Mohon tunggu...
Prajna Delfina Dwayne
Prajna Delfina Dwayne Mohon Tunggu... Penulis - Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan tahun 2022. Saat ini bekerja sebagai Legal Manager and Government Relationship di Rekosistem, perusahaan pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Tujuan publikasi di Kompasiana untuk menggali potensi sebagai penulis, melatih metode penelitian, dan memperdalam kemampuan analisis. "Learn, unlearn, relearn"

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kultur Kerja Gen Z: Tidak Seburuk yang Orang Pikirkan!

14 Juni 2024   23:53 Diperbarui: 16 Juni 2024   18:00 1893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kultur Kerja Gen Z | ILUSTRASI: Freepik/tirachardz via Kompas.com

Apakah anda merupakan seorang Gen Z yang baru seusia jagung dalam menapaki dunia kerja? Ataukah anda merupakan seseorang yang pernah/sednag bekerja di antara para Gen Z? 

Sebagai bagian dari Gen Z, saya cukup banyak mendengar baik secara langsung maupun tidak langsung (lewat sosial media) stigma 'buruk' tentang tenaga kerja Gen Z yang berbeda dari generasi lain. Seperti: "Gen Z dikit-dikit kena mental", "Gen Z gak se-hustler generasi dulu", "nggak becus kerja", dan lain sebagainya. 

Berdasarkan pengalaman saya dan pengamatan saya terhadap sekitar yang kebetulan didominasi oleh Gen Z (teman seangkatan), terdapat beberapa ciri angkatan kerja Gen Z yang sebetulnya tidak seburuk yang orang pikirkan: 

1. Kutu Loncat 

Sebagaimana judul jurnalisme data Harian Kompas, "Meloncat-loncat, Cara Cepat Mencapai Puncak Karier", yang terbit tanggal 21 Mei 2024 justru loyalitas seolah sudah tidak dihargai lagi, melainkan dengan berpindah tempat kerja memiliki peluang yang lebih besar untuk kenaikan gaji. 

Faktanya, Gen Z sebetulnya menyadari bahwa Generasi ini merupakan calon pemimpin masa depan sehingga harus mempersiapkan diri dari sekarang. Apalagi tak sedikit Gen Z yang memiliki minat dan bakat yang kuat dan ingin segera untuk dapat 'menjual'-nya hingga mendapatkan penghasilan tapi juga mempunyai dampak positif (meaningful). 

Tapi pada kenyataannya, tidak sedikit Gen Z yang harus menjadi tulang punggung keluarganya sejak awal meniti karir (Generasi Sandwich). 

Sebaliknya, Generasi Sandwich harus berhadapan dengan jumlah yang tak sedikit para Gen Z yang memiliki prinsip bahwa gaji bukanlah hal yang paling penting dalam berkarir. Tentu saja hal ini cukup menyakitkan namun harus dihadapi. 

2. Generasi Serba Instan 

Pada suatu kesempatan saya mengikuti Leadership Training yang diadakan oleh Kantor. Pambudi Sunarsihanto, seorang Career Coach (dan sebetulnya banyak gelar lainnnya) memaparkan bahwa kita harus mengakui generasi sekarang merupakan generasi serba instan. 

Ia memberikan perumpamaan yang lucu, "kalau dulu saya kira masak mie instant itu sudah cepat, 12 menit dari kita mulai merebus air, telur, hingga memasukkan mie dan menunggu hingga matang. Ternyata generasi anak saya yang seumuran kalian lebih cepat lagi, cukup 2 menit untuk bisa merebus mie instant yang berada dalam cup. Mungkin generasi cucu saya langsung memasukkan mie instant dan air panas sekaligus ke mulut." Semua tertawa. 

Perumpamaan yang diberikan menggambarkan adanya perubahan jaman yang harus diakui dan diterima. Di masa kini, Gen Z mungkin tidak lagi tertarik dengan adanya 'jenjang karir' yang saklek seperti yang masih diterapkan di beberapa instansi negara. 

Bagi Gen Z kalau bisa naik jabatan dengan cepat, disusul dengan kenaikan gaji yang sesuai akan sangat dihargai. Tanpa harus menunggu dan bertahan dalam waktu yang lama di satu perusahaan untuk bisa masuk ke top management level. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa pasti ada saja yang merasa nyaman dengan kepastian dan selalu berada di zona aman. 

