Produksi kayu dari hutan alam mulai menurun sejak tahun 2005 dan turun ketitik nadir sejak ditetapkannya moratorium permanen hutan alam tahun 2019 lalu. Pasokan kayu dari hutan alam sekarang hanya bertumpu pada HPH yang tinggal tersisa 255 unit, dengan luas usaha 18,7 juta ha.Â
Sedangkan dari izin hutan tanaman industri (HTI) yang jumlahnya 293 unit dengan luas areal 11,3 juta ha. Baru baru ini Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melaporkan bahwa harga kayu bulat segar kelompok meranti harganya jatuh dibawah dan tidak cukup untuk menutupi biaya produksi yang rata rata diatas Rp. 1,4 juta/m3.Â
Kayu bulat kelompok meranti ini lebih dari 70 % nya untuk suplai bahan baku industri kayu lapis (plywood) yang kontinyuitas pasokan kayu bulat fresh cut-nya tidak terjamin, sisanya yang 30% untuk industri kayu gergajian, industri kayu serpih, dan lain-lain.
Produk industri pengolahan kayu seperti kayu lapis harga jualnya juga rendah. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO)  menyatakan bahwa untuk kayu lapis umum (general plywood) yang berbahan baku kayu bulat dari hutan alam harganya berkisar antara 500-550 dolar AS per m3, sedangkan dari hutan tanaman antara  250-400 dolar per m3. Padahal untuk 1 m3 kayu lapis memerlukan bahan baku sekitar 2 m3 kayu bulat hutan alam. Â
Produktivitas tenaga kerja hanya 4 atau 5 m3 per orang/bulan (upah rata-rata sekitar 80 dolar per m3). Jika ditambah biaya lem, upah minimum tenaga kerja yang terus meningkat dan tidak diikuti dengan peningkatan produktivitasnya, produktivitas mesin-mesin juga rendah karena sudah tua (umur mesin sudah lebih dari 30 tahun).
Maka, perusahaan makin tidak mampu menutupi biaya usaha. Pada akhirnya tidak cukup untuk menutupi harga pokok produksi (HPP), dimana HPP industri kayu lapis berkisar 600-650 dolar per m3.Â
Artinya, industri kayu lapis malah merugi karena  biaya produksi lebih besar daripada harga jual. Kondisi ini sudah berlangsung selama lebih dari 2 tahun belakangan. Konsekuensinya, banyak diantara pabrik kayu lapis, kayu gergajian, dan industri perkayuan lainnya kolaps atau hanya beroperasi on and off. Â
Sekalipun kapasitas produksi tidak turun, tetapi harga jual tidak menutupi HPP-nya atau impas saja. Â Industriawan kayu lapis hanya bisa mengeluh.
Hal ini hanya bisa untuk bertahan saja supaya tidak rugi yang lebih besar. Industri perkayuan terancam kolaps. Ditengah kondisi perusahaan konsesi yang demikian, multi usaha baru tentu akan membebani arus modal keuangan perusahaan yang lagi tidak sehat saat ini.
Dari aspek agroklimat, multi usaha kehutanan pada areal konsesi (HPH maupun HTI) haruslah dikaji lebih cermat lagi. Apabila multi usaha kehutanan pada areal konsesi yang tersisa sekarang (HPH dengan luas 18,7 juta ha dan HTI dengan luas 11,3 juta ha) diarahkan untuk penyediaan pangan dengan pola agroforestry, misalnya.
Perlu diingat bahwa lahan konsesi tersebut rata rata lahan-lahan yang miskin hara dan mempunyai keasaman yang tinggi (tanah bergambut), sehingga kalau dipaksakan untuk budidaya tanaman pangan diperlukan perlakukan khusus.