindungan sistem penyangga kehidupan (pasal 5). Lalu bagaimana duduk masalahnya antara kawasan lindung, hutan lindung dan perlindungan sistem penyangga kehidupan ? .

Dalam undang-undang 26 tahun 2007, tentang penataan ruang, kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumberdaya buatan (pasal 1). Terdapat 5 (lima) kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung, 3 (tiga) kawasan diantara masih terkait dengan kawasan hutan negara. Kawasan lindung (selain kawasan bergambut dan kawasan resapan air) yang memberikan perlindungan terhadap kawaan dibawahnya adalah kawasan hutan lindung.

Hutan lindung ditetapkan berdasarkan kriteria mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut atau dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih.

Data tahun 2017, luas hutan lindung di Indonesia sebesar 29,6 juta ha (15,7 %) dari jumlah total  125,2 juta ha. Salah satu fungsi kawasan hutan yang terabaikan adalah hutan lindung. Kenapa ? Karena hutan lindung tidak mempunyai turunan sebagaimana hutan konservasi dan hutan produksi. Dalam undang-undang 41/1999 tidak ditemukan arti dan penjelasannya. PP no. 44/2004 tentang perencanaan kehutananpun tidak ditemukan arti dan pengertian hutan lindung, hanya disebutkan kriteria penetapan hutan lindung.

Hutan lindung nampaknya kurang menarik dan seksi untuk dibahas karena nilai ekonomisnya lebih kecil dibandingkan dengan  nilai ekologisnya. Oleh karena itu, hutan lindung dibanyak daerah kurang mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah daerah setempat (pemda provinsi/kabupaten/kota) apalagi pemerintah pusat. Terdapat suatu kecenderungan dari tahun ketahun, hutan lindung mengalami degradasi dan deforestasi yang masif dan cepat.

Berdasarkan fungsinya , sebaran deforestasi dalam kawasan hutan terbagi dalam 44,1% hutan produksi, 12,7% hutan lindung dan 7,5% di hutan konservasi. Meskipun kerusakan hutan lindung sebarannya nomor dua setelah hutan produksi, namun dampaknya ekologisnya terhadap lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kerusakan hutan produksi.

Contoh kasus misalnya banjir yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara belum lama ini, diduga penyebabnya adalah rusaknya hutan lindung yang berada didaerah hulu. Sedimentasi Danau Limboto di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo terjadi begitu cepat meskipun telah dilakukan revitalisasi dan pengerukan kedalaman danau disebabkan juga rusaknya hutan lindung yang berada didaerah tangkapan air (cathment area) Danau Limboto. Hampir sebagian besar sungai sungai yang terdapat di Jawa, seperti Bengawan Solo, Berantas, Citanduy dan sebagainya rata rata telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada hutan lindung yang berada dihulu Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut.

Pelaksanaan Pengelolaan 

Undang undang no.41 tahun 1999 pasal 6 ayat (2) mengamanatkan bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai a) hutan konservasi b) hutan lindung, dan c) hutan produksi. Pemerintah dalam pengelolaan fungsi kawasan hutan ini dapat membagi dan menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah sebagaimana pengelolaan hutan lindung.

Menurut PP no. 62 tahun 1998, tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan dibidang kehutanan kepada daerah, pasal 5 menyatakan Kepala Daerah Tingkat II diserahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang antara lain tentang pengelolaan hutan lindung. Urusan pengelolaan hutan lindung sebagaimana dimaksud mencakup kegiatan pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi/ reforestasi dalam rangka rehabilitasi lahan kritis pada kawasan hutan lindung, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Dengan terbitnya undang-undang no. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah urusan pengelolaan hutan lindung ditarik oleh pemerintah pusat dan diserahkan kepada pemerintah provinsi sebagaimana hal dengan pengelolaan taman hutan raya (Tahura).

Kajian pengelolaan hutan lindung tahun 2005 di provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Barat salah satu kesimpulannya adalah fungsi  hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut  belum dipahami dan diapresiasi secara luas oleh pemerintah daerah kabupaten/provinsi.

Meskipun dalam kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan untuk memungut hasil kayunya dan hanya diizinkan dalam pemanfaatan jasa lingkungannya, dalam prakteknya pemanfaatan hutan lindung banyak disalah gunakan untuk pemanfaatan lain oleh pemerintah daerah setempat.  Salah satunya adalah melalui mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) yang begitu mudah diobral untuk kepentingan lain diluar kehutanan dengan mementingkan keuntungan ekonomis dibandingkan kepentingan ekologisnya.

Belum lagi ditambah dengan perambahan , illegal logging, dan  illiegal mining yang tidak terkendali dalamn kawasan hutan lindung. Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan oleh aparat kehutanan setempat  sangat lemah, karena keterbatasan personil dan anggaran. Singkat cerita, hutan lindung yang mestinya dilindungi, ternyata mudah dijarah oleh tangan tangan yang tidak bertanggung jawab.

Kondisi ini terjadi sejak diserahkannya pengelolaan hutan lindung kepada pemerintah daerah kabupaten/kota sejak tahun 1998 sampai sekarang. Nampaknya penyerahan urusan pengelolaan hutan lindung setelah berjalan 21 tahun kepada pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota tidak lebih baik dari otoritas pemerintah pusat. Pembentukan beberapa model Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) didaerah provinsi, masih belum membuahkan  hasil sebagaimana yang diharapkan.

Anehnya dalam peraturan pemerintah (PP) no. 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, menteri KLHK bertanggung jawab melaksanakan rehabilitasi hutan untuk kawasan hutan termasuk didalamnya adalah hutan lindung. Untuk menunjukkan bahwa hutan lindung itu penting bagi KLHK, diera pemerintahan Joko Widodo pula, dibentuk satu direktorat hutan lindung dibawah Ditjen Perngelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) KLHK. Lalu apa artinya penyerahan sebagian kewenangan kehutanan (hutan lindung dan Tahura) sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah no. 23 tahun 2014 ? Bagaimana konsistensi antara peraturan perundangan (regulasi) yang satu dengan yang lain ?

Keseimbangan Ekologis

Sebenarnya keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di P. Jawa dan P. Sumatera.  Dalam kaitan ini menjadi penting keberadaan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau dikenal dengan "catchment area" Daerah Aliran Sungai (DAS)  suatu kawasan.

DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir, sehingga apabila terjadi bencana seperti banjir tanggungjawab pemangku wilayah tidak bisa dibebankan kehilir tetapi juga daerah hulu. Bentuk tanggungjawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA pemda yang dihilir kepemda yang dihulu. Contoh kasus DAS Ciliwung, bila terjadi banjir pemda provinsi Jabar dan kabupaten Bogor harus ikut bertanggungjawab bersama sama pemda DKI.

DTA merupakan daerah yang mampu menjaga keseimbangan ekologis tentang ketersediaan air didaerah hilirnya, sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan lindung yang ada dihulu dapat dijaga dengan baik.

Undang undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan  sebaran yang proporsional. Dalam prakteknya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di P Jawa, ketentuan ini tidak terjadi.  Penutupan hutannya jauh dibawah angka 30 persen. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja.

Pada tahun 80'an pemerintah telah menetapkan 40 DAS prioritas dan super prioritas diseluruh Indonesia yang harus diperbaiki kondisi lingkungannya didaerah hulu dengan melakukan reforestasi lahan kritis pada kawasan hutan lindungnya. Jutaan bahkan miliiaran bibit kayu kayu dan ribuan hektar kawasan hutan lindung telah ditanam, namun hasilnya masih belum menggembirakan.

Reforestasi dalam kawasan hutan lindung mempunyai tingkat kesulitannya lebih tinggi dibandingkan dengan reforestasi dalam kawasan hutan produksi/hutan tanaman  industri. Oleh karena itu, idealnya  perlakuan (treatment) dalam reforestasi hutan lindung harus "lebih" dalam kegiatan pembibitan/persemaian, penanaman, dan pemeliharaan tanaman.  Persemaian permanen/modern yang menghasilkan bibit yang berkualitas tinggi dengan media tumbuh non tanah dengan bobot yang ringan sangat diperlukan dalam hal ini. Pemilihan jenis bibit harus juga cermat. Pada daerah yang curah hujan bulanan kurang/kering seperti Provinsi NTT jenis fast growing spesies sangat diperlukan.

Dengan topografi yang cukup berat, bibit yang bobotnya ringan membantu dalam memperlancar proses penamanam. Jumlah bibit yang diangkut secara manual dapat dibawa lebih banyak dan tidak mudah rusak. Pemeliharan tanaman yang selama ini dilakukan sampai tahun kedua (tanaman umur tiga tahun) dinilai kurang tepat karena bibit masih pada tingkat semai (seedling) yang hidupnya masih belum beradaptasi dengan tanah. Seharusnya pemeliharaan dilakukan sampai dengan bibit mencapai umur sapling (sapihan) yaitu umur lima sampai enam tahun yang telah stabil tingkat hidupnya.

Pada akhirnya memang perlu dilakukan reevaluasi keberhasilan rehabilitasi/reforestasi hutan lindung khususnya pada daerah prioritas/super prioritas DAS  yang telah dilakukan selama ini. Jangan hanya mengejar jumlah bibit dan luas tanaman tetapi kualitas keberhasilan lebih diutamakan setelah tanaman berumur di atas 10 tahun sekaligus memperbaiki sistim yang telah dilakukan selama ini. Keberhasilan memang membutuhkan anggaran yang besar. Quo Vadis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun