Terkadang, pelajar kita masih gagap untuk menjelaskan apa temuan mereka. Itu semua karena mereka tidak melewati proses yang utuh dalam belajar. Sehingga hasilnya pun akan berbanding lurus dengan apa yang telah dilalui sebelumnya.
Hal tersebut tidak hanya terjadi dalam proses belajar. Dalam menyerap informasi lainnya, terkadang proses mencermati isi pun kadang dilewati. Sehingga, situasi ini menjadikan para pelajar sebagai sasaran empuk dalam penyebaran hoaks.
Â
Anti Hoaks Sang Pendidik
Tentunya, sebagai pendidik, guru harus berada dalam garda terdepan untuk mengedukasi pelajar terkait bahaya hoaks. Menjadi orangtua kedua bagi pelajar dan mempunyai hampir separuh waktu kegiatan sehari-hari para pelajar, guru dapat mengingatkan secara berlanjut bagaimana caranya 'memerangi' hoaks.
Guru dapat menggunakan literasi sebagai alat untuk berperang melawan hoaks. Membiasakan pelajar untuk kembali membaca adalah sebagian kecil cara untuk melawan ungkapan tidak perlu tepat, yang pentng cepat. Pelajar dibiasakan untuk lebih cermat dalam menyikapi informasi. Kecermatan itu bisa dimunculkan dengan cara membaca secara utuh informasi yang didapat.
Josh Schwartz dari firma analisis lalu-lintas internet bernama Charbeat berasumsi, bahwa pembaca yang membagi sebuah artikel di media sosial tidaklah benar-benar membaca artikel yang ia bagikan. Apa yang diungkap Schwartz diakui oleh Maksym Gabielkov dalam jurnalnya berjudul "Social Clicks: What and Who Gets Read on Twitter?" Dalam jurnalnya itu Balielkov meneliti lebih dari 2,8 juta artikel yang dibagikan di media sosial, Gabielkov mengatakan bahwa 59 persen link berita yang dibagikan di media sosial tidak benar-benar diklik sama sekali. Ini menandakan bahwa mayoritas artikel atau berita yang dibagi di media sosial tidak berdasar pada proses membaca artikel sebuah berita. (tirto.id, 2017)
Membaca secara utuh informasi rasanya adalah sesuatu yang membosankan. Tidak hanya pelajar, hampir seluruh lapisan masyarakat sepertinya mengamini kebosanan tersebut. Terlebih jika informasi yang didapat ternyata ditulis dalam satu narasi teks yang panjang. Keadaan ini menjadikan pelajar hanya membaca judul informasi.
Selain itu, kehadiran situs penyedia informasi yang merebak di media sosial, perlu untuk dipahami dan diperhatikan lebih oleh pelajar. Di media sosial, berita yang tersebar belum tentu menyertakan sumber yang jelas. Tidak seperti media cetak yang dapat kita lihat dengan jelas sumbernya.
Dalam mengidentifikasi hoaks, pelajar mesti mengenali terlebih dahulu situs-situs yang sah. Biasanya situs seperti ini transaparan dengan situs yang mereka punya. Tidak terlalu susah untuk mengakses situsnya. Selain itu, di dalam situsnya pun tersedia informasi yang jelas tentang profil mereka, siapa yang mendukung dan siapa pula yang terkait dengan situs mereka.
Selain itu, guru harus membekali kemampuan tata bahasa kepada pelajar untuk mengidentifikasi kualitas sebuah berita. Dalam tata bahasa, penulisan judul untuk sebuah artikel ataupun berita, tidak menggunakan huruf kapital semua. Penulisan huruf kapital hanya pada huruf pertama setiap kata, kecuali kata konjungsi. Selain itu, kesalahan sintaksis atau pun penulisan kata atau yang lebih dikenal dengan typo, lalu pengutipan yang tidak sesuai aturan, patut membuat kita menjadi skeptis terhadap informasi tersebut.