Mohon tunggu...
Prajna Delfina Dwayne
Prajna Delfina Dwayne Mohon Tunggu... Penulis - Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan tahun 2022. Saat ini bekerja sebagai Legal Manager and Government Relationship di Rekosistem, perusahaan pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Tujuan publikasi di Kompasiana untuk menggali potensi sebagai penulis, melatih metode penelitian, dan memperdalam kemampuan analisis. "Learn, unlearn, relearn"

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Harapan Hasil Makan The Economist dan Kwetiau Goreng

13 Juni 2024   21:33 Diperbarui: 13 Juni 2024   23:09 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pri: Asupan Rp130.000,00 vs Rp18.000,00 

Hari ini saya menutup hari dengan makan kwetiau goreng buatan Mas Karyo di pinggir jalan Melawai, tepat sebelum jalan pulang ke kediaman. Saya baru mengenal rasa masakan Mas Karyo kurang lebih satu minggu lalu, padahal sudah hampir 2 (dua) tahun saya bekerja di daerah Melawai.

Saya dikenalkan oleh teman kantor saya yang pada waktu itu membeli capcay sehabis olahraga lari. Ternyata enak dan harganya murah. Lewat didepannya saja sudah tercium harum bawang putih yang ditumis.

Dalam seminggu terakhir setidaknya sudah 3 kali saya mencoba makan beberapa variasi masakannya seperti nasi goreng mawut, capcay, dan kali ini kwetiau. Lumayan untuk memberikan variasi makan malam saya. Maklum, anak kos yang malas masak. 

Biasanya saya menghindari untuk memegang handphone atau melakukan sesuatu sambil makan. Saya memilih untuk fokus makan dan menikmati makanan saya. Namun, majalah The Economist yang kebetulan sedang saya tenteng sangat menggoda untuk dibaca. Karena iseng, saya makan sambil membaca halaman yang menurut saya tidak banyak yang perlu dicerna, yaitu "Letters".

Saya cukup kaget ketika membaca salah satu kolom yang ditulis oleh anak berusia 11 tahun asal Edinburgh. Ia menanggapi artikel tentang Taylor Swift yang kurang lebih terbit pada bulan April 2024. Pikiran saya langsung terbang ke masa saat usia saya berusia 11 tahun, sepertinya untuk mencerna koran pun belum sanggup, tertarik saja pun tidak, kecuali hanya membaca kata per kata. 

Apa yang saya baca tadi merupakan tulisan seorang anak 11 tahun yang sudah berani dan bisa mengirimkan opininya mengenai artikel yang berjudul "Has Taylor Swift peaked?" bahkan menentangnya dengan menuliskan "you are wrong to ask ...", sangat mengesankan. Meskipun tulisan ini bisa jadi dibantu oleh orang tuanya, tetap saja saya sangat mengapresiasi orang tua yang sudah mengekspos isu global (salah satunya melalui Majalah The Economist) kepada anaknya sejak dini. 

Kemarin, atasan saya yang merupakan lulusan SMP di Malaysia, SMA di Singapura, dan S1 di Australia, juga cukup kaget melihat saya membawa The Economist ke kantor dengan mengatakan, "lo baca The Economist, Praj? OMG dulu gue juga baca ini pas gue masih 15 tahun.

Di jaman itu kan media sosial belum sekenceng sekarang, jadi kalau mau tau isu global masih harus beli ginian". Saya hanya menjawab, "karena gue baru mampu baca (karena sebelumnya masih kurang menguasai Bahasa Inggris) dan mampu beli baru-baru ini, Kak". Sehingga, ketika saya membaca tulisan sang anak perempuan tadi, langsung terbesit di pikiran saya bisa jadi hal ini memang hal yang 'biasa' di luar negeri. 

Terlebih di era digital ini, sudah sangat jarang (bahkan belum pernah) saya melihat secara langsung maupun di media sosial mengenai anak sekolah dasar yang membaca majalah. Kalaupun ada, biasanya langsung 'didewa-dewakan'. Padahal seharusnya membaca majalah, koran, buku merupakan hal yang 'biasa' dan wajib dilakukan untuk memperkaya wawasan dan pada akhirnya melahirkan penulis baru.

Meskipun hanya bisa menulis email ataupun surat cinta, semuanya membutuhkan struktur bahasa yang perlu diasah dimulai dari kebiasaan membaca. 

Saya setuju dengan opini Bapak Andreas Adhy Aryanto yang pada bulan Mei lalu menuliskan surat pembaca yang berjudul "Semarakkan Kembali Toko Buku" yang intinya menyuarakan tentang toko buku yang perlu dihidupkan lagi.

Bapak Andreas mengungkapkan kemirisannya atas toko buku yang semakin sedikit, puncaknya ketika toko buku ternama yang tutup untuk selama-lamanya. 

Waktu saya kecil hingga remaja, dengan mudah saya menghampiri toko buku dan majalah di pasar. Buku bukan barang elit. Melainkan barang yang dapat dengan mudah dijangkau oleh siapapun dari berbagai kalangan dengan harga yang beragam pula. Kondisi hari ini memang banyak ditemukan event atau bazar buku tapi banyak ditemui dengan harga yang tidak murah.

Bahkan untuk saya yang sudah bekerja. Untungnya, saya masih dikelilingi oleh teman-teman yang juga senang membaca dan genre bacaannya mirip. Untuk bisa membaca tidak perlu selalu beli (untuk dimiliki), hanya cukup pinjam dan tidak lupa dikembalikan dalam keadaan baik. 

Bahkan kantor saya cukup mendukung dengan memperkenankan sebagian ruang lemarinya untuk diisi dengan buku-buku yang dapat dibaca dan dipinjam oleh siapapun dengan menuliskan nama peminjam, judul buku, tanggal pinjam, dan tanggal pengembalian untuk bisa dimonitor rekam jejaknya. Saya rasa perpustakaan mini seperti ini sangat mudah diadakan. Hanya saja apakah ada kemauan untuk memulainya? 

Saya pribadi sudah memulai untuk memberikan minimal satu buku per bulan ke Perpustakaan SMA, tempat dimana saya dulu bersekolah dan dikenalkan dengan buku-buku sastra. Terdengar sedikit bukan?

Karena hanya dihitung dari saya seorang. Tapi coba bayangkan kalau masing-masing pembaca melakukan hal yang serupa. Menyumbangkan buku lebih banyak akan lebih baik. Tapi setidaknya mulai dari kemampuan masing-masing dan dilakukan secara konsisten. 

Saya berharap anak-anak yang bersekolah secara merata dapat memiliki akses yang sama atas buku, koran, dan majalah atau sumber bacaan apapun dengan mudah dan murah (accessible for everyone).

Di sisi lain saya juga berharap perpustakaan sekolah dapat dibuka lebih dini (sebelum jam murid masuk sekolah) dan tutup lebih akhir. Sehingga lebih banyak waktu yang dapat dihabiskan oleh murid sekolah di dalam perpustakaan. Bukan hanya di jam istirahat yang hanya berjangka kurang lebih 15 menit x 2. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun