Maksud dari penghukuman ini adalah bahwa pelaku memperoleh kerugian yang sama dengan korban. Maka jika pelaku membuat korban kehilangan tangannya, pelaku juga dihukum dengan dihilangkan tangannya.
Inkapasipasi adalah membuat pelaku tidak lagi bisa mengulangi perbuatannya. Misal dalam agama selalu ada contoh bahwa pelaku pencurian akan dihukum dengan dipotong tangannya, sebab diasumsikan pencurian dilakukan menggunakan tangan.
Di dalam era yang lebih modern, maka tangan diganti dengan dicabutnya ijin usaha bagi pelaku perusakan lingkungan agar tidak bisa lagi ikut tender. Atau dicabut hak politik seorang koruptor supaya tidak bisa lagi berpolitik.
Penggentarjeraan, adalah membuat calon pelaku gentar / takut untuk melakukan kejahatan. Inilah sebabnya hukuman terhadap pelaku kejahatan dilakukan di depan publik, dan sekejam mungkin, sebagai bentuk ancaman terhadap calon pelaku. Artinya, jika pelaksanaan hukuman yang kejam tidak dilakukan akan membuat calon pelaku tidak berpikir untuk melakukan kejahatan yang sama.
Terakhir adalah reintegrasi (ke masyarakat). Filosofinya menganggap pelaku kejahatan sebagai “pasien”, seseorang yang sedang “sakit” sehingga harus “dirawat agar sehat” dan kembali ke masyarakat. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu dasar penamaan “penjara” diubah menjadi “lembaga pemasyarakatan” (correctional facility).
Bentuk perawatannya bisa mulai dari segi agama maupun segi disiplin. Selain itu ada kalanya juga berdasarkan medis, misal bagaimana pelaku pemerkosa dikebiri dengan cara disuntikkan bahan kimiawi antiandrogen untuk memperlemah hormon testoteron.
Sebenarnya ada filosofi kelima yaitu restoratif justice (RJ). Berbeda dengan empat filosofi lain yang fokusnya ke pelaku, filosofi terakhir ini lebih fokus mengembalikan kondisi korban mendekati semula setelah menjadi korban kejahatan.
Artinya jika dalam filosofi retributif pelaku yang dipotong tangannya, maka dalam RJ ini korban dipulihkan tangannya. Atau dalam kasus Alex Murphy, dijadikan Robocop.
Tentunya tiap filosofi memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam memberikan hukuman. Sehingga diperlukan seorang manusia (atau sebuah cyborg?) yang benar-benar ahli dalam memutuskan hukuman apa yang seharusnya diberikan.
Referensi
Alexander, J. P. (1922). Philosophy of Punishment. The Journal of Law and Criminology, 13(22).