Saya tak banyak menghabiskan waktu di sana. Selesai berfoto dan sedikit melihat-lihat ke toko souvenir yang tampak sepi dan remang, saya segera melanjutkan perjalanan.Â
Situs Megalitik Bori
Letaknya 6 kilometer dari Desa Pallawa' dan searah dengan jalan menuju kota Rantepao. Objek wisata ini bernama Kalimbuang Bori (Bori), sebuah situs megalitik di mana kita dapat melihat peninggalan zaman itu yaitu menhir. Dalam bahasa toraja disebut Simbuang Batu. Walaupun faktanya tak semua menhir yang ada berasal dari zaman batu besar itu.
Oh ya, menhir sendiri merupakan sebuah batu besar yang biasanya diletakkan secara vertikal membentuk suatu tugu atau monumen. Menhir digunakan dalam sebuah upacara atau peringatan. Di zaman megalitikum ini masyarakatnya memang sudah mulai mengenal kepercayaan, sehingga hasil kebudayaannya banyak diperuntukan untuk kegiatan upacara.
Selain menhir, ada juga punden berundak yang merupakan bangunan dengan batu yang disusun berundak, dolmen sebagai tempat menaruh sesaji, dan waruga atau sarkofagus yaitu semacam peti terbuat dari batu.
Menhir di Bori ini memiliki fungsi seperti Tau-tau (patung kayu berbentuk manusia), yaitu sebagai tanda peringatan kematian seseorang. Untuk bisa didirikan menhir juga perlu melalui upacara Rapasan Sapurandanan dengan menyembelih minimal 24 ekor. Dan tentu saja tak sembarang orang yang sudah pernah dibuatkan menhir di sini, biasanya pemuka adat atau keluarga bangsawan yang berasal dari sekitar Desa Sesean.
Berjalan ke arah atas dan keluar dari kompleks Rante Kalimbuang, akan ada penunjuk arah ke beberapa lokasi. Saya menuju ke arah kuburan bayi (Baby Grave). Baby Grave merupakan sebuah pohon Tarra' yang dilubangi. Budaya ini dinamakan Passiliran. Di lubang-lubang tersebut, bayi yang belum tumbuh gigi akan disemayamkan tanpa dibungkus apa-apa dan ditutupi oleh ijuk. Lama kelamaan lubang-lubang itu akan tertutup dengan sendirinya.
Pohon Tarra' dipilih karena memiliki banyak getah yang dipercaya sebagai pengganti air susu ibu untuk para bayi. Lubang di pohon Tarra' dianggap sebagai rahim ibu dan bayi-bayi yang "dikuburkan" di sana dipercaya akan kembali dilahirkan. Strata sosial berlaku di sini, semakin tinggi letak si bayi menandakan semakin terpandang keluarganya.
Sedikit ke atas mengikuti petunjuk arah, saya masuk ke pekarangan yang nampaknya milik sebuah keluarga besar (dan terpandang). Di sanalah terdapat Tongkonan dengan dua ratus tanduk kerbau menghiasi hampir tiap sudutnya. Di bagian depan rumah, tanduk kerbau dipasang bertumpuk hingga sangat tinggi dan hampir mencapai atap, itu menunjukkan pula setinggi apa derajat keluarga besar tersebut.
Sebenarnya masih ada lagi Tongkonan dengan seribu tanduk kerbau, namun karena letaknya lebih ke atas lagi, maka tidak saya kunjungi. Mobil kami langsung bertolak menuju destinasi terakhir di Toraja.
Kubur Batu Londa