Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kolaborasi Internasional dalam Pentas Mahabharata

9 Oktober 2016   10:44 Diperbarui: 9 Oktober 2016   12:27 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petinggi Kurawa. Dari kiri ke kanan : Dursasana, Karna, Duryudana, Bhisma, Durna (Dok. Pribadi)

Kematian Bhisma oleh Arjuna. Seribu panah menancap di badannya (Dok. Pribadi)
Kematian Bhisma oleh Arjuna. Seribu panah menancap di badannya (Dok. Pribadi)
Pemicu perang adalah kekalahan Pandawa dalam berjudi dengan taruhan tahta dan istri mereka, Drupadi. Pandawa kehilangan kerajaan dan Drupadi ditelanjangi di depan umum oleh Dursasana (anak kedua Kurawa). Bagian seperti Duryudana yang memilih semua tentara Khrisna sedangkan Arjuna memilih Khrisna yang berperang tanpa senjata menjadi pembuka perang. Yang tak kalah penting yaitu, rayuan Dewi Kunti pada Karna agar berperang di pihak Pandawa karena Karna adalah anak kandung Kunti.

Panji-panji dikibarkan. Sangkakala ditiup. Perang besar pun pecah. Perang saudara yang menurut takdir tidak bisa dihindari oleh kedua pihak. Perang dipentaskan dengan tari-tarian yang gesit, gagah, dan menampilkan keberanian. Kedua belah pihak sama-sama kuat. Semakin hari semakin banyak korban. Banjir darah. Kesedihan. Ketakutan.

Pertarungan sengit terjadi saat Arjuna berhadapan dengan Bhisma. Kakek Pandawa dan Kurawa yang sama-sama mereka hormati. Dia maju membela negara, walaupun tak menginginkan perang. Bhisma berkali-kali memuji kemampuan perang Arjuna. Kemampuan memanah tokoh yang berjuluk Lelananging Jagaddalam pewayangan Jawa. Duryudana pun protes pada kakeknya yang tak kunjung mengalahkan Arjuna. Dia menganggap Bhisma tidak berperang dengan serius.

Tata suara berubah haru walaupun perang sedang berlangsung. Bhisma gugur. Kematian tokoh Mahabharata yang paling mengharukan. Kesatria paling agung dalam Mahabharata gugur di tangan cucunya sendiri. Kawan dan lawan segan pada Bhisma. Saat menjelang kematiannya, kedua pihak mengheningkan cipta. Bahkan dewata di langit pun ikut hening. Keagungan Bhisma tak hanya pada kemampuan perangnya. Jiwa, hati dan hidupnya juga agung.

Seribu anak panah menancap di tubuhnya. Dalam beberapa versi cerita, Bhisma terbaring di atas anak panah yang menancap di punggungnya. Kata-kata terakhirnya adalah “Ini panah Arjuna!” sambil menunjuk anak panah yang menancap tepat di jantungnya.

Kematian Bhisma biasa diceritakan dalam lakon sendiri. Beberapa karya yang saya tahu tentang gugurnya Bhisma yaitu lagu Sujiwo Tejo berjudul “Gugur Bhisma” dan cerpen Yanusa Nugroho berjudul “Setubuh Seribu Mawar”. Dunia berduka. Kesatria berjiwa besar gugur.

Hilang
Secara visual dan kerja keras pemainnya yang merangkap peran memang baik. Namun ada beberapa yang perlu, bisa dikatakan dikritisi. Bahasa dalam pentas Mahabharata di Jawa adalah hal penting. Bahasa Jawa kromo digunakan pada wayangan klasik. Jika tidak, dialog dalam Bahasa Indonesia disusun rapi bahkan puitis. Dalam pentas ini, dialog dilakukan dengan setidaknya enam bahasa yaitu Jawa, Indonesia, Mandarin, Tagalog, Inggris, dan Jepang. Unik memang, namun satu yang menjadi tidak pas adalah tokoh Bhisma yang berlogat mandarin kental namun berbahasa Indonesia. Itu menjadi kelucuan yang seharusnya tidak perlu.

Petinggi Kurawa. Dari kiri ke kanan : Dursasana, Karna, Duryudana, Bhisma, Durna (Dok. Pribadi)
Petinggi Kurawa. Dari kiri ke kanan : Dursasana, Karna, Duryudana, Bhisma, Durna (Dok. Pribadi)
Hal lain yaitu soal adegan yang seharusnya sakral. Adegan Khrisna yang menasehati Arjuna sebelum perang berlangsung. Adegan itu sebenarnya merupakan sumber kitab penting yang mendampingi Mahabharata yaitu Bhagawadgita yang berarti “Nyanyian Sri Bhagawan”. Terbayang seberapa sakralnya momen tersebut. Dialog atau mungkin syair yang indah dengan alunan musik yang anggun dan lembut cocok ditampilkan. Sayang sekali, sang sutradara Hiroshi Koike memasukkan lagu rap di sana. Bermaksud menonjolkan sisi kontemporer yang memang berlangsung sepanjang pentas pada adegan yang kurang tepat.

Kematian Bhisma menjadi akhir “Mahabharata Part 3” ini. Ya, cerita masih berlanjut tapi tidak di Indonesia. Perang belum usai. Pentas berskala Internasional ini ditutup dengan adegan seorang raja yang nyaris dijatuhi panah besar. Seperti pada bagian pembuka. Bagi saya, pentas ini menghibur. Dan Indonesia beruntung disinggahi HKBP yang akan berkelana lagi. Beruntung pula mendapatkan adegan gugurnya Bhisma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun