"Assalamu'alaikum Jo, Apa Kabar? Jo kamu mau nggak ikut gabung kelompok KKN-ku?" Santi langsung to the point ketika menelepon Parjo. Santi tiba-tiba teringat dengan Parjo, teman kampusnya. Ia bertemu ketika mengikuti mata kuliah umum di Fakultas Bahasa dan Seni. Santi merupakan mahasiswa jurusan akuntansi sedangkan Parjo mahasiswa jurusan olahraga.
"Wah yo boleh to San! Aku dari kemarin belum dapet kelompok KKN." Jawab Parjo dengan dialek medoknya. Maklum saja, Parjo merupakan mahasiswa yang berasal dari desa. Mungkin ia satu-satunya pemuda desa yang mampu menembus perguruan tinggi. Parjo memang terkenal jago main bola, ia jago main tarkam, sehingga tim pemandu bakat kampus merekrutnya. Parjo menyambut girang ajakan Santi untuk bergabung di kelompoknya.
"Ok Jo! Minggu depan kita kumpul untuk membahas persiapan KKN kita di Angkringan Lik Yanto ya!" Ujar Santi sembari menutup teleponnya.
Parjo dan Santi merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi yang ada di ibukota kabupaten. Hanya ada satu perguruan tinggi di kabupaten itu. Santi berasal dari ibukota kabupaten tersebut, sedangakn Parjo benar-benar merupakan pemuda desa yang beruntung. Parjo berasal dari pelosok desa, tidak ada listrik, tapi ia jago main bola. Tak heran pemandu bakat menemukan potensi dalam dirinya dan memberikan ia beasiswa penuh untuk lanjut kuliah.
--------- Di Angkringan Lik Yanto ----------
Parjo yang ngos-ngosan meletakkan tasnya di atas meja, "Maaf yo aku agak terlambat tadi baru saja ada kuliah sore."
"Duh bau amat sih nih orang, mana keringetan banyak banget lagi. Parah banget ga sih liat tampilannya. Masak iya pake atasan batik, celana kain, pake sepatu futsal lagi. Anak mana sih ini." Respon Mega sinis plus ketus kepada Parjo.
"Hush, jangan gitu. Aku belum kenal dia, tapi dia bakal jadi temen satu kelompok kita." Ujar Poniyem, mahasiswa jurusan pendidikan matematika. Poniyem, berkepribadian baik, rajin sholat, dan rajin mengaji. Gadis ini merupakan jebolan pesantren.
Parjo terlihat sangat kelelahan sekali, setelah sore tadi mengikuti kuliah atletik dengan Pak Rey. Walau begitu, ia berusaha beradaptasi dengan topik diskusi yang sudah berjalan.
"Oke tidak apa-apa Jo! Kita lanjut diskusinya ya!" Respon Santi sembari melanjutkan slide show presentasi program kerja KKN yang akan mereka lakoni bersama-sama.
Santi, sebagai ketua kelompok menjelaskan secara detil jobdesk masing-masing anggota disesuaikan dengan latar belakang jurusan yang diambil. Total ada tujuh orang yang tergabung ke dalam kelompok KKN itu. Santi, Parjo, Poniyem, Mega, Raihan, Supri, dan Nadia.
"Oke guys, diskusi kita malam ini kita akhiri dulu. Besok kita siapkan sama-sama apa saja yang menjadi kebutuhan kelompok kita. Lusa, kita berangkat bareng-barang menuju desa lokasi ya. Kita naik motor sama-sama!" Santi menutup komputer jinjingnya.
"Duh besok aku berangkat sama siapa ya? Aku ga bisa naik motor." Parjo kebingungan, urusan berkendara, dia punya cerita kelam. Sejak mblusuk ke sawah saat belajar sepeda motor ketika duduk di bangku SMP, ia jadi trauma hingga saat ini. Waktu itu motor yang biasa dibuat ngarit bapaknya tiba-tiba remnya blong. Hingga kini, Parjo pun belum berani mencoba untuk belajar mengendari sepeda motor kembali.
"San, aku ga bisa naik motor, aku trauma aku pernah mblusuk ke sawah saat belajar motor." Parjo harus jujur kepada Santi agar ada solusi atas keterbatasan yang ia miliki. Begitulah pesan singkat Parjo kepada Santi.
"Duh piye to Jo! Yowislah besok kamu mbonceng aku aja!" Santi sedikit kesal, karena ia berharap Parjo dapat diandalkan, sebaliknya malah jadi beban.
--------- Tiba Di Desa Lokasi KKN ----------Â
"Monggo, mas dan mbak silakan masuk." Bapak Kepala Desa menyambut dengan hangat kehadiran mahasiswa yang akan melakukan KKN di desanya. Santi dan kawan-kawannya dipersilakan masuk ke ruang tamu kantor kepala desa yang cukup memprihatinkan. Di pojok sebelah pintu terdapat ember dari wadah cat yang sudah tidak terpakai untuk menampung air hujan akibat genteng yang bocor. Tempat duduk yang tersedia sudah sangat reyot, goyang sedikit saja pasti berbunyi. Raihan yang bertubuh besar, merasa khawatir ketika duduk di tempat itu.
Pak Kades mempersilakan kepada Santi dan timnya untuk melakukan kegiatan KKN. Beliau menyampaikan banyak hal terkait program desa yang nantinya dapat berkolaborasi, aturan-aturan, serta permohonan maaf karena tidak dapat menyediakan tempat bermukim yang laik selama kegiatan KKN.
"Maaf mas dan mbak semua, pihak desa tidak dapat memberikan tempat tinggal yang laik. Gedung aula ini dapat digunakan sebagai tempat tinggal sementara. Namun saya mohon untuk lak-laki dan perempuan dipisah ya, akan kami siapkan sekat." Ujar Pak Kades sembari menunjukkan tempat yang akan digunakan Santi dan teman-temannya tinggal sementara selama KKN berlangsung. Empat puluh lima hari, mereka akan tinggal di tempat yang jauh dari kata laik.
"Yah empat puluh lima hari kita bakal tinggal di tempat ini? Ah bikin males aja!" Keluh Mega. Ia membanting tas ranselnya. Mega yang terbiasa hidup mewah harus beradaptasi dengan kondisi serba sulit yang akan ia hadapi selama hampir satu setengah bulan ke depan.
"Udah ga apa-apa Meg, kita di sini sama-sama kok. Kita bisa saling bantu!" Ujar Poniyem menenangkan Mega. Poniyem merangkul Mega, ia berupaya membuat mega lepas dari rasa cemasnya.
Ternyata dari balik sekat, Parjo mendengar percakapan itu. "Ealah gini aja kok ngeluh, di rumah, aku tidur bersebelahan dengan sapi aja nggak masalah, dasar orang kota! Manja! Wah siap-siap ini cewek kayak gitu cuma bakal ngerepotin aja!" Rupanya Parjo merasakan energi pandangan sinis Mega kepadanya ketika diskusi di angkringan Lik Yanto lalu. Ia benar-benar kesal dan sudah tidak respek dengan Mega.
Tim KKN yang dipimpin oleh Santi saling berbagi tugas sesuai dengan latar belakang masing-masing anggota. Raihan dan Supri di bidang pertanian, Mega, Nadia, dan Santi di bidang kesehatan, sedangkan Parjo dan Poniyem di bidang pendidikan.
Raihan dan Supri yang mengambil jurusan pertanian sudah mulai bergerak bersama Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) desa setempat. Mereka besama-sama berdiskusi dan bergerak membenahi segala permasalahan yang ada di sektor pertanian.
Mega, Nadia, dan Santi, berkolaborasi dengan petugas kesehatan, bidan, dan puskesmas. Edukasi, promosi, hingga penyuluhan kesehatan dilakukan sebagai wujud implementasi program kerja yang sudah mereka canangkan.
Kemudian, peran dari Poniyem dan Parjo berfokus di bidang pendidikan. Sesekali Poniyem juga diminta untuk mengajar mengaji di masjid selepas ashar. Parjo begitu bahagia sejak dipasangkan dengan Poniyem dalam tim kerja kali ini.
"Jo, tadi Pak Kades pesen sama aku. Besok Minggu ada acara jalan sehat dan senam bersama. Karena anggaran minim, Pak Kades minta ada mahasiswa yang jadi instruktur senamnya. Kamu akan anak olaharaga, jadi aku percaya kamu ya Jo!" Di sela-sela obrolan santai di malam hari, Santi menyampaikan pesan Pak Kades kepada Parjo.
"Aduh, gimana yaa San. Aku emang anak olahraga, tapi nilai senamku aja D. Aku ga pede San!" Kalau urusan joged dangdut di depan panggung, Parjo memang jagonya. Tapi kalau diminta jadi instruktur senam, benar-benar jadi momok buat Parjo. Hari demi hari dilalui Parjo dengan kekhawatiran. Parjo tidak percaya diri sama sekali. Parjo sadar betul bahwa koordinasi geraknya begitu buruk, ia selalu saja kesulitan menyinkronkan gerak tubuh dengan irama musik.
Parjo begitu khawatir, hari demi hari menuju pelaksanaan ia terlihat begitu gelisah. Ia khawatir hanya jadi bahan tertawaan di depan khalayak ramai.Tapi tiba-tiba saja Poniyem mengirimkan pesan kepada Parjo, "Wis Jo, percaya diri saja, yakin kamu bisa!"
