Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Tak Banyak Cerita di Kota Malang

25 Agustus 2019   20:52 Diperbarui: 25 Agustus 2019   21:11 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudut foto di Kampoeng Heritage Kajoetangan (dok. pribadi)

Perut saya kenyang setelah santap siang di salah satu warung legendaris di Malang. Sesuai rencana saya, hari pertama di Malang yaitu pada Sabtu, 28 April 2019 lalu adalah untuk hibernasi setelah perjalanan hampir 18 jam di kereta ekonomi yang kursinya tegak. 

Saya langsung menuju hotel dan berharap bisa early check in tanpa biaya tambahan. Saya tiba di sana pada tengah hari, namun sayang sekali tidak bisa early check in, apalagi gratis. Waduh, masa harus bengong saja 2 jam di lobby hotel.

Hotel saya berada di bilangan Kajoetangan persis di sebelah cafe yang awalnya masuk tempat wajib yang akan saya kunjungi. Houtenhand nama cafenya. Kenapa saya ingin ke sini? Karena cafe ini adalah salah satu cafe dengan venue musik paling masyhur dan jadi epicentrum skena musik independen Malang. Setidaknya sejauh hasil browsing-an saya. 

Spirit-nya mungkin mirip CGBG di New York atau BB's Cafe di Jakarta. Tempat di mana musisi unfamous, almost famous, hingga over famous berbagi karya. Sayang sekali, cafe ini sudah tutup pada akhir Januari 2019. Alasan yang diberitakan di dunia maya pastinya beragam. Faktanya, bangunannya tampak muram dan lusuh dikepung gedung-gedung tinggi mentereng.

Padahal, saya membayangkan bisa ke sana larut malam. Duduk sambil menghabiskan satu atau dua botol beer dan menonton para penampil. Mereka, di benak saya tampil dengan distorsi yang bising sedang beradu ekspresi dengan penonton di moshpit kecil yang nyaris tak berjarak dengan "panggung". Atmosfer crowd-nya pasti 'berkeringat' sekali.

Ah, tapi itu hanya khayalan saya saat sedang bengong di lobby hotel. Dan lama-lama saya bosan juga. Akhirnya saya online dan mencari tempat terdekat yang bisa didatangi sambil menunggu waktu check in. Dan pilihan itu jatuh pada Kampoeng Heritage Kajoetangan yang hanya berjarak 300 meter.

Restorasi dan revitalisasi kampung tampaknya menjadi jualan wisata Kota Malang. Pertama kali saya baca tentang kampung warna-warni ya yang ada di Malang ini. Ada juga kalau tidak salah namanya Kampung Biru Arema yang bertema klub kesayangan kota ini. Tiap kampung dibuat dengan tema berbeda-beda. 

Untuk Kampung Heritage Kajoetangan ini, temanya tentu saja heritage dan vintage sesuai namanya. Ya, saya juga setuju kalo daur ulang masa lalu memang manis bagi pariwisata. Dan jualan utamanya tentu spot-spot foto yang instagramable.

Wall of Fame Kampoeng Heritage Kajoetangan (dok. Pribadi)
Wall of Fame Kampoeng Heritage Kajoetangan (dok. Pribadi)

Dengan membayar retribusi yang relatif murah, kita akan dapat kartu pos dan peta lokasi. Membunuh waktu dengan berkeliling gang-gang senggol di kampung ini tidaklah rugi. Pertama masuk kita disuguhi semacam wall of fame berisi foto-foto sudut kampung dengan tone grayscale dan shepia.

Saya terus saja mblusuk bermodal peta sambil mencocokkan gambar rumah tua yang ada di peta dengan rumah aslinya. Beberapa kali singgah di spot yang menarik untuk di foto. Terutama di sekitar sungai yang membelah kampung. Rumah-rumah tua di sini konon dibangun sejak era kolonial. Dan sedikit informasi yang saya dapat, kawasan Kajoetangan merupakan pusat bisnis utama Kota Malang di era kolonial.

Kampungnya cukup sepi. Mungkin karena masih tengah hari. Hanya segelintir pengunjung yang tampak asyik berfoto. Rumah-rumah tuanya pun ditutup. Sebenarnya jumlah rumah tuanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan rumah-rumah 'baru'-nya. Tapi karena kampungnya dikelola sebagai tujuan wisata, saya jadi merasa nyaman walau hanya berkeliling di sini. 

Di pintu keluar yang dekat dengan alun-alun ada rumah yang  penuh dengan barang-barang antik seperti lampu, kursi, peralatan rumah tangga, kaset pita, hingga elektronik jadul. Mengambil gambar sejenak di sini tentu wajib hukumnya.

Ternyata waktu saya terbunuh cukup efektif di sini. Saya sampai di pintu keluar tepat sebelum waktu check in. Saya segera menuju hotel, tentu saja untuk hibernasi.

Hari berikutnya, dengan motor sewaan tujuan saya adalah city tour di Malang kemudian dilanjutkan ke Kota Batu. Sebenarnya saya merencanakan untuk car free day di Jalan Ijen yang dikenal sebagai ex-kota tuanya Malang. Tapi, seperti biasa rencana car free day selalu tinggalah rencana. Saya bahkan baru sarapan jam 9 pagi. Hehehe.

Di Malang memang tak begitu banyak tempat wisata yang saya tahu selain taman-taman, kampung tematik, dan sedikit museum. Saya memilih museum. Tiga museum yang masuk rencana yaitu Museum Musik Indonesia, Museum Bentoel, dan Museum Brawijaya.

Pertama saya ke Museum Musik Indonesia. Namun sayang sekali museumnya tutup karena yang jaga belum datang. Padahal museum yang memang sangat tersegmentasi ini infonya menyimpan artefak karya-karya dari lini masa musik Indonesia. Khususnya yang jadul-jadul.

Wall of Fame produk rokok Bentoel dari waktu ke waktu (dok. pribadi)
Wall of Fame produk rokok Bentoel dari waktu ke waktu (dok. pribadi)

Lanjut ke museum selanjutnya, Museum Bentoel. Ya, benar, ini merupakan museum perusahaan rokok asal Malang. Selain sebagai merek rokok, nama Bentoel juga bersejarah di kancah musik Indonesia, lho. Pada tahun 70an, group band bernama Bentoel mencatatkan namanya sebagai salah satu band rock hebat di Tanah Air. 

Saya sih tak tahu lagunya. Namun yang saya tahu, di kemudian hari, gitaris dan drummernya yaitu Ian Antono dan Teddy Sujaya bergabung dengan God of Rock-nya Indonesia, God Bless. Mereka berdua andil pada masa kejayaan God Bless yang menghasilkan album-album legenda seperti Cermin (1980) dan Semut Hitam (1988). Bahkan Ian Antono hingga kini masih jadi punggawa God Bless yang di tahun 2019 ini berusia 45 tahun. Salute.

Kembali ke Bentoel sebagai museum dan merk rokok. Museum ini terletak di kawasan Pasar Besar Kota Malang. Sudah bisa diduga museumnya sepi walaupun masuknya gratis. Siang itu pengunjungnya hanya saya dan pacar saya. Untuk berkeliling semua sudutnya dibutuhkan waktu cukup lumayan... 30 menit cukup. Hehehe. Isi museumnya adalah perjalanan Bentoel sebagai perusahaan rokok dari mulai dirintis hingga saat ini yang sudah "go International" alias sahamnya dimiliki group usaha luar negeri.

Hal yang menarik perhatian di sana adalah potongan-potongan iklan rokok jaman dulu. Di mana iklan rokok masih ada orang yang merokok dan bahkan merokok sambil berseragam tenis lengkap membawa raket tenis. 

Ada lagi poster acara yang disponsori Bentoel dengan kalimat-kalimat iklannya yang bikin geli. Seperti "Berjoget Bersama 19 Wadam-wadam Yang Genit Dan Siiiiip". Wadam singkatan dari hawa adam alias waria. Lucunya lagi di daftar harga tiket tersebut tertera tiket untuk anak-anak seharga 20 rupiah.

Di ujung (bagian belakang) museum terdapat semacam wall of fame dengan deretan bungkus rokok dari semua produk Bentoel dari generasi ke generasi. Di sini satu-satunya tempat yang cukup epic untuk difoto. Museum kecil itu akhirnya selesai saya kelilingi.

 Saya segera beranjak ke destinasi selanjutnya di Malang yaitu Museum Brawijaya yang buat saya tak ada yang bisa diceritakan karena saya hanya melepas lelah saja di sana sebelum lanjut perjalanan lumayan jauh ke Kota Batu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun