Seperti rumah adat di manapun di Indonesia pasti lekat dengan oranamen khas. Dengan bahan dasar kayu, ukiran menjadi salah satu ornamen yang lazim ditemui tak terkecuali di Tongkonan.Â
Dari sekian banyak ukiran bermotif geometris yang yang menarik, paduan warna menjadi hal yang tidak berubah. Ukiran Toraja di dominasi wana hitam, merah, kuning dan putih. Tiap warna memiliki karakter dan makna masing-masing.
Warna hitam berarti kematian, kuning menggambarkan cahaya atau keilahian, merah dimaknai sebagai darah dan putih menggambarkan tulang.
Tak semua ukiran dijelaskan oleh Bu Marla karena memang sangat banyak. Ukiran yang paling terkenal menurutnya yaitu ukiran Pa Tedong. Ya, ukiran itu begitu familiar juga buat saya. Pa Tedong berarti kerbau. Sebagaimana sapi yang dikeramatkan di India, Kerbau juga menjadi hewan utama yang lekat dengan Toraja. Kerbau adalah persembahan utama dan sangat berharga pada upacara kematian rambu' solo atau manene.
Selain ukiran, lazim kita tahu bahwa tongkonan selalu dihiasi tanduk-tanduk kerbau bertumpuk-tumpuk hasil upacara-upacara rambu' solo atau manene  yang pernah diadakan pemiliknya.
Emas Hitam Toraja
Bu Marla pergi sebentar ke dapurnya dan kembali dengan membawa nampan, lengkap dengan teko dan gelasnya. Suguhan yang menunjukan betapa Bu Marla menganggap kita tamu dan bukan sekedar wisatawan. Aroma dan mengepulnya asap kopi panas saat dituang ke dalam gelas, menandai bahwa obrolan masih akan berlanjut.
"Sejarah kopi Toraja itu panjang. Bahkan dulu ada yang namanya perang kopi. Dan musyawarah untuk mengakhiri perang kopi ini yang di sini. Di Buntu Pune' ini," ujar Bu Marla. Saya pun menyimak cerita beliau.
Perang kopi yang pernah terjadi adalah perang antar suku yang sama-sama ingin menguasai komoditas kopi di Toraja. Kopi Toraja pada abad ke-18 merupakan hasil bumi yang sangat berharga. Biji yang dibawa oleh pedagang Arab ini disebut dengan istilah emas hitam.
Perang pecah saat Toraja diinvasi oleh kerajaan Sindreng yang ingin merebut jalur perdagangan kopi yang banyak dikuasai oleh pedagang Palopo. Konon, serangan militer orang-orang bugis, yang merupakan suku mayoritas di Kerajaan Sindreng, itu pun berbuah kemenangan.