Meletus balon hijau, "Doooor!" Parjo terkejut mendapat pesan yang menggugah semangat dari sosok yang tak terduga. Poniyem, gadis kalem, ramah, relijius, cerdas, dan murah senyum. Pokoknya Poniyem itu wanita paket lengkap bagi Parjo, sehingga membuat Parjo seketika menjadi lebih bersemangat. Sebagai partner yang selalu ada menemani, sikap Poniyem yang seperti ini jelas menjadi alasan utama Parjo lebih bergairah. Seyogyanya satu tim kerja, saling memberikan dukungan menjadi hal dibutuhkan ketika menghadapi segala tantangan. Parjo berkomitmen untuk berlatih mempersiapkan diri.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Lapangan desa begitu ramai. Panggung untuk instruktur senam pun sudah berdiri dengan segala piranti-piranti pendukungnya. Ada gula ada semut, seluruh warga berkumpul menjadi satu. Semakin ramai dengan kehadiran pedagang-pedagang yang menjajakan daganganya. Mulai dari pentol cilok, leker, arumanis, siomay, batagor, es teh jumbo, hingga jajanan ala-ala korea. Tepat pukul 07.30 WIB MC memasuki menaiki panggung dan memanggil nama Parjo. "Senam kali ini akan dipimpin oleh, Parjo!!!" Tepuk tangan bergemuruh. Parjo dipanggil laiknya biduan dangdut yang akan naik panggung. Seperti biasa outfit Parjo, tak pernah lepas dari sepatu futsalnya yang sesekali terlihat kaos kaki kendor ketika ia mengangkat kaki. Ia menaiki panggung dengan sedikit gugup. Namun ia mencoba tenang dan sesekali melirik wajah Poniyem di samping panggung bersama soundman untuk mempersiapkan musik senamnya. Ia melihat Poniyem tersenyum kepadanya seakan berkata, "Kamu bisa Jo!"
Senyum manis itu menjadi pemantik gairah bagi Parjo. Meski beberapa peserta senam ada yang menertawakan outfit Parjo dan gerakan yang terkadang tidak sinkron, namun Parjo tak mempedulikan itu. Senyum Poniyem adalah energy booster bagi Parjo. Lagu dangdut remix diputar, Parjo pun bergoyang! Seluruh peserta ikut bergerak dan bergembira riang! Parjo sukses!
--- Poniyem di Langgar ---Â
"Mbak Poniyem, minta tolong untuk menggantikan saya mengajar mengaji anak-anak selama saya umroh ini ya, terimakasih!" Kyai Ahmad menyampaikan amanah kepada Poniyem, karena beliau akan berangkat menunaikan ibadah umroh.
"Nggih, Yai." Jawab Poniyem dengan takzim kepada sosok yang begitu dihormati tersebut.
Setiap sore selepas sholat ashar, anak-anak desa setempat belajar mengaji di langgar kidul. Poniyem dengan kesabarannya menuntun anak-anak belajar hurf hijaiyah. Telaten dan tekun, begitulah sosok Poniyem ketika mengajar mengaji. Suara lembutnya begitu menenangkan hati.
Parjo masih saja kesengsem dengan senyum manis Poniyem, ia tidak bisa tidur. Senyum Poniyem menjadi candu yang nyata bagi Parjo. Pada suatu sore, Parjo mencoba memperhatikan Poniyem dari sudut jendela langgar tanpa sepengetahuan Poniyem tentunya. Ia begitu terpesona. "Baik sekali Poniyem, semoga ia jodohku." Pinta Parjo dalam hati.
"Witing Trisna Jalaran Saka Kulina -- Cinta Hadir Karena Terbiasa"
Sejak perjumpaan di angkringan Lik Yanto, Parjo begitu merasakan kebaikan Poniyem ketika ia merespon komentar sinis Mega kala itu. Poniyem juga berhasil menjadi sosok pemantik semangat Parjo kala dihantam krisis kepercayaan diri. Lagi-lagi Poniyem mampu menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang tepat bagi Parjo sebagai teman hidup. Poniyem memiliki potensi menjadi madrasatul ula, sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya kelak. Poniyem adalah paket komplit yang begitu Parjo idamkan dan ikhtiarkan.
Benar saja kata pepatah Jawa, Witing Trisno Jalaran Seko Kulino. Parjo dan Poniyem yang terbiasa berkegiatan bersama karena merupakan satu tim selama KKN, diam-diam benih cinta tumbuh di antara keduanya. Cinta hadir karena terbiasa.
Koi Mil Gaya
Mera Dil Gaya
Kya Baataaun Yaroon
Maaein To Hil Gaya
Koi Mil GayaÂ
Mil Hi Gaya
Lima tahun setelah KKN itu, berita baik namun mengejutkan hadir. Parjo dan Poniyem melangsungkan pernihakan. Kegembiraan itu begitu terasa. Santi, Mega, Raihan, Supri, dan Nadia hadir, mereka bernyanyi dan menari bersama dengan iringan Lagu India, memeriahkan pesta pernikahan Parjo dan Poniyem. (prp)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H