Mohon tunggu...
Praditya Mer Hananto
Praditya Mer Hananto Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Pengamat Kriminogenik Urban dengan latar belakang Arsitek Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kriminologi Universitas Indonesia dan Damai Resolusi Konflik Universitas Pertahanan. Pengamatannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Robocop dalam Memahami Filosofi Penghukuman

18 September 2024   15:54 Diperbarui: 19 September 2024   12:01 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: AI Generated

Robocop adalah karakter ikonik dari film fiksi ilmiah yang diperkenalkan pada tahun 1987. Diciptakan sebagai perpaduan antara manusia dan mesin, Robocop adalah Alex Murphy, seorang polisi yang terluka parah dan dihidupkan kembali sebagai cyborg penegak hukum berkat teknologi canggih. 

Dengan armor baja dan kekuatan mekanik yang menakutkan, Robocop menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum dan melawan kejahatan di kota Detroit yang tengah dilanda kerusuhan. 

Namun, di balik peranannya yang tegas dan tanpa kompromi, Robocop menghadapi perjuangan batin yang mendalam antara sisa-sisa kemanusiaan dalam dirinya dan kewajiban mekanis yang harus dilaksanakan.

Penghukuman, pada prinsipnya adalah memberikan sesuatu yang bersifat negatif ataupun bersifat tidak menyenangkan kepada manusia, hewan, organisasi ataupun entitas dalam menanggapi perilaku yang tidak disetujui oleh sebuah individu, kelompok, maupun entitas. 

Hukuman itu sendiri dilakukan oleh pihak yang berwenang, atau diwenangkan, oleh lingkungan tempat ia berada. Hal inilah yang membedakan antara “hukuman” dengan “pembalasan” (Kleinig, 2010). 

Pihak berwenang yang dimaksud bisa seperti hukum adat dimana tetua suatu suku dapat menjatuhkan hukuman, peraturan seperti ketua kelompok yang mempunyai wewenang dalam menghukum anggotanya, maupun penghukuman legal melalui undang-undang dan penegaknya (Alexander, 1922). 

Penghukuman pada dasarnya dilakukan dengan alasan bahwa tujuan sebuah kelompok tidak akan dapat dicapai, selama ada bagian dari kelompok itu melanggar aturan yang ada. Karenanya hukuman diperlukan untuk menyeimbangkan keadaan, sebab akan tidak adil bagi korban maupun mereka yang tidak melanggar, jika disaat terjadi pelanggaran tidak ada ganjaran apapun bagi pelakunya (Ezorsky, 1973)

Jadi, inti dari penghukuman pada dasarnya sangatlah sederhana, yaitu memberikan sanksi terhadap mereka yang melanggar peraturan. Sebab akan menjadi tidak adil terhadap yang taat peraturan jika yang melanggar tidak ada sanksi. 

Dalam filosofi hukum, terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dalam penghukuman: retributif (balas dendam), inkapasipasi (menghalangi pelaku agar tak mengulangi kejahatannya), penggentarjeraan (menakuti calon pelaku), dan reintegrasi (mengembalikan pelaku ke masyarakat). 

Retributif adalah konsep penghukuman paling awal yang berasal dari era Hammurabi: Code of Hammurabi yang ada sejak 1772 SM. Kode itu sendiri terdiri dari 282 undang-undang, dengan tingkat hukumannya masing-masing, dengan filosofi “mata untuk mata, gigi untuk gigi”.  

Maksud dari penghukuman ini adalah bahwa pelaku memperoleh kerugian yang sama dengan korban. Maka jika pelaku membuat korban kehilangan tangannya, pelaku juga dihukum dengan dihilangkan tangannya.

Inkapasipasi adalah membuat pelaku tidak lagi bisa mengulangi perbuatannya. Misal dalam agama selalu ada contoh bahwa pelaku pencurian akan dihukum dengan dipotong tangannya, sebab diasumsikan pencurian dilakukan menggunakan tangan. 

Di dalam era yang lebih modern, maka tangan diganti dengan dicabutnya ijin usaha bagi pelaku perusakan lingkungan agar tidak bisa lagi ikut tender. Atau dicabut hak politik seorang koruptor supaya tidak bisa lagi berpolitik.

Penggentarjeraan, adalah membuat calon pelaku gentar / takut untuk melakukan kejahatan. Inilah sebabnya hukuman terhadap pelaku kejahatan dilakukan di depan publik, dan sekejam mungkin, sebagai bentuk ancaman terhadap calon pelaku. Artinya, jika pelaksanaan hukuman yang kejam tidak dilakukan akan membuat calon pelaku tidak berpikir untuk melakukan kejahatan yang sama. 

Terakhir adalah reintegrasi (ke masyarakat). Filosofinya menganggap pelaku kejahatan sebagai “pasien”, seseorang yang sedang “sakit” sehingga harus “dirawat agar sehat” dan kembali ke masyarakat. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu dasar penamaan “penjara” diubah menjadi “lembaga pemasyarakatan” (correctional facility). 

Bentuk perawatannya bisa mulai dari segi agama maupun segi disiplin. Selain itu ada kalanya juga berdasarkan medis, misal bagaimana pelaku pemerkosa dikebiri dengan cara disuntikkan bahan kimiawi antiandrogen untuk memperlemah hormon testoteron. 

Sebenarnya ada filosofi kelima yaitu restoratif justice (RJ). Berbeda dengan empat filosofi lain yang fokusnya ke pelaku, filosofi terakhir ini lebih fokus mengembalikan kondisi korban mendekati semula setelah menjadi korban kejahatan. 

Artinya jika dalam filosofi retributif pelaku yang dipotong tangannya, maka dalam RJ ini korban dipulihkan tangannya. Atau dalam kasus Alex Murphy, dijadikan Robocop.

Tentunya tiap filosofi memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam memberikan hukuman. Sehingga diperlukan seorang manusia (atau sebuah cyborg?) yang benar-benar ahli dalam memutuskan hukuman apa yang seharusnya diberikan.

Referensi

Alexander, J. P. (1922). Philosophy of Punishment. The Journal of Law and Criminology, 13(22).

Ezorsky, G. (Ed.). (1973). Philosophical Perspectives on Punishment. State University of New York Press.

Kleinig, J. (2010, June 21). R. S. Peters on punishment. British Journal of Educational Studies, 259-259. https://doi.org/10.1080/00071005.1972.9973352

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun