Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Quo Vadis Hutan Lindung

26 September 2020   11:00 Diperbarui: 26 September 2020   11:10 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian pengelolaan hutan lindung tahun 2005 di provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Barat salah satu kesimpulannya adalah fungsi  hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut  belum dipahami dan diapresiasi secara luas oleh pemerintah daerah kabupaten/provinsi.

Meskipun dalam kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan untuk memungut hasil kayunya dan hanya diizinkan dalam pemanfaatan jasa lingkungannya, dalam prakteknya pemanfaatan hutan lindung banyak disalah gunakan untuk pemanfaatan lain oleh pemerintah daerah setempat.  Salah satunya adalah melalui mekanisme Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH) yang begitu mudah diobral untuk kepentingan lain diluar kehutanan dengan mementingkan keuntungan ekonomis dibandingkan kepentingan ekologisnya.

Belum lagi ditambah dengan perambahan , illegal logging, dan  illiegal mining yang tidak terkendali dalamn kawasan hutan lindung. Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan oleh aparat kehutanan setempat  sangat lemah, karena keterbatasan personil dan anggaran. Singkat cerita, hutan lindung yang mestinya dilindungi, ternyata mudah dijarah oleh tangan tangan yang tidak bertanggung jawab.

Kondisi ini terjadi sejak diserahkannya pengelolaan hutan lindung kepada pemerintah daerah kabupaten/kota sejak tahun 1998 sampai sekarang. Nampaknya penyerahan urusan pengelolaan hutan lindung setelah berjalan 21 tahun kepada pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota tidak lebih baik dari otoritas pemerintah pusat. Pembentukan beberapa model Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) didaerah provinsi, masih belum membuahkan  hasil sebagaimana yang diharapkan.

Anehnya dalam peraturan pemerintah (PP) no. 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan, menteri KLHK bertanggung jawab melaksanakan rehabilitasi hutan untuk kawasan hutan termasuk didalamnya adalah hutan lindung. Untuk menunjukkan bahwa hutan lindung itu penting bagi KLHK, diera pemerintahan Joko Widodo pula, dibentuk satu direktorat hutan lindung dibawah Ditjen Perngelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) KLHK. Lalu apa artinya penyerahan sebagian kewenangan kehutanan (hutan lindung dan Tahura) sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah no. 23 tahun 2014 ? Bagaimana konsistensi antara peraturan perundangan (regulasi) yang satu dengan yang lain ?

Keseimbangan Ekologis

Sebenarnya keberadaan hutan lindung sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di P. Jawa dan P. Sumatera.  Dalam kaitan ini menjadi penting keberadaan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau dikenal dengan "catchment area" Daerah Aliran Sungai (DAS)  suatu kawasan.

DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir, sehingga apabila terjadi bencana seperti banjir tanggungjawab pemangku wilayah tidak bisa dibebankan kehilir tetapi juga daerah hulu. Bentuk tanggungjawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA pemda yang dihilir kepemda yang dihulu. Contoh kasus DAS Ciliwung, bila terjadi banjir pemda provinsi Jabar dan kabupaten Bogor harus ikut bertanggungjawab bersama sama pemda DKI.

DTA merupakan daerah yang mampu menjaga keseimbangan ekologis tentang ketersediaan air didaerah hilirnya, sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan lindung yang ada dihulu dapat dijaga dengan baik.

Undang undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan  sebaran yang proporsional. Dalam prakteknya, untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di P Jawa, ketentuan ini tidak terjadi.  Penutupan hutannya jauh dibawah angka 30 persen. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja.

Pada tahun 80'an pemerintah telah menetapkan 40 DAS prioritas dan super prioritas diseluruh Indonesia yang harus diperbaiki kondisi lingkungannya didaerah hulu dengan melakukan reforestasi lahan kritis pada kawasan hutan lindungnya. Jutaan bahkan miliiaran bibit kayu kayu dan ribuan hektar kawasan hutan lindung telah ditanam, namun hasilnya masih belum menggembirakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun