Mohon tunggu...
Humaniora

Vandalisme Bendera Merah Putih yang Salah Kaprah

19 Januari 2017   12:47 Diperbarui: 19 Januari 2017   13:01 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tindakan vandalisme atau pencoretan bendera merah putih yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) saat melakukan aksi di depan Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (16/1/2017) menuai polemik di masyarakat. Ironisnya, pelanggaran hukum yang ingin diungkap oleh Kapolri, Jendral Pol Tito Karnavian justru diplintir oleh para netizen simpatisan FPI untuk menyudutkan kepolisian. Seperti kasus bendera merah putih yang dibubuhi tulisan “Metallica Solo-Indonesia” pada tahun 2013 yang tidak diproses hukum. Anggapan bahwa kepolisian hanya tajam kepada FPI terus dieksploitasi.

Padahal terkait kasus itu juga sempat ramai dibincangkan baik, di media nasional ataupun media sosial. Tuduhan pelecehan bendera merah putih juga muncul saat itu, sama seperti pencoretan yang dilakukan massa FPI. Hanya saja yang membedakan adalah sudah ada permohonan maaf dari Stephanus Adjie (atau akrab dipanggil Djinge), pentolan grup musik cadas asal Solo, Down For Life. Ia meminta maaf atas kejadian yang menimpanya saat konser grup musik rock asal America Metallica di Jakarta dan mengaku tidak tahu bahwa menuliskan nama di atas warna Merah-Putih merupakan wujud pelanggaran.

Apakah ada permintaan maaf dari FPI? Yang ada hanyalah perlawanan dan pembangkangan terhadap hukum negara ini. Bahkan pin Laskar Hizbullah Barisan Keamanan Rakyat (BKR)/Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang tersimpan di museum KNIL Belanda dijadikan alasan pembenaran. Jika bendera Laskar Hizbullah tersebut dianggap benar, mengapa bendara Indonesia saat ini tidak memakai bendera tersebut?

Kemudian, kasus vandalisme terhadap bendera putih juga pernah terjadi pada tahun 2015 di Bandung. Saat suporter salah satu klub sepak bola di Indonesia membawa bendara merah putih yang dicoret-coret. Reaksi sejumlah saat itu tidak kalah ramai, bahkan Walikota Bandung Ridwan Kamil juga bereaksi dan pelakunya sudah ditangkap. Ini menunjukkan bahwa proses hukum ditegakkan.

Vandalisme ataupun pencoretan bendera merah putih dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak menghargai jasa para pejuang. Dan hal ini tidak hanya diutarakan oleh Kapolri saja, sejumlah tokoh bangsa ini juga bereaksi terhadap tindakan tersebut.

Seperti Mantan Sekretaris Militer, DR Tubagus Hasanuddin, mengatakan, aksi pencoretan bendera merah putih yang dilakukan FPI telah mencederai nilai-nilai kebangsaan. Untuk itu, tidak ada alasan bagi Polri dan TNI sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan NKRI untuk segera menindak tegas organisasi massa yang dipimpin Rizieq Syihab tersebut.

Apalagi, sanksi bagi pencoret lambang negara juga diatur dalam UU No 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Dalam Pasal 57 ayat a dijelaskan bahwa setiap orang dilarang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara.

Kecaman terhadap penodaan bendera merah putih juga diutaran oleh Petinggi MUI. Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Nazri Adlani menyatakan, pembubuhan kalimat atau gambar pada Bendera Merah Putih merupakan bentuk pelanggaran. Ia menilai, hal tersebut sama dengan dosa dalam konteks agama. Bendera merah-putih merupakan lambang negara yang harus dijaga. Oleh karena itu, pihak mana pun yang melecehkan lambang negara perlu diperingati.

 Ketika MUI yang merepresentasikan para Ulama Indonesia sudah berkata seperti, masihkah kelompok ini berkelit dan mencari pembenaran? Ketika Ulama tidak didengar, kemudian siapa lagi yang akan didengar kelompok ini?

Penulis menegaskan tidak menyalahkan tulisan yang ada di bendera merah putih. Penulis meyakini bahwa kalimat tersebut memang mempunyai makna suci dalam ajaran agama Islam. Namun dalam konteks simbol negara maka penggambaran tulisan ini pada bendera Indonesia menjadi salah kaprah.

Kesakralan bendera kita sudah diatur dalam undang-undang nomor 24 tahun 2009. Pada pasal 24 poin d disebutkan

“Setiap orang dilarang mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara”

Vandalisme di tembok, fasum, bahkan di gunung saja tidak bolehkan, apalagi jika menggambarnya hingga jadi mirip bendera negara lain, nanti bisa disalahartikan. Coba bayangkan kita menggambar simbol negara lain di bendera kita (terlepas dari nilai spiritualnya, misalkan Bintang Daud gitu) pasti akan terjadi kehebohan dan kontroversi karena dianggap pro Yahudi.

Mungkin para pendukung ormas ini berpikir dengan menggambar simbolisasi bahasa Arab maka mereka akan ‘aman’ saja, tapi sebetulnya ini malah menjadi poin kritikan. Karena ini malah menunjukkan ada rasa sentimen kepada rasa nasionalisme asli Indonesia dengan berlindung dibalik simbol Agama yang juga sering digunakan pada bendera-bendera negara Timur Tengah.

Hal ini menunjukkan ketidakpekaan dan kebutaan ideologi mereka sendiri. Tetapi bisa menjadi buruk dan berbahaya ketika mereka sengaja dan sadar akan pelanggaran tersebut dan ingin menciptakan keributan di Indonesia. Bahkan tidak menutup kemungkinan sebagai aksi perlawanan kepada Negara Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun