Masih ingat berita tentang adanya garam dapur yang mengandung pecahan kaca? Atau adanya informasi bahwa kantong teh celup ternyata beracun? Pastinya para pembaca kaget dan bertanya-tanya, apakah benar informasi tersebut? Tentu, tak sedikit pula pastinya yang akan mencari kebenaran informasi tersebut. Namun, berapa pula jumlah orang yang abai terhadap informasi tersebut?
Kedua berita tersebut sempat menghidupkan suasana ketegangan di masyarakat kita. Tak sedikit pula timbulnya rasa saling curiga sebagai imbas dari gesekan yang terjadi di masyarakat. Beberapa produsen kedua jenis produk sempat mengalami kemadekan produksi karena berkembangnya ketidakpercayaan masyarakat.
Padahal, setelah ditelusuri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa tidak ada kandungan kaca dalam garam dan tak beracun pula kantong teh celup. Kedua berita tersebut adalah hoaks. Lantas, sebenarnya apa itu hoaks?
Hoaks adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu (Abner, dkk., 2017).
Pada kasus hoaks, berita yang disampaikan seolah-olah benar terjadi. Pembaca akan dengan mudah percaya setelah membaca judul yang membuatnya penasaran. "Terlalu, Garam pun Diolpos Kaca", judul berita tersebut sempat menghiasi salah satu surat kabar di Lamongan, Jawa Timur, Agustus lalu. Isi berita yang seolah menunjukkan fakta, diawali dengan situasi krisis garam yang terjadi. Imbasnya, berita itu pun tersebar, dan masyarakat mulai resah.
Selain di surat kabar, wadah yang paling subur bagi berkembangnya hoaks adalah media sosial. Kecepatan informasi hari ini berbanding terbalik dengan kecermatan dalam menelusuri informasi yang didapat. Rasa ingin tampil dan menjadi yang paling menonjol semakin memperparah situasi. Tidak perlu tepat, yang penting cepat. Itulah pola pikir yang sepertinya mulai menyergapi masyarakat kita.
Semakin tidak cermatnya seseorang dalam menerima informasi, semakin cepatlah kerugian yang akan ditimbulkan. Jika awalnya hanya timbul ketidakpercayaan dalam masyarakat, maka situasi terparah dalam penyebaran hoaks adalah adanya kebencian dalam diri masyarakat. Kebencian yang sedikit demi sedikit akan menimbulkan perpecahan.
Faktanya, kini masyarakat kita sedang dalam kondisi terparah akibat hoaks. Ketegangan dan kebencian yang disulut oleh isu-isu sensitif seperti SARA, nyatanya menjadikan masyarakat kita berjarak satu sama lain. Tidak semua memang, namun karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena kesalahan dari sebagian kecil masyarakat kita, akan membuat seluruh tatanan kehidupan masyarakat kita yang sudah baik menjadi rusak.
Kerusakan yang terjadi akan semakin parah, jika kerusakan tersebut terjadi sejak dari generasi penerus bangsa, yaitu pelajar kita. Sebagai generasi yang dijadikan sasaran untuk mewujudkan misi generasi emas 2045, pelajar memiliki peran sentral dalam menyikapi dan mencegah timbulnya kerugian dari hoaks.
Salah satu kendala yang dimiliki oleh pelajar kita adalah gagap literasi. Jika dulu ada ungkapan gagap teknologi, maka kini setelah teknologi menjadikan apa yang sering kita lakukan menjadi serba cepat, kita lupa akan budaya yang melekat sejak lama; literasi.
Sering pelajar kita ingin mengambil langkah cepat dalam menyikapi apa yang dihadapinya. Tak terkecuali dalam proses belajarnya. Tidak sedikit ketika mengerjakan tugas, pelajar kita mengandalkan mesin penelusur googleatau lainnya untuk mendapat informasi. Namun, tingkat pemahaman atas apa yang mereka dapatkan masih diragukan.
Terkadang, pelajar kita masih gagap untuk menjelaskan apa temuan mereka. Itu semua karena mereka tidak melewati proses yang utuh dalam belajar. Sehingga hasilnya pun akan berbanding lurus dengan apa yang telah dilalui sebelumnya.
Hal tersebut tidak hanya terjadi dalam proses belajar. Dalam menyerap informasi lainnya, terkadang proses mencermati isi pun kadang dilewati. Sehingga, situasi ini menjadikan para pelajar sebagai sasaran empuk dalam penyebaran hoaks.
Â
Anti Hoaks Sang Pendidik
Tentunya, sebagai pendidik, guru harus berada dalam garda terdepan untuk mengedukasi pelajar terkait bahaya hoaks. Menjadi orangtua kedua bagi pelajar dan mempunyai hampir separuh waktu kegiatan sehari-hari para pelajar, guru dapat mengingatkan secara berlanjut bagaimana caranya 'memerangi' hoaks.
Guru dapat menggunakan literasi sebagai alat untuk berperang melawan hoaks. Membiasakan pelajar untuk kembali membaca adalah sebagian kecil cara untuk melawan ungkapan tidak perlu tepat, yang pentng cepat. Pelajar dibiasakan untuk lebih cermat dalam menyikapi informasi. Kecermatan itu bisa dimunculkan dengan cara membaca secara utuh informasi yang didapat.