Tapi kenyataannya, banyak saya temui generasi seangkatan yang punya ambisi untuk terlibat lebih dalam proses bisnis perusahaan. Bahkan berani untuk menjual karyanya secara bebas tanpa khawatir tidak adanya jaminan kesehatan, tenaga kerja sebagaimana yang didapatkan oleh karyawan perusahaan (freelance). 

Hal ini selaras dengan opini menarik berjudul "Generasi 'Freelance' dan Perubahan Sosial" yang ditulis oleh Tantan Hermansah pada tanggal 21 Juni 2023. Hal ini juga merupakan salah satu dampak dari fenomena digitalisasi. 

3. Work Life Balance 

Bukan hanya bisa "Teng Go" atau kerja masuk jam 9 pulang jam 5 sore langsung tanpa adanya permintaan dari atasan untuk tetap berada di kantor untuk waktu yang agak lebih lama (lembur). 

Tapi generasi muda masa kini membutuhkan tempat mereka mendapatkan penghasilan tetap, mendukung kehidupan kami di luar jam kerja. Seperti menghargai waktu bersama keluarga; berolahraga sebelum atau sesudah bekerja, terlebih jika mendapatkan anggaran olahraga; dimudahkan untuk mengambil cuti (yang penting tidak meninggalkan tugas yang sifatnya penting begitu saja -- artinya semena-mena); dan yang saat ini paling umum ditemui sebagai warisan pandemi ialah fleksibilitas waktu dan tempat bekerja -- Work From Anywhere. 

Apabila hal ini terpenuhi, tenaga kerja pastinya lebih merasa dimanusiakan di tempat kerja. Tidak diperlakukan seperti robot atau mesin yang tidak mendapat kepedulian dan perhatian lebih dari sesama manusia. Dampaknya, tenaga kerja yang merasa lebih santai dalam bekerja, tidak tertekan akan memberikan perlakuan yang positif pula terhadap dirinya sendiri dan sekitarnya. 

Satu lagi ilmu yang saya kutip dari Pak Pambudi, "Tidak ada orang yang expert dalam bisnis hari ini. Semuanya harus siap belajar hal yang baru karena kita sedang menghadapi banyak ketidakpastian. Maka kita harus siap".  Untuk bisa siap, generasi muda menolak segala bentuk anarkisme, melainkan kami ingin menyembuhkan luka dan tidak melukai diri sendiri, luka sekitar, dan dunia ini (seperti lagunya Michael Jackson - Heal The World). 

Kami senang dengan desain kantor start-up yang menyenangkan dengan diadakannya video game dan sarana bermain lainnya; nyaman dengan diadakannya kursi malas hingga standing desk atau meja yang mengakomodasi kebutuhan pekerja sehingga dapat bekerja sambil berdiri; memiliki dapur yang lengkap dengan camilan dan kafein atau minuman ringan; gedung perkantoran hijau; dan lain sebagainya sesuai dengan kreativitas masing-masing perusahaan. 

Sejauh ini saya meyakini lingkungan yang nyaman tampaknya berhasil menjadi motivasi pekerja Gen Z. Karena saya sendiri mengalaminya dan berani memberikan validasi seperti ini. 

Dipercaya untuk mempresentasikan hasil kerja selama satu semester. | Dokumentasi Pribadi
Dipercaya untuk mempresentasikan hasil kerja selama satu semester. | Dokumentasi Pribadi

Saya pribadi menyarankan lebih banyak perusahaan yang mau beradaptasi dan memberikan sedikit kepercayaan kepada Gen Z. Tidak lupa untuk memberikan apresiasi atas pencapaiannya sekecil apapun, membimbing dan memberikan feedback atas kinerja Gen Z secara jelas. 

Saya juga menyarankan kepada Gen Z agar memiliki kemauan untuk terus belajar menambah kemampuan, memperkaya wawasan, dan memperluas koneksi. Meski katanya terlalu sering mengeluarkan kata-kata "demi mental health", it's okay to take a rest, back to your breath, and relax before you start again! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun