Mohon tunggu...
Pradita Maharani Putri
Pradita Maharani Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis

https://praditasaja.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secuil Pelajaran dari Sudut Rumah Sakit

12 Januari 2019   15:56 Diperbarui: 12 Januari 2019   16:00 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oktober 2018,

Suatu hari di sebuah Rumah Sakit swasta, Jakarta Timur. Berbaris rapi diantara rombongan pasien penanti nomor urut untuk dapat membuat perjanjian dengan dokter spesialis yang dituju. Sekilas, satu per satu para pasien dengan menyapu pandangan di ruangan yang cukup luas itu. Menarik. Beberapa diantaranya membuatku ingin terus memperhatikan. Waktu tunggu yang dari jam 7 pagi hingga 4 sore membuat para pasien tak jengah diperhatikan, bahkan justru jadi banyak berbincang. Pun aku yang datang menemani budheku.

~Diantara hiruk pikuk antrian yang diserobot pasien yang baru datang, seorang kakek berkaus garis-garis datang dengan cucu cantiknya. Sang kakek melepas kedua sandalnya untuk tempat duduk cucunya yang tak dapat kursi di ruangan itu. Lesehan. Mereka duduk di balik banner yang menawarkan jasa antar obat, tempat dimana tak ada yang meminta untuk pindah buru-buru.

Dengan dua buah es krim yang harganya tak sampai sepuluh ribu per biji, mereka menikmati dan saling menyuapi. Saling bercerita, sesekali tertawa. Keduanya tergelak, lucu. Kebahagiaan yang tak bisa dibohongi, ia terpancar dari dua pasang mata beda generasi tersebut. Sang cucu seolah lupa kakeknya sedang sakit. Pun sang kakek yang tampaknya lupa ia datang untuk memperbaiki kesehatannya. Yang ada hanya kebahagiaan yang sederhana. Ya, betul. Kakek dan cucu itu tau betul dari mana dan seperti apa bentuk sederhana yang membuat mereka bahagia.

~ Pria paruh baya berperut besar dan berkepala bulat datang dengan anak lelakinya yang berperawakan sama, versi mini me-nya. Antrian yang baru bisa didapatkan nomornya di jam 3 sore, memaksa pengguna BPJS harus menunggu sejak jam 9 pagi. Banyak pasien yang menunggu dengan cara: tidur, menggunakan ponsel, dan berbincang tentunya.

Ada yang datang sendiri, ada juga yang ditemani. Seperti pria berperut besar tadi. Ia menyuruh anaknya mengantri untuknya, sementara ia duduk terkantuk di ruang sebelahnya yang ber-AC. Ketika naluri anak-anaknya datang dan membaca semua tulisan di dinding, meja, dan pintu rumah sakit, ayahnya membentak. Tak peduli orang banyak. Tak peduli banyak mata yang menegur. Bahkan sang ayah tak segan memanggil anaknya tolol. Saat itu aku berpikir: ah, mungkin seseorang yang sedang sakit jadi pelupa, bahwa bocah yang dipanggilnya tolol itu adalah anaknya. Dia lupa, mungkin ayah si bocah tolol itu bisa jadi lebih tolol daripadanya. Bukankah buah jatuh tak jauh dari pohonnya?

~ Pria tua berkaus biru pudar polos yang baru datang jam satu siang kelihatan cukup kaget dengan antrian yang mulai memenuhi lebih dari setengah ruangan. Ia dan tongkatnya berdiri tegak di depan pengantri yang sudah duduk di tempat yang telah disediakan. Dengan suara lantangnya yang mulai serak, ia mengungkap bahwa pengguna BPJS tidak lagi untuk orang yang kurang mampu. Tapi justru unutk mereka yang datang dengan roda empat. 

Menurutnya, itulah yang membuat negara (BPJS) kesulitan keuangan saat ini, termasuk mereka yang mencaci negara dan perangkatnya pun tak mau melewatkan 'menuju sehat gratis'. Menurutnya itu aneh. Setelah tak ada yang menyahuti pendapatnya, ia berjalan tertatih ke kursi terdekat. Sambil berkata: 'kalau saja saya punya uang banyak, saya gak mau antri pake BPJS. Kasian negara, direpotin'.  Betul pak. Tapi penyakit manusia yang tak pernah cukup selalu lebih mudah kambuh daripada mengingat janjinya terhadap diri sendiri. Apalagi menepati. Sehat-sehat ya, pak.

~ Duduk di sebelahku seorang ibu paruh baya, berkerudung, yang berjalan dengan kaki kanannya diseret. Ia hafal semua peraturan dan prosedur di Rumah Sakit itu. Bahkan ia hafal jadwal satpam jaganya. 'Kemaren saya kesini, mas ini juga yang jaga. Lembur ya mas?', tanyanya, sambil menyeret kakinya menuju kursi terdepan. Semua disapanya. Yang sudah ia kenal maupun pendatang baru sepertiku dan budhe. Banyak hal yang diceritakannya. Masa sehatnya, jayanya, dan kesohorannya di daerah Rumah Sakit itu. Jam terbangnya di rumah sakit itu cukup tinggi. Ia menceritakan dengan data tentang siapa saja dokter spesialis yang ada di sana, termasuk yang masih ada maupun yang sudah dimutasi atau sudah berpulang ke hadapan Yang Kuasa.

