Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Toraja yang "Asli" dengan Situs-situs Kunonya

16 Juni 2018   17:34 Diperbarui: 17 Juni 2018   11:02 2787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menceritakan tentang Toraja hari ini, tahun depan, tahun lalu, atau kapanpun tak akan jauh berbeda. Di luar wisata-wisata yang sedang booming di media sosial, tujuan utama orang datang ke Toraja yaitu menyaksikan apa yang sudah ada sejak berabad-abad silam.

Bangun dari tidur nyenyak setelah lelah di perjalanan pada hari sebelumnya memang malas. Setidaknya bagi saya. Belum lagi sambutan hawa dingin dataran tinggi Batutumonga yang membuat selimut dan kasur jadi hal yang paling posesif. 

Tapi tentu saja saya harus bangun, pemandangan yang menghampar luas ke area persawahan siap untuk mencuci mata di pagi hari. Sayangnya pagi itu berawan, sehingga semburat merah penuh semangat matahari pagi tak cukup menarik untuk dipotret.

Hari itu sebenarnya cukup cerah dan saya cukup bersemangat dengan modal sarapan nasi goreng dari penginapan Mentirotiku. Agenda selanjutnya adalah mengunjungi beberapa situs kuno.

Perjalanan diawali dengan menuruni bukit. Dan pemandangan yang hijau nan asri tersaji di sepanjang jalan. Walaupun sesekali sedikit terganggu karena lubang di jalan, tidak menjadi masalah untuk tetap mengabadikan perjalanan ke arah utara menuju Desa Pallawa'.

Tongkonan Tua Desa Pallawa'

Tua dan masih orisinal. Dua hal yang tepat menggambarkan desa ini. Karena letaknya yang cukup terpencil dengan akses yang relatif sulit, tempat ini tampak sepi. Perputaran uang di toko-toko souvenir yang tersembunyi di belakang Tongkonan pun nampak cukup lambat. Berbeda dengan Kete Kesu yang hits dan ramai karena sangat mudah dijangkau.

Ada cerita sejarah tentang tradisi kanibal di desa ini. Konon, dahulu setiap ada perang antar desa, mayat lawan yang kalah akan dimakan oleh yang menang. Tapi tentu saja itu sudah tidak ada sekarang, selain memang tidak ada perang antar desa, tradisi kanibalnya juga diganti dengan memakan daging ayam atau disebut Pallawa Manuk.

Deretan Tongkonan Tua Desa Pallawa'. (dokumen pribadi)
Deretan Tongkonan Tua Desa Pallawa'. (dokumen pribadi)
Di desa ini terdapat 11 Tongkonan dengan alang (lumbung padi) di bagian depannya. Dibandingkan dengan yang ada di Kete Kesu, Tongkonan disini berumur jauh lebih tua. Kayu-kayunya tampak lapuk dan kusam. Tanaman-tanaman tumbuh liar menyelimuti atapnya. Saat saya ke sana terdapat banyak bambu tergeletak yang merupakan salah satu alat untuk memugar Tongkonan.

Berkunjung ke desa adat kuno di Indonesia, hal yang akan cukup sering ditemukan adalah kegiatan menenun. Kecuali di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang tentu saja didominasi kegiatan membatik. Begitu juga di sini. Kain tenun memang menjadi salah satu oleh-oleh dari Toraja.

Upacara pemakaman yang megah di Toraja juga mewajibkan adanya kain tenun. Saat ini, tenun Toraja sudah langka dan bahkan kain tenun yang ada di sana banyak didatangkan dari industri tenun modern yang ada di Jawa. Jadi, saat menemukan ibu-ibu sedang menenun menggunakan alat tenun tradisional, semakin mengukuhkan predikat orisinalitas desa ini.

Saya tak banyak menghabiskan waktu di sana. Selesai berfoto dan sedikit melihat-lihat ke toko souvenir yang tampak sepi dan remang, saya segera melanjutkan perjalanan. 

Situs Megalitik Bori

Letaknya 6 kilometer dari Desa Pallawa' dan searah dengan jalan menuju kota Rantepao. Objek wisata ini bernama Kalimbuang Bori (Bori), sebuah situs megalitik di mana kita dapat melihat peninggalan zaman itu yaitu menhir. Dalam bahasa toraja disebut Simbuang Batu. Walaupun faktanya tak semua menhir yang ada berasal dari zaman batu besar itu.

Oh ya, menhir sendiri merupakan sebuah batu besar yang biasanya diletakkan secara vertikal membentuk suatu tugu atau monumen. Menhir digunakan dalam sebuah upacara atau peringatan. Di zaman megalitikum ini masyarakatnya memang sudah mulai mengenal kepercayaan, sehingga hasil kebudayaannya banyak diperuntukan untuk kegiatan upacara.

Selain menhir, ada juga punden berundak yang merupakan bangunan dengan batu yang disusun berundak, dolmen sebagai tempat menaruh sesaji, dan waruga atau sarkofagus yaitu semacam peti terbuat dari batu.

Menhir di Bori ini memiliki fungsi seperti Tau-tau (patung kayu berbentuk manusia), yaitu sebagai tanda peringatan kematian seseorang. Untuk bisa didirikan menhir juga perlu melalui upacara Rapasan Sapurandanan dengan menyembelih minimal 24 ekor. Dan tentu saja tak sembarang orang yang sudah pernah dibuatkan menhir di sini, biasanya pemuka adat atau keluarga bangsawan yang berasal dari sekitar Desa Sesean.

Menhir-menhid di Bori. (dokumen pribadi)
Menhir-menhid di Bori. (dokumen pribadi)
Tempat di mana terdapat menhir dan bangunan-bangunan beratap berbentuk tongkonan ini merupakan sebuah Rante (dataran luas atau lapangan) bernama Rante Kalimbuang. Di tempat ini pula diadakan upacara Rambu Solo' yang sangat terkenal sebagai salah satu upacara kematian termahal di dunia.

Berjalan ke arah atas dan keluar dari kompleks Rante Kalimbuang, akan ada penunjuk arah ke beberapa lokasi. Saya menuju ke arah kuburan bayi (Baby Grave). Baby Grave merupakan sebuah pohon Tarra' yang dilubangi. Budaya ini dinamakan Passiliran. Di lubang-lubang tersebut, bayi yang belum tumbuh gigi akan disemayamkan tanpa dibungkus apa-apa dan ditutupi oleh ijuk. Lama kelamaan lubang-lubang itu akan tertutup dengan sendirinya.

Pohon Tarra' dipilih karena memiliki banyak getah yang dipercaya sebagai pengganti air susu ibu untuk para bayi. Lubang di pohon Tarra' dianggap sebagai rahim ibu dan bayi-bayi yang "dikuburkan" di sana dipercaya akan kembali dilahirkan. Strata sosial berlaku di sini, semakin tinggi letak si bayi menandakan semakin terpandang keluarganya.

Sedikit ke atas mengikuti petunjuk arah, saya masuk ke pekarangan yang nampaknya milik sebuah keluarga besar (dan terpandang). Di sanalah terdapat Tongkonan dengan dua ratus tanduk kerbau menghiasi hampir tiap sudutnya. Di bagian depan rumah, tanduk kerbau dipasang bertumpuk hingga sangat tinggi dan hampir mencapai atap, itu menunjukkan pula setinggi apa derajat keluarga besar tersebut.

Sebenarnya masih ada lagi Tongkonan dengan seribu tanduk kerbau, namun karena letaknya lebih ke atas lagi, maka tidak saya kunjungi. Mobil kami langsung bertolak menuju destinasi terakhir di Toraja.

Kubur Batu Londa

Berbeda dengan dua tempat di atas yang lokasinya agak mblusuk, Kubur Batu Londa (Londa) mudah dijangkau dari jalan utama Rantepao. Hal ini membuat tempat ini menjadi salah satu yang paling hits di Toraja.

Apa yang bisa dilihat di sana adalah sebuah tebing batu besar dengan lubang-lubang tempat menguburkan jenazah serta goa yang banyak berserakan tulang-belulang dan tengkorak-tengkorak.

Hal yang pertama menarik perhatian yaitu deretan Tau-tau yang berkumpul di muka tebing bagian atas. Mirip penonton konser musik yang duduk di kelas VIP. Berjajar dengan beragam ekspresi wajah seolah sedang memperhatikan wisatawan yang datang berkunjung. Di bagian bawah, dekat dengan mulut goa, terdapat peti mati yang berserakan. Peti atau erong itu adalah kendaraan terakhir jenazah setelah melewati upacara kematian. Beragam motif dari yang mewah sampai yang sederhana menandakan strata sosial mayatnya.

Kubur Batu Londa. (dokumen pribadi)
Kubur Batu Londa. (dokumen pribadi)
Masuk ke dalam goa kita akan ditemani pemandu, yang lebih tepat disebut sekedar pembawa lampu. Pemandu itu akan mengikuti pengunjung dari pintu masuk, baru kemudian penagihan biayanya setelah selesai keluar goa.

Sedikit ada "kewajiban" tapi sebenarnya kita bisa menolak dan mencuri dengar informasi dari pemandu lain, yang juga tidak banyak.

Peti maati yang tampak baru di dalam goa. (dokumen pribadi)
Peti maati yang tampak baru di dalam goa. (dokumen pribadi)
Tapi tidak apa, akhirnya kita masuk bersama pemandu. Tulang belulang tersebut menandakan mayat yang sudah berumur sangat tua. Sedangkan peti mati menandakan mayat tersebut belum terlalu lama, apalagi jika peti mati lengkap dengan foto dan bunga yang masih tampak baru. 

Letaknya yang ada di dalam goa, menunjukan mereka mayat-mayat dari golongan biasa. Karena yang golongan atas akan ditempatkan di lubang-lubang tebing bagian atas. Eksklusif dengan pintu dari kayu.

Dua tengkorak kisah "Romeo and Juliet" Toraja. (dokumen pribadi)
Dua tengkorak kisah "Romeo and Juliet" Toraja. (dokumen pribadi)
Di bagian akhir goa, dua buah tengkorang sepertinya sengaja ditata. Mereka berdua dijuluki "Romeo dan Juliet" Toraja. Kisah cinta yang tragis ala kisah klasik legendaris karya Shakespeare itu juga terjadi pada mereka. Mereka bernama Lobo dan Andui. 

Dua sejoli yang cintanya tidak direstui karena masih satu keturunan keluarga bangsawan yang sama. Mereka memutuskan mengabadikan cinta mereka "Not In This Lifetime" - mengutip judul konser reuni band Guns N Roses. Saya mendoakan mereka mendapatkan cinta ideal dan abadi, karena cinta konon dapat menembus dimensi ruang dan waktu.

Toraja masih menjalankan hampir semua ritual kunonya di situs-situs kuno pula. Selama itu masih ada, seperti daerah-daerah lain di Indonesia, Toraja akan selalu dilirik oleh wisatawan. Walaupun kehidupan sudah sangat modern, tapi saya percaya dengan apa yang dipercaya orang Toraja, bahwa menghayati kematian melalui adat penguburan yang penuh simbol, melestarikan kebersamaan dan gotong royong melalui upacara kematiannya, dan melestarikan nilai-nilai filosofis lewat sudut-sudut Tongkonan, harus tetap dijaga agar bisa hidup berdampingan dengan sang pencipta yang mereka percayai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun