“Dek mau minum panas atau dingin?’, saat anak memilih es teh manis, “Eh.. jangan, Mama baru ingat, kamu semalam bilang sakit perut kan?”
Atau Saat anak memilih, “Mau, baju tidurnya yang ini” sambil menyodorkan warna kuning terang. “Aduhh Dek, itu kuningnya gonjreng amat, yang biru aja ya, lebih cakep.”
Kebiasaan kita mengintervensi membuat anak akhirnya menyerah dan bilang “terserah Mama deh”. Maka kita sebagai orang tua juga perlu berpikir saat menawarkan pilihan.
4. Ajarkan Konsekuensi dari Pilihan
Sangat wajar jika anak kecil memilihnya sesuka hati. Kita yang perlu menjelaskan sejak awal, apa konsekuensi dari alternatif pilihan yang ada.
“Dek, ke Bogornya naik kereta atau dengan mobil ?"
“Kalau naik kereta nanti kita mesti jalan kaki dari stasiun mencari angkot untuk ke Kebun Raya."
"Kalau mobil bisa langsung parkir di Kebun Raya, tapi kita mesti balik lebih awal ke Jakartanya untuk hindari macet di tol”.
Biarkan anak mengajukan pertanyaan kalau masih belum jelas hingga dia benar paham apa konsekuensi dari pilihannya.
Sehingga jika nanti anak harus jalan mencari angkot, ataupun pulang lebih awal, dia sudah siap dan menerima kondisi itu sebagai pilihannya sendiri.
Nah, mudah bukan mengajak anak berlatih membuat pilihan?
Tentunya tidak semua keputusan dalam keluarga perlu diserahkan kepada anak, namun keputusan tertentu dapat kita jadikan ajang berlatih bagi anak, sesuaikan dengan porsi dan kemampuan anak.