Josh Schwartz dari firma analisis lalu-lintas internet bernama Charbeat berasumsi, bahwa pembaca yang membagi sebuah artikel di media sosial tidaklah benar-benar membaca artikel yang ia bagikan. Apa yang diungkap Schwartz diakui oleh Maksym Gabielkov dalam jurnalnya berjudul "Social Clicks: What and Who Gets Read on Twitter?" Dalam jurnalnya itu Balielkov meneliti lebih dari 2,8 juta artikel yang dibagikan di media sosial, Gabielkov mengatakan bahwa 59 persen link berita yang dibagikan di media sosial tidak benar-benar diklik sama sekali. Ini menandakan bahwa mayoritas artikel atau berita yang dibagi di media sosial tidak berdasar pada proses membaca artikel sebuah berita. (tirto.id, 2017)
Membaca secara utuh informasi rasanya adalah sesuatu yang membosankan. Tidak hanya pelajar, hampir seluruh lapisan masyarakat sepertinya mengamini kebosanan tersebut. Terlebih jika informasi yang didapat ternyata ditulis dalam satu narasi teks yang panjang. Keadaan ini menjadikan pelajar hanya membaca judul informasi.
Selain itu, kehadiran situs penyedia informasi yang merebak di media sosial, perlu untuk dipahami dan diperhatikan lebih oleh pelajar. Di media sosial, berita yang tersebar belum tentu menyertakan sumber yang jelas. Tidak seperti media cetak yang dapat kita lihat dengan jelas sumbernya.
Dalam mengidentifikasi hoaks, pelajar mesti mengenali terlebih dahulu situs-situs yang sah. Biasanya situs seperti ini transaparan dengan situs yang mereka punya. Tidak terlalu susah untuk mengakses situsnya. Selain itu, di dalam situsnya pun tersedia informasi yang jelas tentang profil mereka, siapa yang mendukung dan siapa pula yang terkait dengan situs mereka.
Selain itu, guru harus membekali kemampuan tata bahasa kepada pelajar untuk mengidentifikasi kualitas sebuah berita. Dalam tata bahasa, penulisan judul untuk sebuah artikel ataupun berita, tidak menggunakan huruf kapital semua. Penulisan huruf kapital hanya pada huruf pertama setiap kata, kecuali kata konjungsi. Selain itu, kesalahan sintaksis atau pun penulisan kata atau yang lebih dikenal dengan typo, lalu pengutipan yang tidak sesuai aturan, patut membuat kita menjadi skeptis terhadap informasi tersebut.
Kemampuan pelajar dalam mencermati tata bahasa tentu tidak akan mudah jika mereka tidak mempunyai asupan bacaan yang kurang. Kebiasaan membaca akan menimbulkan kepekaan pelajar terhadap kalimat dan wacana yang terdapat dalam sebuah teks. Inilah pentingnya sebuah literasi dikembangkan dalam dunia pendidikan kita.
Begitu pentingnya literasi, sehingga munculah Gerakan Literasi Nasional (GLN), dan dikembangkan menjadi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang menjadi kegiatan penguatan karakter di sekolah. Kegiatan yang berupa pembiasaan membaca ini dimulai 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dilakukan.
Hadirnya kegiatan GLS, membuat pelajar terbiasa dengan membaca. Terlebih jika kegiatan GLS tersebut tidak hanya sekadar reseptif atau menerima informasi dari bacaan, tetapi juga adanya proses produksi berupa tulisan resensi atas bacaannya. Dengan adanya dorongan untuk memproduksi hasil bacaan, tingkat kepekaan pelajar dalam tata bahasa menjadi meningkat.
Hal tersebut bisa dikembangkan dengan cara saling menyunting atau mengoreksi hasil resensi teman sebaya. Kegiatan ini dapat menjadi bekal pelajar dalam mengidentifikasi hoaks. Mereka dibiasakan membaca secara utuh untuk menghasilkan resensi yang baik tentang bacaannya. Kemudian mereka terbiasa untuk mengoreksi kesalahan tata bahasa, pengutipan, dan lainnya.
 Kebiasaan ini mampu memberikan dampak yang positif pada pelajar. Di SMP Negeri 1 Cimahi, saat pembelajaran Bahasa Indonesia tentang teks berita, pelajar mampu mengidentifikasi berita hoaks. Pembelajaran teks berita tidak hanya berfokus pada berita di koran, namun juga di media daring yang mampu memberikan pengalaman lain kepada mereka.
Pelajar disuguhi sebuah berita. Kemudian membacanya secara utuh dan menemukan beberapa kesalahan kata. Tidak langsung skeptis, mereka pun mulai menelusuri berita serupa pada situs yang lainnya. Namun ternyata, tidak banyak yang memberitakan isu tersebut. Sehingga, mereka pun menganggapnya sebagai hoaks.
Tentu kecakapan pelajar tersebut masih perlu untuk diasah. Namun, sebelum mengasah pisau, kita mesti memiliki gerinda yang baik, sehingga pisau pun akan semakin tajam. Pendidiklah yang memiliki peran sebagai gerinda yang harus mengasah pisau tersebut.
Kebiasaan membudayakan literasi, kebiasaan untuk lebih cermat, kebiasaan untuk saring sebelum sharing mestilah dimulai dari pendidik. Sehingga, bahaya dari maraknya hoaks bisa terantisipasi dengan baik oleh masyarakat secara umum, khususnya oleh pelajar sebagai generasi penerus bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H