“Hiihh, nakal ya, nakal! Lantainya nakal! Nakal!" Marni, pengasuh Aldi melepas sandalnya dan memukul-mukul paving block dengan keras.
Tindakan Marni seketika membuat Aldi lupa dengan lututnya yang sakit karena terjatuh. Tangisnya langsung terhenti, berganti kegiatan ikut-ikutan memukul paving block dengan tangan mungilnya.
Di lain waktu, Aldi mencoba membawa sendiri makanannya ke meja makan, tapi sebelum mencapai meja, separuh isi piring sudah pindah ke lantai.
Mama langsung teriak, “Marniiii, kenapa Aldi dikasih bawa sendiri makanannya, tumpah nih gara-gara kamu!!!”
Bagaimana saat Aldi bersekolah dan dapat nilai tidak memuaskan? Pasti yang salah gurunya tidak bisa mengajar, atau temannya yang berisik di sekolah, atau AC kelas yang panas bikin Aldi tidak bisa fokus, atau apapun itu, yang pasti bukan salah Aldi apalagi orang tuanya.
Not My Fault!!!
Dan tibalah hari di mana Aldi tumbuh dewasa, bekerja, dan melakukan kesalahan (wajar bukan seseorang terkadang melakukan kesalahan, terutama untuk hal baru), dengan tegas Aldi akan berkata, “It’s not my fault!”
Mulai dari budget terbatas, waktu yang terlalu singkat, tim kerja yang tidak kompeten, bahkan bila perlu atasan yang tidak jelas dalam memberikan instruksi, bisa dengan mudah ditunjuk Aldi sebagai penyebab kesalahan yang dia lakukan. Gawat kan?
Mengapa Aldi yang Gagah dan Berbadan Besar Takut Mengakui Bahwa Dialah Yang Bertanggung Jawab Atas Sebuah Kesalahan?
Banyak penyebab sampai terbentuk diri Aldi yang selalu menyalahkan pihak lain, antara lain:
1. Pola Asuh Keluarga
Mulai dari pengasuh sampai mama, dengan mudah menyalahkan yang lain atas sebuah kejadian yang tidak diinginkan.
Tindakan pengasuhnya memukul paving block, mungkin bukan dalam artian sungguh-sungguh menyalahkan paving block, namun sebagai cara pintas menghentikan tangis Aldi kecil.
Sedangkan mama yang kesal melihat makanan yang tumpah, membutuhkan pelampiasan kekesalan, sehingga langsung memarahi si pengasuhnya.
Keduanya menanamkan ke Aldi bahwa pihak lainlah sumber semua masalah yang terjadi.
Apa yang dilihat dan didengar, dicatat Aldi dalam memorinya, dan otomatis keluar menjadi reaksi spontan menyalahkan pihak lain jika ada kejadian yang tidak diinginkan.
2. Mencari Cara Pintas
Otak manusia tidak suka hal yang rumit-rumit, hal yang rumit menguras energi otak, sesuatu yang secara alami paling dihindari oleh manusia.
Cara paling mudah untuk lolos dari sebuah masalah akibat kesalahan, sekaligus melampiaskan emosi dan rasa kesal tentunya adalah menunjuk orang atau pihak lain sebagai penanggung-jawab.
Jadi si pembuat kesalahan tidak perlu repot menganalisis dan mencari penyebabnya. Namun kebiasaan ini jika diteruskan hingga besar, berakibat si pembuat kesalahan menutup kemungkinan dirinya melakukan analisis dan evaluasi terhadap suatu kesalahan dan berujung kepada terulangnya kesalahan-kesalahan berikutnya.
3. Bentuk Pertahanan Diri
Menimpakan kesalahan ke pihak lain, muncul sebagai upaya menyelamatkan diri. Supaya dirinya tidak terlibat kesulitan dan bebas dari masalah dan berbagai akibat buruk dari sebuah kesalahan.
Seorang anak yang selalu dihukum dengan keras saat melakukan kesalahan, akan berupaya menutupinya ataupun menyalahkan pihak lain supaya tidak mendapatkan hukuman.
Jadi di benak anak ini, kesalahan sama dengan hukuman, harus dihindari bagaimanapun caranya.
4. Merasa Paling Hebat dan Pasti Selalu Benar
Orang yang terlalu memandang tinggi dirinya sendiri, terkadang bisa kehilangan obyektivitas.
Pola asuh keluarga dan perlakuan selalu didewa-dewakan dan dipuji, untuk hal baik maupun buruk yang dilakukan, membuat orang mengalami disorientasi dalam menilai dirinya.
Sehingga ia memandang dirinya begitu hebat, tidak mungkin membuat kesalahan. Maka kalau ada hal buruk yang terjadi, pastinya disebabkan oleh pihak lain, siapapun itu, yang pasti bukan dirinya yang hebat ini.
Apa yang Harus Dilakukan untuk Menghilangkan Kebiasaan Anak Menyalahkan Pihak Lain?
1. Ubah Pola Asuh Keluarga
Pengasuh yang mau mendiamkan anak, dan Mama yang jengkel, harus mendudukkan perkara sebagaimana mestinya.
Saat anak jatuh, sampaikan bahwa itu terjadi karena dia terburu-buru saat berlari. Lain kali boleh saja berlari tapi harus lebih berhati-hati.
Begitu juga dengan makanan yang tumpah, jelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena piring yang dia pegang miring, lain kali dia harus memastikan piringnya tidak miring. Ajak anak membantu pengasuhnya membersihkan makanan yang tumpah.
2. Ajarkan Pause, Think and Do
Stop sebentar, berpikir dan bertindak. Jangan dibalik, do (menyalahkan pihak lain), baru think (berpikir memperbaiki keadaan).
Tahan diri untuk bereaksi ketika hal buruk terjadi, ambil waktu untuk berpikir mengapa hal tersebut bisa terjadi, dan ambil langkah untuk menyelesaikannya.
Sesungguhnya akibat suatu kesalahan tidaklah seburuk apa yang kita bayangkan. Minta anak menarik nafas, berpikir secara tenang, baru ambil tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang timbul.
3. Beri Ruang Anak Untuk Melakukan Kesalahan
Sampaikan bahwa kesalahan adalah hal yang wajar, yang penting anak belajar dari kesalahan yang diperbuatnya. Ajak anak menemukan apa yang salah, dan belajar dari kesalahannya.
Berdiam diri dan tidak melakukan sesuatu karena takut salah, lebih buruk ketimbang orang yang mencoba melakukan sesuatu tapi salah.
Ceritakan bahwa kita dulu juga pernah melakukan kesalahan, ceritakan kesalahan yang pernah kita lakukan kepada anak, tentunya pilih kejadian yang ringan sesuai porsi anak.
Anak Bungsu saya tertawa terpingkal-pingkal saat saya ceritakan tentang pengalaman salah panggil suami orang dengan panggilan Daddy beberapa tahun silam. (Baca "Malu Bertanya, Ngawurnya Keterlaluan")
4. Tegur Anak Jika Melanggar Aturan
Jika kesalahan yang dilakukan anak terkait norma, aturan dan kesepakatan yang sudah ditentukan, orang tua harus menegur. Menjelaskan bahwa hal tersebut salah.
Mendiamkan anak yang berbuat salah, apalagi tertawa dan menganggapnya lucu, berakibat anak tidak bisa obyektif dalam menilai perilakunya, dikiranya dirinya selalu benar.
Beberapa waktu lalu saya ke pasar, di pasar yang ramai, ada seekor kucing yang berjalan lambat terpincang-pincang, di belakangnya berjalan seorang Ibu dengan dua anaknya. Salah satu anak menendang kucing tersebut yang langsung lari tunggang langgang.
Tindakan anak ini disambut tawa oleh saudaranya, si ibu melihat dan diam saja. Tentu saja anak jadi tidak tahu bahwa perbuatannya salah.
Kebiasaan menimpakan kesalahan pada pihak lain, sudah pasti berakibat buruk pada pergaulan, karir dan kehidupan sosialnya kelak.
Segeralah perbaiki cara pengasuhan jika kita sudah menemukan gelagat anak mudah menyalahkan pihak lain atas kesalahan yang diperbuatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H