"Perlu diingat bahwa lahan konsesi tersebut rata rata lahan-lahan yang miskin hara dan mempunyai keasaman yang tinggi (tanah bergambut), sehingga kalau dipaksakan untuk budidaya tanaman pangan diperlukan perlakukan khusus."
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan pemanfaatan ruang kawasan hutan produksi di dalam areal izin usaha perlu dioptimalkan.Â
Oleh karena itu, orientasinya tidak hanya pemanfaatan  hasil hutan kayu saja, tetapi pemanfaatan kawasan lainnya seperti jasa lingkungan dan hasil hutan hutan bukan kayu, termasuk pangan.Â
Saat ini pengembangan model multi usaha kehutanan berada dalam momentum yang tepat ditengah pandemi COVID-19, khususnya berkaitan penyediaan kebutuhan pangan.Â
Model multi usaha yang mengintregasikan pemanfaatan hasil hutan kayu dengan hasil hutan bukan kayu berupa tanaman atau komoditas semusim antara lain melalui pola agroforestry atau silvipasture menjadi solusi efektif untuk antisipasi krisis pangan.Â
Penerapan model multi usaha kehutanan selain memanfaatkan hutan produksi untuk kepentingan bisnis, juga dalam rangka untuk peningkatan produktivitas rakyat didalam konsesi, guna mendukung pemulihan ekonomi nasional.Â
Menurut Direktur Usaha Jasa Lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu KLHK, multi usaha kehutanan bukan izin baru. Secara teknis kebijakan multi usaha adalah pemberian izin mengembangkan jenis usaha lain selain memproduksi kayu. Nanti, pemilik konsesi diminta untuk merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan dengan memasukkan bisnis non kayu.
Dari segi niat dan itikad baik KLHK, bolehlah disambut dengan baik dalam rangka mendukung program food estate yang telah dicanangkan oleh presiden Jokowi diprovinsi Kalimantan Tengah beberapa hari yang lalu, namun perlu dikaji lebih jauh berbagai aspek teknis maupun non teknis yang mendukungnya.Â
Namun, di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan dunia yang belum ada tanda tanda kapan ujungnya akan berakhir, mungkinkah rencana multi usaha kehutanan dapat terealisasi dalam waktu dekat? Mari kita lihat lebih jauh konsep ini.
Pada tahun 2000, Indonesia memberikan konsesi HPH sebanyak sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta ha.Â
Produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak tahun 2005 dan turun ketitik nadir sejak ditetapkannya moratorium permanen hutan alam tahun 2019 lalu. Pasokan kayu dari hutan alam sekarang hanya bertumpu pada HPH yang tinggal tersisa 255 unit, dengan luas usaha 18,7 juta ha.Â
Sedangkan dari izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta ha. Baru baru ini Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melaporkan bahwa harga kayu bulat segar kelompok meranti harganya jatuh dibawah dan tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang rata rata diatas Rp. 1,4 juta/m3.Â
Kayu bulat kelompok meranti ini lebih dari 70 % nya untuk suplai bahan baku industri kayu lapis (plywood) yang kontinyuitas pasokan kayu bulat fresh cut-nya tidak terjamin, sisanya yang 30% untuk industri kayu gergajian, industri kayu serpih, dan lain-lain.
Produk industri pengolahan kayu seperti kayu lapis harga jualnya juga rendah. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO)  menyatakan bahwa untuk kayu lapis umum (general plywood) yang berbahan baku kayu bulat dari hutan alam harganya berkisar antara 500-550 dolar AS per m3, sedangkan dari hutan tanaman antara  250-400 dolar per m3. Padahal untuk 1 m3 kayu lapis memerlukan bahan baku sekitar 2 m3 kayu bulat hutan alam. Â
Produktivitas tenaga kerja hanya 4 atau 5 m3 per orang/bulan (upah rata-rata sekitar 80 dolar per m3). Jika ditambah biaya lem, upah minimum tenaga kerja yang terus meningkat dan tidak diikuti dengan peningkatan produktivitasnya, produktivitas mesin-mesin juga rendah karena sudah tua (umur mesin sudah lebih dari 30 tahun).
Maka, perusahaan makin tidak mampu menutupi biaya usaha. Pada akhirnya tidak cukup untuk menutupi harga pokok produksi (HPP), dimana HPP industri kayu lapis berkisar 600-650 dolar per m3.Â
Artinya, industri kayu lapis malah merugi karena  biaya produksi lebih besar daripada harga jual. Kondisi ini sudah berlangsung selama lebih dari 2 tahun belakangan. Konsekuensinya, banyak diantara pabrik kayu lapis, kayu gergajian, dan industri perkayuan lainnya kolaps atau hanya beroperasi on and off. Â
Sekalipun kapasitas produksi tidak turun, tetapi harga jual tidak menutupi HPP-nya atau impas saja. Â Industriawan kayu lapis hanya bisa mengeluh.
Hal ini hanya bisa untuk bertahan saja supaya tidak rugi yang lebih besar. Industri perkayuan terancam kolaps. Ditengah kondisi perusahaan konsesi yang demikian, multi usaha baru tentu akan membebani arus modal keuangan perusahaan yang lagi tidak sehat saat ini.
Dari aspek agroklimat, multi usaha kehutanan pada areal konsesi (HPH maupun HTI) haruslah dikaji lebih cermat lagi. Apabila multi usaha kehutanan pada areal konsesi yang tersisa sekarang (HPH dengan luas 18,7 juta ha dan HTI dengan luas 11,3 juta ha) diarahkan untuk penyediaan pangan dengan pola agroforestry, misalnya.
Perlu diingat bahwa lahan konsesi tersebut rata rata lahan-lahan yang miskin hara dan mempunyai keasaman yang tinggi (tanah bergambut), sehingga kalau dipaksakan untuk budidaya tanaman pangan diperlukan perlakukan khusus.
Pengapuran untuk membuat tanah menjadi basa dan pemupukan dengan dosis yang tinggi yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Hitung hitungan secara ekonomis tidaklah menguntungkan bagi perusahaan pemegang konsesi.Â
Oleh karena itu, dengan bantuan ahli pertanian dan ahli tanah, harus dipilih dan dipilah serta dibuat pemetaan yang cermat mana yang layak untuk budidaya tanaman dari luas 30 juta ha kawasan konsesi tersebut.Â
Dari sisi penyediaan tenaga kerja yang akan terlibat dalam multi usaha kehutanan inipun perlu dipertanyakan. Multi usaha kehutanan untuk penyediaan pangan disamping membutuhkan padat modal, juga membutuhkan padat karya (tenaga kerja) yang cukup banyak yang tidak sama dengan usaha pemanfaatan kayu yang selama ini dilakukan.Â
Bilamana  yang diinginkan hutan sebagai usaha penyedia pangan, kenapa tidak didorong program perhutanan sosial yang luasnya 12,7 juta ha dan diprioritaskan terlebih dahulu, karena program ini jelas bersifat padat karya yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat di dalam dan sekitar hutan.Â
Kesimpulannya adalah multiusaha kehutanan tidak sekedar memperhatikan aspek eknomis semata tetapi juga harus memperhatikan aspek fisik teknis dan sosiologis yang ada. Dalam situasi seperti ini sebagai konsep perlu kajian yang lebih dalam dan seksama lagi.
PRAMONO DWI SUSETYO
Kompasiana, 27 Juli 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H