Sebagian pasien yang memang sudah jengah dengan penyakitnya sendiri, menganggap 'ibu gaul' itu hanya menambah kebisingan di ruang yang kadang kebagian semriwing AC dari ruangan sebelah, dan lebih sering tidak. Sebagian lainnya menanggapi apa saja yang dicelotehkan ibu gaul. Tak sedikit yang berguru untuk mengetahui penerapan dan pelaksanaan sistem baru -- tepatnya sejak awal Oktober -- bagi pengguna BPJS. Walau kedengarannya berisik dan menganggu, namun aku tertegun setelah mendengar kalimat di ujung cerita-cerita panjangnya, dengan logat Sumateranya 'Maaf ya bu, pak, kalo saya cerewet. Saya cuma pengen kasi tau orang-orang yang sama-sama sakit. Biar gak repot kayak saya kemarin, harus bolak-balik. Biar gak habis waktunya untuk ngantri terlalu cepat, biar bisa istirahat dulu'. Memang untuk mengantri dapat nomor kecil, harus antri lebih dulu dan sebisanya jangan ditinggal. Demi mendapat nomor kecil yang baru dibuka di jam 3 sore, pasien sudah memenuhi ruangan sejak jam 9 pagi. Sekitar 5-6 jam.

Terimakasih untuk maksud baikmu, ibu gaul, yang juga sama-sama sedang sakit.

~ Tempat duduk yang disediakan untuk mengantri memang tidak bagus, tapi cukup untuk membuat kami-kami ini terduduk rapi, meskipun kadang diserobot dan bertukar tempat agar lebih nyaman. Entah orang yang keberapa, di belakangku duduk seorang nenek yang membawa map plastic berisi dokumen yang sesuai dengan aturan bpjs. Kakinya ditopang sepasang kruk yang membantunya bergerak kemanapun. Ia duduk di ujung bangku panjang, agar bisa bersandar ke tembok. Tak lama, ponselnya berdering. Dari pembicaraannya, keponakan perempuannya yang menelepon. Bicara tentang bagaimana mendiang mamanya muncul di mimpinya beberapa kali, isak tangis terdengar cukup jelas dari si penelepon. Apalagi saat itu ruangan cukup sepi, dan beberapa orang menoleh ke arah nenek ber-kruk itu. Sayup terdengar ia berkata pada keponakannya: 'Berarti mama itu minta didoain, Ta. Dia rindu doamu. Sekarang nangislah, tapi habis ini kamu harus doakan mamamu. Dulu pas dia hidup kamu sibuk, jangan sampai untuk doa sekarang pun kamu sibuk. Tante minta, doakanlah mama'.

Deg. Aku tersentak dan menghentikan kegiatan membacaku seketika. Aku menguping. Tak sopan memang. Tapi melihat kondisinya dan masih bisa menasehati keponakannya. Dengan bijaksana. Tepatnya, dengan sangat bijaksana. Ia pendengar yang baik. Tak sedikitpun ia menyinggung dirinya yang sedang sakit, bahkan sekedar mendoakannya sembuh. Padahal ia sempat menjawab bahwa dirinya sedang ada di Rumah Sakit. Entah sang keponakan yang tak peka, atau tante yang tak mau menjual penderitaannya. Yang jelas, jiwa sang tante hebat. Mengantri, dicurhati, panas-panasan, berjubel dengan orang sakit lainnya, tapi sarannya tetap objektif & realistis. Seketika aku berpikir 'sudahkah aku mengabari orangtuaku hari ini? sudahkah aku menanyakan kabar mereka hari ini? karena aku tak ingin terlambat seperti keponakan 'yang itu'.

~ Sosok lain yang menjadi perhatianku adalah nenek berbadan mungil (tidak tinggi dan cenderung kurus), beretnis Tionghoa, berambut pendek berbando tipis yang kedua lututnya dibalut kaus yang khusus bagi penderita pengapuran tulang. Cara berjalannya tidak biasa, karena pengapuran membuat kedua kakinya mebentuk huruf 'o'. Tapi siapa peduli, toh semua orang di tempat itu sedang sakit. Ketika ia memasuki ruangan dan menunggu, matanya menyapu seluruh ruangan. Tak ada bangku kosong tersisa. Ia datang di waktu yang hampir bersamaan denganku sehingga duduk mengantri di sebelahku. Kami berbincang cukup banyak. Dengan batasan wajar, tentunya: seputar sakit, obat, prosedur & proses BPJS, yang kebanyakan mengeluh, bukan berterimakasih.

Ditengah obrolan dan antrian kami, ada pasien ibu-ibu paruh baya lain yang baru datang. Ibu yang baru datang itu tadinya datang lebih dulu daripada kami. Hanya saja, usia yang membuatnya tak bisa berdiri terlalu lama dan rumah yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit, membuatnya memutuskan: sebaiknya saya beristirahat di rumah saja. sehingga ketika ia datang lagi ke rumah sakit, sudah dalam keadaan wangi dan bersih. Oiya, ibu yang sudah segar ini juga beretnis Tionghoa dengan dandanan khas: legging bercorak, blus merah menyala, dan alis yang digambar cukup menjulang. Nenek di sebelahku nyeletuk: 'tuh liat, si Cina udah mandi, udah seger. Ya ampun, Cina banget ya dia?'. Dahiku berkerut, dan menoleh padanya. Aneh bagiku mendengar seseorang menyebut orang lain dengan julukan ke arah SARA. Lucunya, sang nenek juga memiliki garis keturunan yang sama dengan yang ia juluki.

Ternyata betul kata pepatah: Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Memang, selalu lebih mudah melihat kekurangan orang lain daripada kelebihannya. Mari kita belajar untuk tidak memelihara pola pikir itu. Yuk Nek, kita belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun