Baru-baru ini Kementerian Agama bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan perubahan logo halal yang baru. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 40 Tahun 2022, logo halal baru akan menggantikan logo halal yang saat ini digunakan dan telah lama dikenal oleh masyarakat.
Namun bukan apresiasi yang didapat tetapi surat edaran tersebut malah menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Bahkan diskursus pro dan kontra terkait logo halal yang baru menjadi trending topik di jagat dunia maya. Ada begitu banyak opini yang berkembang meskipun tentu saja lebih banyak proporsi yang mencibir terkait keputusan ini.
Setidaknya ada tiga poin yang menjadi dasar kritik para netizen. Alasan pertama adalah mengenai desain logo halal baru yang dianggap kurang mencerminkan nuansa islami. Hal ini disebabkan karena tulisan 'halal' tidak dapat terbaca jelas.
Banyak warganet mencoba untuk membandingkan logo halal yang saat ini dengan yang baru. Label halal yang baru diresmikan oleh Kemenag ini dianggap kurang clear dalam merepresentasikan kata 'halal' yang menjadi pegangan masyarakat muslim. Hal ini juga berbeda dengan label halal dari berbagai negara dimana meskipun ada berbagai motif dan desain tetapi tetap meng-highlight tulisan 'halal' tersebut. Langkah tersebut diambil agar memudahkan masyarakat untuk mengetahui status kehalal dari suatu produk karena kata tersebut dapat terbaca dengan jelas.
Isu selanjutnya adalah label halal yang baru dianggap terlalu merepresentasikan kebudayaan Jawa atau Jawa Sentris. Polemik ini muncul disebabkan label halal menyerupai motif wayang yang notabene adalah kebudayaan dari Jawa. Bentuk label halal Indonesia memiliki motif Surjan atau Lurik Gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas dan lancip keatas. Motif ini melambangkan kehidupan manusia.
Pemilihan motif ini tentu sedikit banyak bertolak belakang dengan asas Islam Nusantara yang menjadi visi Kemenag. Motif kaligrafi yang dipilih tidak menggambarkan Islam secara universal. Karena Indonesia terdiri dari banyak suku, adat dan budaya dimana tidak hanya terpusat di Jawa saja. Oleh sebab itu motif yang digunakan seharusnya lebih universal dan mudah dipahami oleh masyarakat.
Kritik terakhir yakni mengenai urgensi dari penggantian label halal. Sebagian masyarakat menganggap saat ini tidak ada perlunya untuk mengganti logo halal yang saat ini digunakan. Masyarakat sudah lebih mengenal betul bahwa label halal adalah logo bulat bewarna hijau, terdapat tulisan halal dan disekeliling lingkaran ada tulisan Majelis Ulama Indonesia.
Banyak isu yang sebenarnya dianggap jauh lebih prioritas dibandingkan dengan penggantian label halal yang baru. Sebagai contoh kenaikan biaya haji dan pelaksanaan ibadah haji dan umroh tahun ini. Kedua isu tersebut dirasa jauh lebih penting untuk dipikirkan bagaimana solusinya jika dibandingkan dengan penggantian label halal.
Namun sejatinya perubahan label halal tidak serta merta dapat dimaknai hanya penggantian label saja. Perubahan label halal merupakan salah satu bukti bahwa saat ini Pemerintah yang diwakili oleh Kemenag mulai untuk mentransformasi peran dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat.
Sebelumnya MUI bertanggung jawab dalam pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di Indonesia. Bentuk tanggung jawabnya adalah mulai dengan memberikan pelatihan mengenai bagaimana mengembangkan Sistem Jaminan Halal, mengawasi setiap proses produksi untuk memastikan tahapan prosesnya menggunakan bahan yang halal, mengatur label halal yang berlaku dan mengeluarkan sertifikat halal.
Hanya saja semenjak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH merupakan lembaga yang bertanggung jawab untuk mengatur implementasi jaminan produk halal. Bukan lagi dari MUI. Hal ini termasuk dalam menetapkan logo halal.
Kementerian Agama tidak serta merta menghilangkan sepenuhnya peran dari MUI. Apalagi selama ini MUI lah yang mengatur, merumuskan hingga mengontrol sistem jaminan halal di Indonesia. Oleh karena itu Kemenag hanya mengubah peran MUI saat ini menjadi 3M yaitu mengawasi, membimbing dan mengeluarkan fatwa halal.
Majelis Ulama Indonesia tetap bertanggung jawab dalam proses pengawasan sistem jaminan halal. Salah satu bentuknya adalah melakukan pengawasan implementasi SJH bagi yang sudah memiliki sertifikat halal. Apalagi Kemenag saat ini mewajibkan seluruh industri terkait produk halal untuk tersertifikasi halal.
Tetapi yang sedikit berbeda nantinya adalah MUI tidak memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan SJH. Peran tersebut termasuk didalam BPJPH. Yang perlu digarisbawahi, BPJPH sebaiknya tetap melibatkan setiap proses review SJH bersama-sama dengan MUI. Hal ini dikarenakan MUI telah berpengalaman bertahun-tahun dalam merumuskan SJH.
Peran kedua yakni MUI memiliki peran dalam memberikan supervisi terhadap lembaga auditor yg terpilih nantinya. Supervisi ini berupa pelatihan sebagai auditor mengenai SJH. Karena nantinya yang akan melakukan udit SJH tidak hanya dari MUI saja tetapi melainkan dari berbagai lembaga audit yang telah disetujui oleh BPJPH.
Terakhir adalah MUI merupakan satu-satunya lembaga yang menerbitkan fatwa halal tetapi tidak berwenang untuk mengeluarkan sertifikat halal. Sertifikat halal nantinya akan dikeluarkan oleh BPJPH sementara fatwa halal merupakan tanggung jawab dari MUI. Inilah satu-satunya peran MUI yang tidak akan tergantikan karena MUI memiliki expertise dibidang tersebut.
Sekarang bisa kita pahami bahwa perubahan logo halal yang baru tidak hanya semata-mata penggantian logo. Akan tetapi hal tersebut merupakan satu langkah justifikasi transformasi identitas Majelis Ulama Indonesia dalam Sistem Jaminan Halal Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H