Mohon tunggu...
Pradita Maharani Putri
Pradita Maharani Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis

https://praditasaja.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lift Bertanda Silang Merah

11 Januari 2019   13:21 Diperbarui: 11 Januari 2019   13:35 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Permisi, mbak mau menggunakan lift ini?" ia hanya tersenyum, tidak menjawab. Saat itu, aku baru jelas melihat wajahnya. Cantik, hidung mancung lancip dengan bibir tipis. Hanya sayang, wajahnya begitu pucat. 'sayang sekali, cantik-cantik dandannya kurang pas sama gaya sekarang', batinku berpendapat. Sekilas, aku sempat melihat jas atau blazer yang disangkutkan di sikut kirinya. Ada lambang rumah sakit ini di salah satu bagian jas itu. Oh, berarti wanita ini adalah salah satu pegawai di sini. Tapi, mengapa dia berada di tempat ini? Padahal seharusnya ia tahu akan hal ini.

"Maaf, mbak. Sejak kemari saya disini, lift ini memang tidak digunakan. Kalau mbak mau, lift disebelahnya bisa digunakan." Lagi-lagi, ia hanya tersenyum tanpa jawaban. Baiklah, mungkin aku sebaiknya pulang. Baru beberapa langkah, aku dipanggil oleh suster, yang mengganti botol infus Rosi tadi sore.

"Mbak tadi bicara sama siapa?" tanyanya segera. Aku menjawab secara rinci. Termasuk ciri-cirinya. Ia beberapa kali menelan ludah saat aku bercerita. Seperti menahan rasa takut. Saat kutanya siapa wanita itu, apakah perawat Dina, namanya, mengenalnya, ia hanya menjawab,

"Ini sudah malam, besok saja saya cerita di kamar pasien Rosi di kamar 610." Dan, aku pulang. Dengan sedikit harapan bahwa esok rasa penasaranku akan terjawab.

Akhir pekan tiba. Bertepatan dengan hari setelah pertemuanku dengan wanita di depan lift bertanda silang. Aku memutuskan menginap untuk menemani Rosi di rumah sakit setelah mendapatkan izin dari kedua orangtuaku. Sekaligus memberi waktu pada orangtua Rosi untuk beristirahat. Waktu yang tepat untuk melanjutkan pembicaraan dengan suster Dina.

Dan saat suster Dina mengganti botol infus Rosi tiba, aku buru-buru menodongnya dengan pertanyaan yang sama seperti kemarin. Setelah menarik nafas, ia memulai ceritanya.

Sekitar tiga dekade yang lalu, ada seorang suster sekaligus asisten dokter yang baik hati dan cantik. Kecantikan yang disebutkan oleh suster Dina sama persis dengan sosok yang kujumpai tadi malam. Yang juga membuatku menahan nafas sebentar, untuk meredam kekagetanku. Setiap malam, suster itu, yang ternyata bernama Ningrum, selalu menyemangati para pasien dengan datang ke kamar-kamar di seluruh rumah sakit sembari mengucapkan,

"Selamat tidur, semoga lekas sembuh." Dan diikuti oleh suara sepatunya yang menjauh. Tok,,tok,,tok,,

Kamar rumah sakit yang saat itu masih berjumlah 200 kamar, tentu menghabiskan waktunya, karena ia berkeliling setelah jam besuk berakhir. Yang berarti, ia memulai patroli pribadinya itu setelah jam sembilan malam. Terkadang, ia pulang pada pukul sebelas malam. Hampir semua pegawai di rumah sakit menyukainya dan mendukung apa yang dilakukannya itu. Kecuali satu orang, dokter yang diasisteninya. Dokter yang masih lajang itu menaruh hati sejak lama, berkali-kali mencoba mempersuntingnya dan dijawab dengan pernikahan suster Ningrum dengan tunangannya dalam waktu dekat. Akibat sakit hatinya itu, sang dokter menjadi gelap mata dan mencoba membunuhnya dengan caranya. Sebelum membunuh, dokter tersebut sempat menuliskan keinginan dan alasannya pada sebuah kertas yang ditemukan di laci meja kerjanya pada saat kasus ini diselidiki. Disitu tertulis, "Akan lebih baik jika tidak ada yang bisa memilikimu, Ningrum."

Di suatu malam, setelah suster Ningrum menyelesaikan patrolinya, ia kembali ke ruangan kerjanya yang juga ruangan kerja sang dokter. Tapi tiba-tiba, sang dokter membekapnya dari belakang dan mencoba membiusnya, namun gagal karena gigitan suster Ningrum lebih kuat. Ia lari sekencang-kencangnya menuju lift untuk melarikan diri. Rumah sakit sudah sepi, satu-satunya kehidupan ada di lantai 1. Ia bergegas menuju lantai 1. Tapi dokter bisa menyusulnya. Sebelum mencapai lift, sang dokter mendapatkan dan memperkosanya, sebelum akhirnya membunuh suster Ningrum. Dan mayat suster dibiarkannya turun melalui lift. Tidak ada yang mengetahuinya hingga pagi datang. Saat ditemukan, terdapat darah yang menggenang di sepatu berhaknya yang berasal dari kakinya. Dan hingga kini, knon katanya arwah suster Ningrum masih ada di sekitar rumah sakit dan sering menampakkan dirinya. Terkadang dengan suara lembutnya yang menggema yang mengucapkan, "Selamat tidur, semoga lekas sembuh." Pada kamar-kamar pasien yang diiringi suara hak sepatunya yang terdengar menjauh, tok...tok...tok.... Atau yang melihatnya secara langsung, akan terlihat genangan darah yang berasal dari sepatunya yang mengeluarkan darah.

Ia sering terlihat menunggu di depan pintu lift lantai dasar yang bertanda silang merah dan menanti seseorang membuka pintu lift tersebut untuk menolongnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun