Mohon tunggu...
Pradita Maharani Putri
Pradita Maharani Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis

https://praditasaja.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secuil Pelajaran dari Sudut Rumah Sakit

12 Januari 2019   15:56 Diperbarui: 12 Januari 2019   16:00 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

~ Tempat duduk yang disediakan untuk mengantri memang tidak bagus, tapi cukup untuk membuat kami-kami ini terduduk rapi, meskipun kadang diserobot dan bertukar tempat agar lebih nyaman. Entah orang yang keberapa, di belakangku duduk seorang nenek yang membawa map plastic berisi dokumen yang sesuai dengan aturan bpjs. Kakinya ditopang sepasang kruk yang membantunya bergerak kemanapun. Ia duduk di ujung bangku panjang, agar bisa bersandar ke tembok. Tak lama, ponselnya berdering. Dari pembicaraannya, keponakan perempuannya yang menelepon. Bicara tentang bagaimana mendiang mamanya muncul di mimpinya beberapa kali, isak tangis terdengar cukup jelas dari si penelepon. Apalagi saat itu ruangan cukup sepi, dan beberapa orang menoleh ke arah nenek ber-kruk itu. Sayup terdengar ia berkata pada keponakannya: 'Berarti mama itu minta didoain, Ta. Dia rindu doamu. Sekarang nangislah, tapi habis ini kamu harus doakan mamamu. Dulu pas dia hidup kamu sibuk, jangan sampai untuk doa sekarang pun kamu sibuk. Tante minta, doakanlah mama'.

Deg. Aku tersentak dan menghentikan kegiatan membacaku seketika. Aku menguping. Tak sopan memang. Tapi melihat kondisinya dan masih bisa menasehati keponakannya. Dengan bijaksana. Tepatnya, dengan sangat bijaksana. Ia pendengar yang baik. Tak sedikitpun ia menyinggung dirinya yang sedang sakit, bahkan sekedar mendoakannya sembuh. Padahal ia sempat menjawab bahwa dirinya sedang ada di Rumah Sakit. Entah sang keponakan yang tak peka, atau tante yang tak mau menjual penderitaannya. Yang jelas, jiwa sang tante hebat. Mengantri, dicurhati, panas-panasan, berjubel dengan orang sakit lainnya, tapi sarannya tetap objektif & realistis. Seketika aku berpikir 'sudahkah aku mengabari orangtuaku hari ini? sudahkah aku menanyakan kabar mereka hari ini? karena aku tak ingin terlambat seperti keponakan 'yang itu'.

~ Sosok lain yang menjadi perhatianku adalah nenek berbadan mungil (tidak tinggi dan cenderung kurus), beretnis Tionghoa, berambut pendek berbando tipis yang kedua lututnya dibalut kaus yang khusus bagi penderita pengapuran tulang. Cara berjalannya tidak biasa, karena pengapuran membuat kedua kakinya mebentuk huruf 'o'. Tapi siapa peduli, toh semua orang di tempat itu sedang sakit. Ketika ia memasuki ruangan dan menunggu, matanya menyapu seluruh ruangan. Tak ada bangku kosong tersisa. Ia datang di waktu yang hampir bersamaan denganku sehingga duduk mengantri di sebelahku. Kami berbincang cukup banyak. Dengan batasan wajar, tentunya: seputar sakit, obat, prosedur & proses BPJS, yang kebanyakan mengeluh, bukan berterimakasih.

Ditengah obrolan dan antrian kami, ada pasien ibu-ibu paruh baya lain yang baru datang. Ibu yang baru datang itu tadinya datang lebih dulu daripada kami. Hanya saja, usia yang membuatnya tak bisa berdiri terlalu lama dan rumah yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit, membuatnya memutuskan: sebaiknya saya beristirahat di rumah saja. sehingga ketika ia datang lagi ke rumah sakit, sudah dalam keadaan wangi dan bersih. Oiya, ibu yang sudah segar ini juga beretnis Tionghoa dengan dandanan khas: legging bercorak, blus merah menyala, dan alis yang digambar cukup menjulang. Nenek di sebelahku nyeletuk: 'tuh liat, si Cina udah mandi, udah seger. Ya ampun, Cina banget ya dia?'. Dahiku berkerut, dan menoleh padanya. Aneh bagiku mendengar seseorang menyebut orang lain dengan julukan ke arah SARA. Lucunya, sang nenek juga memiliki garis keturunan yang sama dengan yang ia juluki.

Ternyata betul kata pepatah: Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Memang, selalu lebih mudah melihat kekurangan orang lain daripada kelebihannya. Mari kita belajar untuk tidak memelihara pola pikir itu. Yuk Nek, kita belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun