Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah Gratis, Mengapa Tidak?

13 Februari 2020   14:13 Diperbarui: 13 Februari 2020   14:14 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak semua anak anak Indonesia yang telah menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ditingkat perguruan tinggi. Menurut data terbaru (2019), Setiap tahun jumlah lulusan SMA/SMK di atas 3,5 juta orang, hanya 50 persen yang mampu melanjutkan kejenjang perguruan tinggi.

Berbagai faktor yang menyebabkan anak lulusan SLTA tidak mampu atau putus pendidikan ditengah jalan. Salah satu penyebabnya adalah tingginya biaya kuliah yang tidak dapat dijangkau oleh kebanyakan para orang tua siswa. Menurut perhitungan para pengamat pendidikan, pada tingkat strata satu (S1) tahun kuliah 2020, biaya rata rata sampai dengan lulus kuliah yang harus dikeluarkan oleh orang tua, untuk perguruan tinggi negeri (PTN) sebesar Rp 81 juta, sedangkan untuk perguruan tinggi swasta (PTS) sebesar Rp 90 juta. Itupun diluar biaya hidup sehari hari yaitu makan, minum, pemondokan dan transport.  Bagi orang tua yang mempunyai kemampuan ekonomi terbatas, jelas jumlah uang sebesar itu tidak mungkin akan terjangkau untuk memenuhinya. Bagaimana orang tua yang masuk golongan ini menyiasati biaya kuliah yang lebih murah syukur syukur gratis.

Berikut ini, pengalaman pribadi saya selama kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) dari tahun 1977 -- 1981 yang praktis hampir lebih  dari 80 persen tidak mengeluarkan biaya kuliah alias gratis. Bagimana bisa ? Sebagai lulusan SMA kota kecil di Jawa Tengah (SMAN Cepu, kabupaten Blora, Jateng), yang orang tuanya mempunyai kemampuan ekonomi terbatas (anak kedua dari sembilan bersaudara) saya mendapat  kesempatan untuk melanjutkan kuliah tanpa test melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) di IPB tahun 1977.

Biaya kuliah setahun sebesar Rp. 24 ribu atau satu semester Rp. 12 ribu. Tahun pertama kuliah di Bogor, biaya yang dikeluarkan oleh orang tua adalah biaya kuliah selama dua semester ( satu tahun), biaya indekos kamar ala kadarnya, biaya transpot kekampus (itupun kalau dibutuhkan karena seringkali lebih banyak jalan kekampus karena dekat), dan biaya makan sehari hari. Melalui weselpos yang kadang kadang terlambat mengirimkannya ke Bogor, saya dijatah Rp. 12.500 setiap bulan , itupun dipesan agar dicukup cukupkan karena tidak mungkin akan ditambah lagi oleh orang tua.

Sebagai anak kedua, saya paham betul kemampuan ekonomi orang tua. Penghasilan orang tua ( ibu sebagai ibu rumah tangga biasa)  harus mampu mendistribusikan penghasilannya untuk sembilan orang anak yang harus sekolah dan kuliah. Secara bersamaan ditahun yang sama, kakak tertua juga diterima di Fakultas Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) di Surabaya,  juga membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan kebutuhan saya di Bogor. Sementera itu,  tujuh orang adik adik dirumah juga masih bersekolah ditingkat SD sampai SMA.

Pesan orang tua kepada anaknya yang kuliah di Bogor dan Surabaya cuma satu yaitu  carilah beasiswa secepatnya agar dapat meringankan beban ekonomi orang tua, apapun caranya dan bagaimanapun syaratnya.

Sebagai anak yang harus berbakti kepada orang tua, saya bergegas dan cepat cepat mencari informasi tentang beasiswa ini dikampus meskipun baru kuliah tiga bulan dengan membawa persyaratan administratif yang telah dikumpulkan sebanyak mungkin oleh ayah dan telah dikirimkan ke Bogor sebelumnya. Doa yang tulus dan niat baik orang tua ternyata dijawab oleh Tuhan yang maha adil dan penyayang bagi umatnya yang berusaha.

Dari pegawai bagian kemahasiwaan tingkat persiapan bersama IPB, diperoleh informasi bahwa untuk beasiswa atau  keringanan/bebas SPP biaya kuliah baru dapat diproses setelah mahasiswa menginjak tingkat dua atau semester tiga. Setelah persyaratan administrasi yang saya bawa dan tunjukkan dinyatakan lebih dari cukup. Saya diberi dua pilihan, gratis SPP selama kuliah sampai lulus yang sebesar Rp. 24 ribu tiap tahun  yang berarti selama tiga tahun dihitung dari tingkat dua dengan total Rp. 72 ribu atau beasiswa Supersemar Rp. 15 ribu perbulan atau Rp. 540 ribu. Melihat perbandingan ini, jelas saya lebih memilih beasiswa Supersemar yang lebih menjanjikan dan meringankan kiriman weselpos orang tua.

Memasuki awal tahun 1978, atau semester tiga dimana mahasiswa diwajibkan untuk memilih fakultas dan jurusannya masing masing, saya lebih memilih fakultas kehutanan dengan pertimbangan faktor ekonomis.

Semua mahasiswa fakultas kehutanan ditampung dan diwajibkan tinggal diasrama mahasiswa gratis dan biaya makan hanya Rp.300,- per hari dan dapat dibayar perminggu tergantung kemampuan kantong mahasiswa. Jarak asrama dengan kampus tempat kuliah sangat dekat, cukup ditempuh dengan jalan kaki sehingga tidak memerlukan biaya transport. Sesuai dengan janji sebelumnya dari bagian administrasi mahasiswa kampus, saya tagih tentang beasiswa Supersemar yang dimaksud tahun lalu.

Saya diberi formulir kelengkapan yang harus ditandatangi dahulu oleh dekan fakultas kehutanan sebagai persetujuan, dan setelah proses administasi beres, sebulan kemudian saya mendapatkan kartu beasiswa Supersemar yang dapat  diamabil setiap bulannya di bank BNI 46 cabang Bogor. Saya sangat senang dan mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas jalan kemudahan yang diberikanNya.

Betapa bahagianya, orang tua mengetahui saya mendapatkan beasiswa ini dan sejak saat itu,  wesel pos saya dikurangi menjadi Rp. 5 ribu setiap bulan. Namun tiga bulan kemudian, saya mohon  orangtua tidak lagi mengirimkan wesel pos, cukup saja dengan uang dari beasiswa. Sejak saat itu, praktis orang tua tidak mengirimkan biaya kuliah lagi.

Sambil mengikuti kegiatan rutin kuliah yang padat, pagi, siang kadang juga sore, sesekali saya mengirim tulisan/artikel di majalah profesi kehutanan seperti Duta Rimba milik Perum Perhutani II Jawa Timur, apabila dimuat memperoleh honor yang lumayan untuk ukuran saat itu yaitu Rp. 15 ribu sekali artikel/tulisan. Lumayan untuk nambah uang saku.

Di samping itu juga diwaktu senggang sesekali, saya minta pekerjaan pada senior alumni Fahutan IPB yang telah bekerja di Direktorat Jenderal Kehutanan, Direktorat Bina Program yang kebetulan kantornya berada di Bogor, didepan kebun raya. Biasanya diberi pekerjaan mengolah data atau menterjemahkan tulisan dari bahasa inggris keindonesia. Dalam dua hari kerja menyelesaikan sambilan ini, honornya cukup lumayan kadang dapar 20 -- 25 ribu rupiah. Menulis artikel dan pekerjaan sambilan ini tidak mengganggu jalannya kegiatan kuliah. Pada tahun ketiga, beasiswa yang saya terima dinaikkan oleh pemerintah menjadi Rp. 17.500,- setiap bulannya.

Menginjak tahun keempat atau tahun terakhir masa perkuliahan (1981), setiap mahasiswa diwajibkan untuk melakukan penelitian dalam rangka tugas akhir menyusun tulisan ilmiah (skripsi). Sudah barangtentu proses penelitian ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu saya harus putar otak agar dapat melakukan penelitian dengan gratis. Dengan menghadap dekan fakultas kehutanan, saya diberi petunjuk untuk mengambil judul penelitian yang sesuai dengan proyek yang dikerjakan oleh dosen pembimbing agar dapat melakukan penelitian dengan gratis nebeng dengan proyek tersebut.

Tawaran tersebut saya ambil apalagi lokasi penelitiannya berada di pulau Laut provinsi Kalimantan Selatan yang merupakan wilayah konsesi BUMN PT Inhutani II. Bak gayung bersambut, sekali menyelam minum air, saya mendapat bantuan tiket pulang pergi, biaya laboratorium tanah dan uang saku dari dosen pembimbing. Sementara makan dan fasilitas penginapan dan transportasi, dan uang saku juga dibantu dari PT Inhutani II selama dua pekan. Dengan modal membawa badan saja, saya mendapat pengalaman untuk pertama kalinya naik pesawat terbang dan berpergian keluar Jawa, yang selama ini hanya mengetahui dari melihat berita telivisi dan membaca koran.

Tibalah saatnya saya lulus dan diwisuda menjadi sarjana kehutanan pada pertengahan tahun 1981, praktis orang tua saya hanya mengirimkan weselpos selama satu tahun. Itupun hanya untuk biaya hidup sehari hari dan tiga tahun berikutnya saya menikmati kuliah gratis dari hasil beasiswa dan pekerjaan sambilan yang dapat dikerjaan pada waktu senggang. Itulah sekelumit perjuangan mengikuti kuliah dengan biaya yang minimalis syukur syukur gratis.

Bagaimana dengan kuliah zaman sekarang?

Tahun lalu saya membaca di media massa bahwa seorang lulusan SMA dengan predikat terbaik dibebaskan dari segala biaya untuk menjadi mahasiswa kedokteran UI. Selama kuliah mahasiswa yang orang tuanya tidak mampu secara ekonomi ini mendapat beasiswa Bidikmisi  dan bantuan fasilitas pemondokan dan fasilitas lainnya dari kampusnya kuliah.

Luar biasa. Jadi mungkin sekali, kuliah gratis khususnya untuk perguruan tinggi negeri, asal calon mahasiswa ini berprestasi disekolahnya dan masuk melalui jalur SNMPTN dan tahu strategi mencari beasiswa yang banyak diberikan di perguruan tinggi negeri. Benar pepatah lama yang mengatakan bahwa Banyak Jalan Menuju Roma, asal kita tahu jalannya.

Pramono DS

Pensiunan Rimbawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun