Mohon tunggu...
Pradita Maharani Putri
Pradita Maharani Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis

https://praditasaja.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lift Bertanda Silang Merah

11 Januari 2019   13:21 Diperbarui: 11 Januari 2019   13:35 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bergegas memasuki rumah sakit umum pusat setelah mendengar kabar bahwa sahabatku, Rosi, harus dirawat di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Memang, belakangan ini, Rosi merasa kurang enak badan, tapi aku tidak menduga bahwa itu adalah salah gejala demam berdarah. Saking terburu-burunya, aku sampai lupa menanyakan kamar tempatnya dirawat. Aku berdecak kesal saat baru teringat akan hal itu ketika telah mencapai mulut tangga dan memaksaku untuk berbalik menuju meja resepsionis di dekat pintu masuk untuk  menanyakannya.

"Rosiana Indrawan, kamar 610, lantai enam." Jawab petugas jaga. Aku menelan ludah sesaat setelah tersenyum dan mengucapkan terimakasih kepadanya. Bersyukur rasa sok tahuku terkalahkan dengan kesadaran untuk bertanya terlebih dulu. Jika tidak, menaiki tangga hingga lantai enam bisa membuatku bersebelahan kamar dengan Rosi saat ini. Aku melangkah menuju lift dan memencet tombol dengan angka 6 setelah berada di dalamnya. Ketika akan memasuki lift, aku merasa keningku berkerut saat melihat lift yang tertutup rapat dan berada tepat di samping lift yang aku gunakan. Pintu lift itu diberi tanda silang yang besar dengan cat berwarna merah. Entah untuk alasan apa.

Aku telah sampai di depan pintu kamar Rosi. Aku masuk dan menemui Rosi yang masih terkulai pucat dengan infus di tangan kirinya. Aku berbincang banyak dengan Rosi. Sementara ayah dan ibunya berada di balkon untuk berbincang dan sesekali menerima telepon yang kelihatannya  penting. Rasa penasaranku tentang lift yang bertanda silang pun tidak luput dari pembicaraan kami. Ia menggeleng.

"Aku enggak denger apa-apa tuh, Sonia." Jawabnya singkat. Aku mengangguk-angguk ringan. Jawaban itu sama sekali belum menjawab rasa penasaranku. Justru semakin bertambah.

Aku berada di rumah sakit hingga jam besuk selesai. Bahkan aku menemani Rosi beristirahat dengan tertidur di extra bed. Jam sembilan lebih lima belas menit aku sudah berada di halaman parkir mencari motorku. Ketika sudah menemukannya, aku menepuk dahiku, helmku tertinggal di kamar Rosi! Mau tak mau, aku harus kembali atau menjadi sasaran empuk polisi lalu lintas. Setelah meminta izin, aku menggunakan lift menuju kamar Rosi. Sendirian. Saat melewati lift bertanda silang, aku mendengar suara,

"Selamat tidur, semoga lekas sembuh."

Aku berpikir kalimat itu adalah ucapan normal di sebuah rumah sakit, karena mungkin saja itu adalah peraturan yang mengharuskan para susternya memberi semangat kepada para pasien sebelum jam tidur. Sehingga psikologis pasien terbentuk dengan baik. Setelah mendapatkan helmku, aku kembali ke halaman parkir dengan lift yang sama. Dan lagi-lagi, saat melewati lift bertanda silang, suara itu kembali terdengar, halus dan agak menggema.

"Selamat tidur, semoga lekas sembuh."

Dan aku memutuskan untuk menanyakannya esok hari. Aku masih penasaran.

Esoknya, aku menceritakan hal tersebut pada Rosi. Dia masih menggeleng. Bingung. Aku memutuskan untuk menanyakan perihal itu pada suster, dokter, atau siapapun yang telah merajai rumah sakit ini lebih dulu daripada pasien. Termasuk kepada perawat yang mengganti botol infus yang belum boleh dipisahkan dari pergelangan tangan Rosi. Namun, perawat itu hanya tersenyum menggeleng dengan mata tertunduk. Seperti ada sesuatu yang sengaja tidak ingin diceritakan. Namun, entah apa itu, sehingga rasa penasaranku semakin besar.

Aku pulang pada malam hari -lagi-, tanpa membahas kelanjutan lift lagi dengan Rosi. Ketika telah berada di lantai satu, kembali aku mendengar suara itu. Tapi kali ini, aku tidak memperdulikannya. Aku melangkah, dan terhenti. Aku melihat seorang wanita dengan dandanan yang belum pernah aku lihat sebelumnya di rumah sakit ini: rambut yang ikal sepunggung, tas cangklong dengan rantai yang menjuntai dari bahu ke pinggang dan tas kulit berwarna cokelat di ujungnya, baju terusan lengan pendek hingga menutupi lutut bermotif bunga-bunga, dan sepatu berhak cukup tinggi bermodel klasik berwarna senada dengan tas. Ia membawa jas, atau mungkin blazer berwarna pudar di tangan kirinya. Ia melihat ke arah lift bertanda silang seperti menunggu lift itu terbuka. Aku memutuskan untuk menghampiri dan memberitahunya bahwa sejak aku berkunjung ke rumah sakit ini, lift itu tidak pernah digunakan, oleh siapapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun